Mamat Metro

Mamat Metro

Putri Penggali Kubur

Cerpen  Zaenal Radar T.

Dimuat majalah Muslimah, Edisi 46Th IV, Mei 2006

photo:www.youtube.com



           Dulu, sewaktu SMP, Rima tak pernah menjawab bila ditanya apa pekerjaan ayahnya. Rima malu. Sebab ayah Rima cuma seorang penggali kubur. Tidak seperti profesi ayah teman-temannya di sekolah. Kalau bukan manajer atau direktur, setidaknya karyawan perusahaan. Atau paling tidak, seorang pedagang.

Bila pihak sekolah memberikan formulir, atau surat-surat apa saja yang ada kolom nama orangtua dan pekerjaanya, Rima selalu berbohong. Rima selalu menulis bila pekerjaan ayahnya adalah pegawai swasta. Itu juga sebenarnya atas saran ibunya, waktu Rima mengeluhkan soal pekerjaan ayah.

“Kamu malu ya, kalo pekerjaan ayah kamu tuh penggali kubur?” tanya ibu, mendengar keluhan Rima.

“Iya Bu. Soalnya pekerjaan ayah temen-temen Rima kan nggak ada yang penggali kubur. Terus, kalo temen-temen tahu pekerjaan ayah cuma penggali kubur, bisa-bisa mereka mengejek Rima.”

“Ya sudah kalau begitu. Kamu tulis pegawai saja. Penggali kubur seperti ayah kamu kan pekerja juga. Pekerja artinya pegawai, meski ayah bekerja untuk dirinya sendiri. Gimana?”

“Jadi... di kolom pekerjaan ayah itu ditulis pegawai swasta ya Bu?”

“Iya. Kamu jadi nggak malu, kan?”

Rima mengangguk-angguk senang. Tapi tak lama kemudian Rima tampak bingung.

“Tapi bu, kalau temen-temen Rima tanya apa nama perusahaan ayah, gimana?”

Kini Ibu yang gantian jadi bingung. Ibu menghela nafas dan berfikir keras. Sesaat kemudian ibu menjentikkan jemarinya, seperti menemukan ide brilian.

“Nah! Ibu tahu! Gimana kalau perusahaan ayah tuh kita namakan PT. Damai Abadi. Jadi, kalo temen-temen kamu tanya, bilang aja ayah kerja di PT. Damai Abadi...”

Rima mengerutkan dahi. Super bingung.

“Maksud ibu...? Kenapa namanya PT. Damai Abadi..?”

Ibu tersenyum, “Kan pekerjaan ayah itu menggali kubur. Nah, semua orang yang dikubur itu kan sudah mati. Kalau sudah mati, dia akan damai, nggak lagi mikirin persoalan dunia. Selain itu, yang mati itu akan abadi di dalam kubur, baru kemudian dibangkitkan ketika nanti di hari kiamat. Hehehe...”

“Duh, ibu gimana seh? Apa semua orang mati akan damai? Kalau hidupnya di dunia selalu jahat, kan akan disiksa dulu bu?”

“Kalau begitu, gimana kalau nama perusahaan ayah diganti jadi PT. Derita Abadi? Hehehe...”

“Ibu bisa aja deh... Hehehe...”

Ibu dan Rima tertawa, hingga membuat ayah yang baru pulang dari pemakaman jadi keheranan.

“Ada apa ini, kok kayak ada yang lucu?”

“Eh, ayah! Ini Yah, Rima lagi ada masalah...”

Ibu pun menceritakan permasalahan Rima pada Ayah. Dan tidak disangka-sangka, Ayah tiba-tiba berubah murung.

“Ayah, kok ayah jadi sedih gitu?”

Ayah lalu duduk dan menyelonjorkan kedua kakinya. Pakaiannya masih terlihat kotor. Barangkali karena barusan menggali kuburan.

“Rima... sini kamu. Duduk dekat ayah...”

Rima lalu mendekati ayahnya.

“Rima... maafkan ayah ya, kalau ayah nggak bisa mencari pekerjaan lain. Ayah cuma bisa menggali kuburan. Inilah pekerjaan yang ayah bisa lakukan. Maaf kalau semua ini membuat kamu malu...” ucap ayah, seraya mengusap-usap kepala Rima dengan penuh kasih sayang.

“Ayaaah..! Ayah jangan ngomong gitu, dong! Rima nggak bermaksud...”

“Sudahlah, ayah mengerti perasaan kamu...” potong ayah, membuat keadaan berubah jadi murung.

Sejak saat itu, Rima berjanji dalam hati tak akan menyinggung-nyinggung pekerjaan ayah. Apalagi setelah Rima kelas tiga SMA. Rima sudah mengerti dan tak lagi mempersoalkan pekerjaan ayahnya.

