Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber: Majalah UMMI, No.07/XV, Des-Jan 2004
Sumber: Majalah UMMI, No.07/XV, Des-Jan 2004
“Tuhan nggak akan memberikan ujian dengan cobaan yang nggak
sanggup dipikul umatnya!”
Demikianlah kata-kata yang ia dengar dari seorang lelaki berjenggot
tebal, ketika ia menceritakan tentang hidup yang tengah ia jalani. Lelaki
berjenggot tebal itu ustadz Jamal, yang ia kenal di masjid tempatnya bekerja.
Ustadz Jamal kerap melakukan shalat di masjid itu, masjid bandara yang selalu
dipenuhi jamaah shalat para pegawai dan pengguna bandara.
“Bersabarlah, nak. Barangkali Tuhan tengah mengujimu!” tambah ustadz
Jamal, setelah mendengar ceritanya. Ia memang telah banyak bercerita pada
ustadz Jamal karena ustadz itu meminta. Ustadz melihat kesedihan di wajah lelaki muda itu, ingin mendengar
apa yang tengah ia alami sehingga ia tampak bersedih. Ustadz Jamal memang bukan
siapa-siapa. Beliau hanya seorang pengelana pengguna bandara yang kebetulan
sering melakukan shalat bersama dengannya di masjid itu.
Kata-kata ustadz Jamal begitu meresap di hatinya, namun ia tetap tak
bisa menerima. Ia merasa Tuhan terlalu berat mengujinya! Tuhan menguji dirinya
dengan cobaan yang tak mungkin bisa ia pikul! Tuhan memberikan ujian yang tak
akan sanggup ia hadapi!
***
Sejak tujuh tahun lalu istrinya terkapar sakit. Istri yang
telah mengaruniai dua anak itu mengalami gagal ginjal dan kelainan pada
perutnya, dan harus keluar masuk rumah sakit untuk keperluan cuci darah. Dalam
satu bulan, paling sedikit istrinya harus tiga empat kali cuci darah. Sebab
kalau tidak, hanya tinggal menunggu detik-detik kematian!
Sebagai salah seorang pekerja di bandara penerbangan (ia
sebagai pekerja bongkar-muat barang penumpang), istrinya mendapat keringanan
berobat dari perusahaan tempatnya bekerja. Segala biaya rumah sakit yang
diderita istrinya ditanggung perusahaan. Hanya saja, melihat penderitaan
istrinya selama tujuh tahun itu, harus keluar masuk rumah sakit dan berbagai
pengobatan alternatif lain, ia merasa kasihan.
Setiap hari, ia mengurusi dua anak-anaknya yang masih
kecil. (Anak pertama dua belas tahun, anak kedua tujuh tahun.) Sebab ia tak
ingin mengandalkan istrinya, yang tak mungkin mampu mengerjakan pekerjaan rumah
tangga. Setiap hari istrinya berbaring di dipan, dan tak bisa berbuat apa-apa.
Perutnya yang menghidap kelainan terus membesar, meskipun cairan yang ada
didalamnya selalu dikeluarkan (disedot) oleh dokter rumah sakit.
Setiap kali mendengar tentang ahli pengobatan yang mampu
mengobati penyakit yang diderita istrinya, ia membawa istrinya untuk berobat.
Ia berusaha untuk menyembuhkan penyakit istrinya itu. Sebab ia percaya, kalau ia mau berusaha,
Tuhan pasti mengabulkan permohonannya.
“Tak ada penyakit yang tak bisa disembuhkan”. Demikian
bunyi resep salah satu tabib yang pernah ia datangi. Tetapi nyatanya, penyakit istrinya tidak
pernah sembuh. Namun ia tidak putus asa. Ia datangi tempat pengobatan
lainnya. Dokter ahli. Tabib. Orang
pintar. Dan sebagainya. Semua ia usahakan agar istrinya bisa sembuh.
***
Sejak istrinya terkapar tak berdaya, ia tidak hanya menjadi
tulang punggung keluarga. Ia juga harus merawat seluruh anggota keluarga.
Mencuci, memasak, mengurus anak-anak dan sebagainya. Semua ia lakukan dengan
tabah.
Ia mengerjakannya sendiri karena tak mungkin minta bantuan
orang lain. Gajinya tak akan cukup membayar pembantu. Karena meskipun biaya
rumah sakit ditanggung perusahaan, biaya transportasi dan untuk pengobatan
lainnya ia tanggung sendiri. Bila mendengar seseorang tentang ahli pengobatan
yang mungkin mampu menyembuhkan penyakit istrinya, ia langsung membawa istrinya
berobat!
Selama tujuh tahun lebih hal itu ia lakukan. Tak pernah
mendapat hasil yang menggembirakan. Apapun yang ia miliki rela ia korbankan
untuk membiayai perobatan istrinya, di samping rutin cuci darah di rumah sakit.
Namun istrinya tetap terkapar tak berdaya, menghadapi penyakit yang
dideritanya.
***
Selama ini ia tak pernah menangis. Ia memang laki-laki tegar. Di depan anggota
keluarganya, ia tak pernah terlihat sebagai lelaki yang menderita kesusahan
atau kepedihan. Ia terlihat baik-baik saja meski istrinya terkapar sakit.
Andaikata hal itu terjadi pada anggota keluarga lainnya yang hidup pas-pasan,
baik dari pihak istri atau dirinya, tentu tak akan mampu menanggung beban yang
harus dipikul akibat penyakit istrinya.
