Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber: Tabloid FIKRI, Edisi 37 Tahun
III, 02-08 Juni 2004/ 13-19 Rabi’ul Akhir 1425 H
gbr: kolom.abatasa.co.id |
Menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) bukanlah cita-citaku.
Tapi bila itu membuat kehidupan keluargaku lebih baik, apa boleh
buat. Kulihat mbak Lastri, tetanggaku,
dalam setahun bisa mengirim beribu-ribu dinar.
Bila dirupiahkan, puluhan juta mencair ke kocek keluarga di
kampung. Rumah, sebidang tanah, perabot,
bisa dibeli oleh keluarganya. Semua itu
bisa didapat berkat kerja keras di negeri gurun pasir. Contoh lainnya, mbak Ros. Dia tetangga kampung yang masih ada pertalian
saudara dengan almarhum ayah suamiku. Saat ini, sejak menjadi TKW di Arab
Saudi, setiap bulan bisa memberi kiriman uang buat keperluan masa dapan dan
biaya sekolah anak-anaknya. Selain itu,
dalam surat-suratnya, hampir setiap bulan haji mbak Ros tak pernah alpa
menunaikannya. Katanya, sudah lebih dari
tiga kali ia naik haji!
Masih ada beberapa contoh TKW yang menggiurkan orang-orang
di kampungku, hingga akhirnya mengundang decak kagum dan rasa iri perempuan-perempuan lain yang ingin merubah
nasib. Seperti aku sendiri. Meskipun mas
Sarwan, suamiku, melarangku mendaftar jadi TKW, aku tetap berusaha mengurus
segala keperluan untuk segera terbang meninggalkan kampung halaman. Tekadku
sudah bulat untuk bisa seperti mereka-mereka yang telah lebih dulu menjadi babu
di negeri Arab.
“Aku tidak mau kita hidup begini-begini saja, mas! Apa kau tidak lihat mereka-mereka yang
istrinya bekerja di Arab! Apa kau tidak
mau kita membangun rumah permanen seperti mbak
Sulastri? Apa kau tidak ingin membeli sawah dan sapi, hingga kita tak
harus mengurus sawah milik orang lain?” kataku waktu itu, saat mas Sarwan
melarangku mengurus surat-surat menjadi TKW.
“Enak buat orang lain, belum tentu buat kita, Mar. Aku sudah cukup bahagia meski kehidupan kita seperti
ini. Meski mengerjakan sawah orang lain,
toh kita bisa tetap hidup. Bisa
menyekolahkan anak-anak kita. Kau
sendiri, bisa berjualan seperti biasa di pasar,” tukas mas Sarwan, suamiku yang
penyabar itu.
“Tapi mas, aku ingin perubahan. Aku sudah bosan hidup begini-begini saja!”
“Sudahlah, bukankah kita sudah cukup bahagia hidup seperti
sekarang ini?”
“Tidak, mas!
Pokoknya saya harus berangkat ke Arab, biar seperti mbak Ros! Mas tidak usah khawatir. Selama ini, bukankah mbak Ros baik-baik
saja? Selain itu, aku juga ingin
menunaikan haji seperti dirinya. Kalau
aku tetap berjualan di pasar, atau mengharapkan upah mas, mustahil saya bisa
menunaikan haji!” kataku, bersikeras.
“Lho, mendaftarkan jadi TKW itu juga perlu uang, Mar!”
tukas mas Sarwan.
“Aku sudah mendapatkan pinjaman dari pak Markum,” kataku,
sambil memperlihatkan lembaran-lembaran uang.
“Ya, Allah! Berani
benar kau, Mar! Berapa besar yang kau
pinjam? Dari mana kita bisa
menggantinya?” mata mas Sarwan melotot, melihat lembaran-lembaran uang yang
kuperlihatkan. Maklum, selama ini kami
memang tak pernah pegang uang sebanyak yang kupinjam pada pak Markum, juragan
kambing yang kaya raya itu.
“Lima juta, mas!” kataku, tegas.
“Lima juta!??” mas Sarwan terbelalak.
“Ya, lima juta! Mas
tak perlu khawatir. Nanti, setelah aku
mendapatkan gaji, kita bisa mencicilnya.
Pak Markum juga senang mendengar khabar bahwa aku akan berangkat bekerja
jadi TKW!” aku menjelaskan.
“Jelas saja! Pak
Markum itu sahabat almarhum ayah!
Sehingga dia percaya pada keluarga kita. Tapi...”
“Sudahlah mas, apalah artinya lima juta rupiah, bila yang
kudapatkan nanti lebih banyak dari itu!” potongku, meyakinkan keraguan mas
Sarwan.
“Ya sudah, Mar, kalau itu maumu. Aku menurut saja. Tapi kau harus ingat, banyak-banyaklah berdoa,
mendekatkan diri pada gusti Allah,” akhirnya
mas Marwan melunak.
“Jelaslah, mas! Wong
kerja di Arab! Apalagi, nanti aku akan
melaksanakan ibadah haji!” kataku.