***

Rima tak pernah tahu sejak kapan ayahnya menjadi penggali kubur. Seingat Rima, sejak kecil ia sudah melihat ayahnya membawa-bawa cangkul. Selain menggali kubur,  ayah Rima juga bertugas membersihkan areal pemakaman.

Penghasilan yang diperolah ayah tidaklah cukup kalau saja Ibu tidak membantu mencari uang tambahan. Ibu berjualan kopi dan gado-gado di sebuah gubuk depan rumah, yang letaknya pas di depan pintu gerbang pemakaman. Yang jelas, selama ini kebutuhan keluarga dan untuk keperluan sekolah Rima tercukupi. Rima mensyukuri semua ini.

Di sekolahnya, di sebuah SMA elite, tak ada yang tahu bila Rima putri seorang penggali kubur. Rima anak yang cerdas karena rajin belajar. Ia memperoleh bea siswa dari bapak bupati karena kerap memenangkan perlombaan Musabakoh Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat provinsi. Anak-anak di sekolah pun bangga padanya.

Setiap kali ada perayaan keagamaan di sekolah, Rima selalu ditunjuk menjadi tilawah atau pembaca al-Quran. Begitupula jika ada acara-acara di daerahnya. Suara Rima mengaji sungguh terdengar indah. Tak mengherankan bila Rima disukai banyak orang. Di sekolah,  Rima yang berwajah cantik ini ditaksir oleh anak-anak cowok. Salah satu diantaranya adalah Farhat, putra pak gubernur yang satu kelas dengan Rima. Hampir seisi sekolah tahu bila Farhat menyukai Rima. berita ini santer terdengar karena Farhat memang selalu berterus terang pada anak-anak yang menanyakan soal pacar.

Di sekolah, seperti halnya Rima, Farhat menjadi pujaan anak-anak cewek. Selain pintar dan tampan, semua tentu ingin menjadi kekasihnya mengingat Farhat adalah putra sulung seorang gubernur. Tapi Farhat sendiri anak yang sederhana. Farhat tidak memperlihatkan kelebihannya sebagai anak seorang pejabat di dalam pergaulan.

Bila mendengar temen-temen menyinggung soal Farhat padanya, Rima menanggapinya dengan biasa-biasa saja. Rima menyadari bila dirinya tidak-lah pantas disanding-sandingkan dengan Farhat. Rima berfikir, barangkali teman-temannya tidak tahu bila ia hanyalah putri seorang penggali kubur. Sedangkan Farhat putra seorang gubernur.

“Ma, Farhat kirim salam terus tuh. Gimana, dong?” ujar Regina, salah satu teman Rima, saat pulang sekolah.

“Bilang aja, wa’alaikum salam...

“Kok, cuma gitu? Gimana dong, Ma. Emangnya kamu nggak suka ya, punya pacar anak pejabat...?”

“Bukannya nggak suka. Tapi ibuku melarang aku pacaran...”

“Uh, norak banget nyokap lo!” sela Sisil, temannya yang lain, putri seorang direktur sebuah bank pemerintah.

“Eh, Ma. Kenapa sih lo nggak pernah mau dianter pulang sama Farhat? Emang bokap lo galak, ya? Gue yakin, kalo bonyok lo tau si Farhat anak pak Gubernur, dia nggak bakalan berkutik...?” temannya yang lain ikut komentar.

Rima tersenyum pada semua teman-temannya.

“Jangankan putra Pak Gubernur. Putra Presiden juga bakalan diusir sama ayahku!” ujar Rima, sambil menatap temannya satu-persatu.

“Fuih... Top be-ge-te deh bokap lo? Boleh tau nggak, bokap lo kerja di mana sih? Pasti bokap lo bukan orang sembarangan, ya?”

Rima tiba-tiba jadi merasa tertekan terhadap sikap teman-temannya. Sampai kelas tiga SMA memang tak pernah ada yang tahu tentang Rima. Siapa ayahnya. Pekerjaannya. Rumahnya. Yang mereka tahu, Rima adalah anak yang cerdas dan juara membaca al-Quran tingkat nasional. Selain itu, kebanyakan anak-anak di sekolah Rima sebenarnya anak-anak dari kalangan menengah atas yang hampir semuanya bermobil. Setidaknya, mereka pulang diantar dan dijemput oleh seorang sopir. Mereka tidak pernah memperhatikan Rima. Kecuali saat terdengar kabar bila Farhat putra Pak Gubernur sangat mendambakannya.