Berobat cuci darah ke rumah sakit itu tidak murah! Sekali
masuk biayanya mencapai empat ratus ribu rupiah lebih. Belum lagi harus
mengeluarkan cairan perutnya. Bayangkan bila dalam sebulan istrinya masuk
paling sedikit empat kali cuci darah.
Disamping harus menebus obat-obatnya, yang tentu tidak murah. Sungguh,
ia berterima kasih pada perusahaan yang selama ini menanggungnya!
Semua keluarga bersyukur ia bekerja di perusahaan itu.
Mereka membayangkan andai biaya itu dipikul oleh dirinya seorang, atau dari
seluruh keluarga sekalipun. Mereka mengakui tak akan sanggup menghadapi beban
ini!
Sejak tujuh tahun merawat istrinya, mengantar keluar masuk
rumah sakit, baik untuk keperluan cuci darah atau berobat dengan ahli
pengobatan lain yang memungkinkan mampu mengobati istrinya, ia memang selalu
tampak tegar. Padahal, tak jarang ketika ia mengantar istrinya masuk rumah
sakit untuk keperluan cuci darah itu, atau menyedot cairan yang bersarang
diperut istrinya yang terus membengkak,
satu dua pasien rumah sakit penderita penyakit seperti yang diderita
istrinya menutup mata untuk selama-lamanya.
Ia jadi bangga juga terhadap fisik istrinya, melawan
penyakit yang selama ini menggerogotinya. Setiap malam, ketika mengantarkan
istrinya tidur, tak pernah lupa ia kecup keningnya. Ia hantarkan istrinya
tidur, setelah itu baru anak-anaknya.
Pernah ketika ia dan istrinya berada di dipan menjelang
tidur, istrinya berkata bahwa ia bebas mencari istri lain sebagai pendamping
hidupnya. Istrinya mengaku pasrah pada keadaan dirinya yang hanya menjadi
beban.
Ia sempat mengeluarkan airmata mendengar ketulusan
kata-kata istrinya itu. Dan ia bisikkan ke telinga istrinya, bahwa ia tetap
mencintainya dalam keadaan bagaimanapun!
***
Kembali ia teringat pada kata-kata ustadz Jamal, bahwa
“Tuhan nggak akan memberikan ujian dengan cobaan yang nggak
sanggup dipikul umatnya!”
Ia renungi kata-kata itu, sambil duduk termenung di hadapan
istrinya yang terkapar di dipan. Kata-kata yang ia dengar setelah mendengar
keputusan PHK dari pihak perusahaan itu tak henti-hentinya berkelebat, memenuhi
dinding-dinding ingatan.
Ya, ia mendengar kata-kata ustadz jamal itu tiga bulan
lalu, sesaat setelah ia mendapat
khabar. Bahwa perusahaan tempatnya bekerja, yang selama ini menghidupi diri dan
keluarganya, memberikan keringanan berobat istri tercintanya, melayangkan surat
pemutusan hubungan kerja!
Ia pasrah mendengar khabar buruk itu, dan sebisa mungkin
untuk tetap tabah dan sabar. Ia berusaha untuk yakin bahwa, Tuhan nggak
mau menguji dirinya dengan cobaan yang nggak sanggup ia pikul!
Kini, tiga bulan sudah ia menganggur. Ia harus menghadapi
ketika istrinya tak bisa lagi menikmati cuci darah. Menghadapi perut istrinya
yang terus membesar. Ia hanya bisa duduk terpaku, melihat istrinya terbujur
sakit dengan bibir gemetar.
Melihat kesehatan istrinya yang semakin memburuk,
sebenarnya ia ingin istrinya mati saja karena kasihan melihat keadaannya.
Perutnya semakin membesar. Kakinya menjadi bengkak. Darah keluar melalui
pori-pori. Sekujur kaki dari betis hingga pangkal paha mengeluarkan cairan,
terlihat seperti seorang korban kebakaran!
Semenjak tak dibawa ke rumah sakit, istrinya menjerit-jerit
lirih di dipan reot. Hanya bisa berkeluh dan menyebut-nyebut nama Tuhan.
Keluarga dekat datang silih berganti. Tapi tak mampu
berbuat apa-apa. Semua hanya bisa berdoa. Berdoa. Dan berdoa. Menyabarkan
dirinya. Menyuruhnya untuk tetap sabar dan tabah. Dalam hati kecilnya ia
berteriak, di manakah Tuhan sekarang berada?
***
Hari ini, alhamdulillah ia mendapatkan pekerjaan
baru. Seorang teman bekas temannya bekerja menawarkan pekerjaan sebagai buruh
harian di sebuah proyek perumahan. Ia tentu tidak berharap apa-apa selain
mencari uang seperak dua perak untuk menyambung hidup. Namun bersamaan dengan
itu, istrinya menghembuskan nafas terakhirnya untuk selama-lamanya setelah
tujuh tahun lebih disiksa penyakit!
Ia menangis, bukan saja karena kepergian istri
tercintanya. Ia menangis karena sempat
tak meyakini apa yang pernah diucapkan oleh ustadz Jamal, bahwa Tuhan tidak
akan menguji umatnya dengan cobaan yang tak sanggup ia pikul!
Ketika tak ada lagi biaya untuk mengobati istri
tercintanya, ketika tak ada lagi harta untuk menyambung hidup diri dan
anak-anaknya, Tuhan mengambil istri tercintanya, lalu memberikan pekerjaan baru untuknya! ***
*)Tangerang, 09/2003
0 comments:
Posting Komentar