“Bukan begitu, Mar. Apa kau tidak pernah dengar, bagaimana
nasib Surtini? Surtini pulang dari Arab
membawa anak, dan tidak tahu siapa suaminya!” tiba-tiba mas Sarwan seperti
berubah pikiran.
“Maksud, mas?!”
“Aku khawatir, bila kau tak kuat iman, kau akan terperosok
seperti dia!”
“Mas! Aku ini eling,
mas! Ya Allah, kok mas bisa-bisanya berfikir
begitu?!!!” aku berteriak, histeris.
“Sabar, Mar... Bukannya berprasangka. Aku cuma mengkhawatirkanmu. Karena tidak semua TKW yang bekerja di luar
negeri itu bisa berhasil seperti mbak Ros dan kawan-kawannya itu.”
Aku terdiam. Menarik
nafas dalam-dalam, lalu melepaskannya perlahan.
Aku mencoba menenangkan perasaan, karena tak mau terbawa arus
emosi. Kupikir, tak enak ribut dengan
suamiku sebelum berangkat ke Arab.
Apalagi kedua anakku yang SD, sebelum kuyakinkan, begitu berat
menyetujui keinginanku jadi TKW.
“Saya minta mas ikhlas.
Anak-anak kita sudah menerima keputusan saya. Uang untuk biaya perizinan dan keberangkatan
sudah ada. Besok perekrut TKW akan
datang menjemput. Seharusnya, mas
mengerti lah,” ucapku akhirnya, terdengar lirih.
Mas Sarwan menundukkan kepala. Masih juga tampak
keberatan. Lalu menatapku, dengan mata
berkaca-kaca.
“Baiklah, Mar, kalau itu memang sudah menjadi keputusanmu,
baik-baiklah di sana. Bekerjalah dengan rajin dan jujur. Patuhilah segala aturan majikanmu. Dan ingat,
jangan tinggalkan solat lima waktu,” ucap mas Sarwan akhirnya, yang kusambut
dengan pelukan.
Keesokan harinya, mas Sarwan dan anak-anak mengantar
keberangkatanku menuju perekrut TKW di kota kabupaten. Tempat perekrutan calon TKW itu kudapat dari
sebuah selebaran dan pengumuman di sebuah tiang listrik pasar. Sejumlah
persyaratan, seperti surat izin keluarga, surat dari kelurahan, sejumlah uang, telah kuperisapkan. Di sebuah ruko (rumah toko), terlihat
beberapa perempuan memenuhi tempat itu. Tampakanya mereka sama sepertiku, calon
TKW yang akan segera diberangkatkan ke Arab Saudi.
Beberapa orang berpakaian rapi, nampak sibuk mengatur
perempuan-perempuan itu. Diantaranya,
sibuk mencatat, melakukan wawancara, dan memeriksa satu persatu calon TKW. Kurasa, mereka-mereka adalah petugas perekrut
calon TKW. Aku pun akhirnya sampai pada
gilirannya, setelah sekitar dua jam mengantri.
Seseorang yang mengaku petugas perekrut TKW itu memeriksa surat-surat,
menyuruhku mengisi lembar-lembar formulir, dan menerima sejumlah uang. Kuberikan hampir seluruh uang itu!
Menurut mereka, uang yang kuberikan untuk biaya pelicin,
biar aku dan perempuan-perempuan calon TKW itu bisa secepatnya berangkat.
Adapun untuk akomodasi dan surat-surat perijinan bekerja di luar negeri, akan
mereka tanggung. Biayanya akan dipotong
secara mencicil, dari gaji yang kuterima nantinya.
Setelah itu,
seluruh calon TKW diberangkatkan ke sebuah penampungan. Sejak saat itulah aku dan keluargaku
berpisah. Dengan tekad kuat, dan
berharap demi kemakmuran keluarga, kukuatkan hati ini agar senantiasa tetap
tegar. Perasaanku penuh dengan suka
cita, akan hal-hal yang akan kunikmati nantinya. Tak ada keinginanan lain selain semata-mata
demi kemajuan keluarga!
Tibalah aku dan calon TKW lainnya di sebuah tempat
penampungan sementara. Tempat penampungan sementara itu sebuah ruko
berlantai tiga. Beberapa kamar telah disediakan untuk istirahat dan melepas
lelah. Karena jumlah calon TKW yang
sekitar seratus dua puluh orang tak sebanding dengan besarnya tempat
penampungan, maka kami harus menempati sebuah kamar dengan jumlah belasan
orang! Aku tak begitu menghiraukan,
sebab kupikir, itu hanyalah tempat sementara.
Sayangnya, perekrut tidak memberitahukan berapa lama kami
akan berada di rumah penampungan itu. Menurut salah seorang calon TKW yang
sempat bertanya pada perekrut, kami akan
menempati tempat itu paling lama tiga hari. Sehari mendapat jatah makan tiga
kali. Menunya lumayan enak, yang kukira
sesuai dengan sejumlah uang yang telah kami serahkan.