Rima tak pernah mempedulikan siapa teman-temannya. Memang sih, Rima malu bila anak-anak tahu di mana rumahnya. Siapa ayah dan ibunya. Dan terutama, apa pekerjaan ayahnya. Itulah yang menyebabkan Rima tak pernah mau berkumpul dengan teman-temannya bila mereka janjian mampir di mal atau resto. Rima memilih pulang, membantu ibunya di warung gado-gado.

“Rima, kok lo diam aja? Jangan-jangan bokap lo seorang petinggi juga, ya?”

Rima lalu tersenyum.

“Temen-temen, kalian mau tau pekerjaan ayahku?”

Semua mengangguk.

“Ayahku... ayahku penggali kubur...”

Semua anak tersentak.

What?!!

“Masak, sih?”

“Bohong, lo!”

“Ngarang ajah!”

“Aku nggak bohong! Nah, sekarang kalian puas? Kalian udah tau kan, kalo aku cuma putri seorang penggali kubur?”

Semua anak terdiam. Lalu salah satu diantara teman Rima, Davina,  memegang jemari Rima. Yang lainnya juga melakukan hal yang sama. Mereka saling berpegangan tangan dengan erat, “Rima... denger ya. Gue, Regina, Sisil, Clara, dan semua anak-anak di sini bangga banget sama elo. Gue yakin, bokap-nyokap lo nggak kalah bangganya punya anak kayak lo. Percayalah, siapapun bokap lo, pasti dia orang yang sangat bertanggungjawab dan mulia. Kita semua fine-fine aja dan nggak ngerasa risih, kok? Iya nggak temen-temen...?”

“Iya, Dav! Gue setuju!”

“Rima... elo tuh temen kebanggan kita-kita...”

Rima merasa lega dan bahagia. Rima benar-benar tidak menyangka mendapat perlakuan seperti ini oleh teman-temannya.

***

Beberapa pekan sebelum perpisahan sekolah, terjadi banyak masalah. Entah mengapa beberapa teman-teman Rima menjadi murung di sekolah. Setelah bertanya sana-sini, ternyata Rima baru tahu bila beberapa ayah temannya tengah menjalani proses persidangan di kejaksaan agung. Ayah teman-teman Rima yang umumnya  menjadi petinggi beberapa bank pemerintah diperiksa karena diduga melakukan praktik korupsi.

Farhat sendiri, menjadi sangat terguncang ketika ayahnya yang gubernur menjadi tersangka penggelapan uang negara milyaran rupiah. Bukan hanya malu, Farhat menjadi seperti orang pesakitan. Itulah yang menyebabkan Rima tak mau tinggal diam. Rima menguatkan semua teman-temannya untuk menyikapi permasalahan mereka dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.

Suatu siang, setelah menguatkan teman-teman yang mendapat cobaan berat, Rima mendekati Farhat yang kini selalu menghindar dari pergaulan karena malu.

“Farhat, kenapa kamu selalu murung?”

“Aku malu, Ma. Aku malu jadi seorang anak dari ayah koruptor...”

“Farhat, yang koruptor kan ayah kamu, bukan kamu. Kamu harus selalu tegar, ya. Ikhlaskan ayah kamu dihukum. Dan kamu berjanji untuk tidak seperti beliau...”

Farhat tersenyum pada Rima, senyum yang sebenarnya dipaksakan.

“Makasih, Ma. Aku fikir kamu malu punya teman anak koruptor seperti aku...?”

Rima menggeleng seraya menunjukkan senyuman manisnya.

***

Kini Rima sudah duduk dibangku kuliah, juga atas bea siswa. Masa-masa SMA yang teramat manis telah ia lalui. Meskipun telah berpisah, beberapa teman Rima semasa SMA masih ada yang sempat main ke rumah Rima. Mereka menjadi sahabat yang benar-benar kompak. Dan kini, semua benar-benar yakin bila ayah Rima hanyalah seorang penggali kubur. Dan hal itu tidak membuat Rima risih dan malu. Rima cukup bangga punya ayah yang bekerja dengan jujur dan bertanggungjawab.

Ketika kuliah,  Rima yang cantik dan cerdas menjadi idola semua orang di kampusnya. Diantara mereka tahu bila Rima putri seorang penggali kubur. Sebab setiap kali mengisi formulir atau berkas-berkas keperluan administrasi tentang pekerjaan orangtua, Rima tak pernah ragu untuk menuliskan apa nama pekerjaan orangtuanya.

“Maaf mbak Rima, ee... pekerjaan ayah kamu... penggali kubur?” tanya salah seorang di bagian administrasi pada suatu kesempatan, seolah kurang yakin.

Rima mengangguk sambil tersenyum manis.

Pegawai administrasi pun mengangguk-angguk seraya tersenyum, “Sungguh teramat mulia ayah kamu itu...”***

*)Pamulang, Banten 16 Februari 2006
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...