Di tempat penampungan itu, aku dan beberapa calon TKW yang
sekamar denganku saling berbagi cerita.
Masing-masing memperkenalkan diri dan mengungkapkan harapan-harapan yang
tidak ada bedanya. Tak berbeda dengan
apa yang selama ini kuharapkan. Kurasa,
apa yang kuinginkan selama ini, mengais rejeki dengan menjadi TKW di luar
negeri, telah menjadi impian banyak perempuan!
Barulah, setelah lebih dari seminggu berada di tempat
penampungan, aku dan para calon TKW menjadi kebingungan. Setelah berhasil mengelabui kami dengan
mengulur-ulur waktu, ternyata jatah makanan yang kami nikmati pun berubah
total. Biasanya makan sehari tiga kali,
berikutnya makan dua kali saja sehari.
Bila sebelumnya dengan lauk daging dan sayur, berikutnya cuma orek tempe
dan sambal. Kecurigaan pun merebak,
setelah sepuluh hari para perekrut itu
mulai terlihat agak kasar.
Makanan pun kadang diberikan kadang tidak. Bila mau makan, terpaksa harus mengeluarkan
uang masing-masing, dan membeli dengan menyuruh orang-orang yang sudah disiapkan. Uangku pun habis untuk makan sehari-hari!
Tiga minggu lamanya kami disekap di sebuah tempat
penampungan. Tak seorangpun boleh
meninggalkan tempat, kecuali yang disebut namanya. Dengan perlakuan kasar dan
makan seadanya, aku dan para calon TKW hanya bisa pasrah. Pada saat itulah semua harapan-harapanku
luluh lantah. Harapan tentang sejumlah
uang yang kukirimkan ke kampung, harapan akan naik haji pada musim haji, harapan
akan membeli sawah dan sapi, dan tentu saja, harapan akan perubahan keluarga
kami.
Aku akhirnya mengetahui bahwa ternyata orang-orang yang mengaku perekrut calon TKW
itu penipu! Apa-apa yang selama ini
menjadi alasan penundaan keberangakatan hanyalah alasan yang dibuat-buat. Apalagi pada akhirnya, sejumlah polisi
menggerebak tempat penampungan. Kami
semua yang berada di dalamnya, mereka akui sebagai calon perempuan penghibur
sebuah sindikat tempat pelacuran!
Dan ternyata, beberapa perempuan muda yang sebelumnya
berada di tempat penampungan bersamaku, telah dikirim ke pulau Batam untuk
dijadikan sebagai wanita penghibur!
Pihak kepolisian berhasil menyelamatkan mereka, dan telah mengembalikan
ke kampung asal mereka masing-masing.
Aku dan beberapa perempuan yang tersisa, rencananya akan diperlakukan
hal yang sama. Dikembalikan ke kampung
masing-masing!
Pada saat itulah timbul kerinduanku pada suami dan
anak-anakku. Rindu berkumpul dengan
mereka, bercengkerama dan berbagi rasa, meski dalam keadaan sangat
sederhana. Aku menyadari, bahwa
ternyata, kebahagiaan tidak harus didapat dengan limpahan kekayaan semata. Dengan segala kekukarangan seperti yang
kurasakan saat ini, ketika akhirnya aku bisa kembali berkumpul dengan seluruh
keluarga, kurasakan betapa nikmatnya kebersamaan. Namun begitu, tentu aku harus siap menanggung
malu dan beban hutang yang harus kubayarkan!
Dengan cara apa hutang itu kubayar?
***
Meskipun kerinduanku pada keluarga begitu menggebu,
akhirnya kuputuskan untuk tidak kembali ke kampung terlebih dulu. Aku tak mau mengecewakan mas Sarwan dan
anak-anakku. Aku tak mau melibatkan mas
Sarwan dan anak-anak, memikirkan besarnya hutangku.
Akhirnya, dengan bantuan sebuah lembaga tenaga kerja, aku
bekerja menjadi pembantu rumah tangga.
Aku bekerja di kota Tangerang, sebuah daerah di mana aku dan beberapa
perempuan calon TKW dulu disekap. Aku bekerja pada keluarga berada, dan alhamdulillah
diperlakukan dengan baik.
Setelah sebulan bekerja, aku berfikir untuk berkirim surat
ke kampung. Mengabarkan keadaanku. Tapi,
aku takut mas Sarwan dan anak-anak tahu kalau aku tak bekerja di luar
negeri. Aku yakin, pasti mas Sarwan dan
anak-anak mengkhawatirkan diriku. Oleh
sebab itu, tak mungkin kukhabarkan keadaanku yang sebenarnya. Aku hanya ingin
mengatakan bahwa aku rindu mereka.
Dan kini, setiap bulan kusimpan gaji yang kudapat. Untuk sampai pada jumlah uang yang dulu
kupinjam, mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun mengumpulkannya. Sebab gaji
yang kuterima tak sebesar gajinya mbak Ros atau mbak Sulastri yang bekerja di
Arab Saudi.***
*)Tangerang, 13 Ramadhan 1424 H
0 comments:
Posting Komentar