Mamat Metro

Mamat Metro

Jenggot Suamiku

Cerpen Zaenal Radar T.



Sumber:   Majalah SAFINA, No. 3/ TH II, Mei 2004/ 1425 H


Tiba-tiba aku ingin sekali suamiku berjenggot.  Entah mengapa keinginanku ini datang secara mendadak, setelah perkawinan kami memasuki tahun kedua.  Dulu aku memang tak suka melihat lelaki berjenggot.  Sekarang malah balik merindukannya.


          
Photo: idntime.com
          Aku benar-benar  menginginkan suamiku berjenggot.  Tapi sayangnya janggut suamiku tak tumbuh jenggot.  Tumbuh sih tumbuh, tapi tidak selebat jenggot yang kudambakan.  Yang aku mau jenggot yang lebat dan hitam, seperti jenggot orang-orang Arab.  Uh, sayangnya jenggot suamiku tumbuhnya jarang-jarang!
“Pokoknya aku ingin abang jenggotan!  Titik!” rengekku pada si abang.
“Duh, istriku tersayang... bagaimana bisa?  Dari dulu juga abang nggak pernah pelihara jenggot.  Sebab jenggot abang tumbuhnya jarang-jarang!”
“Pokoknya abang harus jenggotan!”
“Lho!?”
“Harus!”
“Caranya?”
“Terserah abang, ye!!”
“Kalau enggak bisa...?”
Si abang memperlihatkan sikap menyerah.  Dan aku tidak mau  tahu, pokoknya si abang, suamiku tercinta, kudu jenggotan!
“Kalau tetap enggak bisa, bagaimana?” ulang si abang, sembari memamerkan wajah sendunya.  Nampak pasrah.  Seperti hendak menangis saja.
“Ikhtiar, bang!  Masak belum apa-apa sudah menyerah.  Apa abang enggak sayang dengan janin abang?  Bang!  Abaaannggg....  Huu...!” aku terpaksa nangis sambal.  Menggombal agar si abang berusaha menciptakan jenggot lebat di janggutnya.
“Sudahlah istriku sayang.  Cep cep cep..., nanti abang usahakan.  Akan abang tumbuhi janggut abang ini dengan jenggot yang kamu inginkan!”
“Nah, begitu dong!  Itu baru namanya suamiku!”
“Tapi...,” tiba-tiba si abang seperti berubah pikiran.
“Tapi apa, bang?!”
“Kalau kumis saja, bagaimana?”
“Kok, nawar bang?”
“Gimana, kalau kumis?!”
“Enggak!!  Aku enggak mau kumis!  Aku jijik kumis!  Aku maunya jenggot!  Jenggot yang hitam dan lebat!  Jenggooottt...  Huu...!”
“Huh, Manja!!”
Suamiku ke luar kamar, meninggalkan aku sendirian di ranjang.  Aku sempat mendengar gerutuannya ketika tubuhnya sudah berada dibalik pintu kamar.  Ia bilang, “Dasar, ngidam kok jenggot!  Ughh!!”
***
Semenjak aku minta jenggot, hampir setiap malam aku ketawa cekikikan.  Tapi aku tak berani cekikikan di depan si abang.  Aku takut ia tersinggung.  Terus terang saja, setiap malam janggut si abang diolesi obat jenggot.  Entah apa merek obatnya.  Yang jelas, bentuknya seperti ampas kopi.  Aku geli melihat ‘ampas kopi’ itu dibaluri di janggutnya!
Tapi aku senang.  Si abang ternyata memang suami yang setia.  Dan sebentar lagi si abang pasti jenggotan.  Mudah-mudahan jenggotnya lebat seperti jenggot yang kuidam-idamkan.
Setiap malam, sebelum tidur, si abang mematut-matut di depan cermin.  Tak lupa  jenggotnya ia lumuri ‘ampas kopi’ itu.  Tapi sudah hampir sebulan penuh, hasilnya belum kelihatan.  Janggutnya masih tetap kelimis.  Tumbuh sih tumbuh. Tapi jarang-jarang.  Paling kalau dihitung-hitung ada sekitar dua atau tiga helai!
“Wah, kalau begini repot, bang!  Masak sudah sebulan lebih jenggot abang belum juga lebat?  Kalau sampai kehamilanku nanti melewati usia tujuh bulan, bisa-bisa  anak kita ileran!
“Lho!?”
“Iya, bang! Sebab jenggot abang belum juga lebat!”
“Apa hubungannya jenggot sama  ileran?!
“Baaanngg...!! Abang kok enggak pernah ngerti-ngerti, siiih??”

***
Setelah merasa tak manjur dengan obat ‘ampas kopinya’, sekarang si abang rajin pakai lidah buaya dijanggutnya.  Tidak hanya diwaktu mau tidur saja, si abang juga membawa-bawa lidah buayanya ke kantornya.  Mungkin si abang berharap, mudah-mudahan jenggotnya bisa cepat lebat.
Tapi hampir tiga minggu berlalu, belum juga ada perubahan apa-apa terhadap janggutnya.  Padahal ia sering mengeluh janggutnya suka gatal-gatal bila air lidah buaya itu dibalurkan.
Karena merasa lidah buaya  tidak manjur, si abang mencoba saran tetangga sebelah. Katanya Katel, sejenis hewan tanah, minyaknya bisa berkhasiat buat numbuhin bulu-bulu.  Cara memakainya, Katel itu dibakar untuk diambil minyaknya, lalu digosokkan pada bagian tubuh yang ingin ditumbuhi bulu.  Namun sayangnya, si abang kesulitan mencari binatang Katel.  Karena biasanya, Katel hanya ditemukan di daerah tanah yang gembur, seperti Jangkrik. Tepatnya pada tanah persawahan.  Aduh kasihan si abang, sawah kan sudah sulit ditemukan di pinggiran Jakarta ini?
Untungnya si abang bisa menemukan Katel itu di daerah kaki lima Blok M.  Dan di situ Katel sudah diproses oleh penjualnya. Jadi sudah siap pakai.  Si abang tak perlu repot-repot membakar Katel  itu karena penjualnya sudah menyediakannya dalam bentuk cairan  pada botol-botol.
Si abang membeli  satu botol.  Pasti manjur, pikir si abang.  Sebab kata si abang, di tempat penjual minyak Katel itu selain terdapat Katel yang masih hidup –mungkin biar meyakinkan pembeli bahwa cairan pada botol-botol itu benar-benar minyak Katel—terdapat beberapa gambar orang yang bulunya lebat.  Tidak hanya bulu jenggot saja: Ada kumis, bulu  dada, bulu tangan, dan cambang.  Dan pasti si abang cukup membaluri janggutnya saja.  Karena permintaan janin dalam kandunganku ini cuma jenggot, jenggot, jenggot!  Tidak bulu yang lainnya!
Tapi, ya Allah.  Kok, tetap saja janggut si abang masih kelihatan licin saja.  Ternyata obatnya tidak mujarab!  Jangan-jangan cairan pada botol itu lebih banyak airnya daripada minyak Katelnya?
Setelah sadar  bahwa ternyata Katel dianggap tak manjur, maka si abang  memakai cara lain agar supaya jenggotnya bisa tumbuh lebat. Kata teman kantornya, kemiri yang dibakar sangat bagus minyaknya  untuk merangsang tumbuhnya bulu jenggot.  Maka akhirnya suamiku sering kupergoki tengah membakar biji kemiri, mengambil minyak dan arangnya, mengolesinya pada janggutnya.  Aduhai, setiap malam aku merasa tidur ditemani bumbu dapur!
Ya Allah, si abang, suamiku tercinta, maafkan aku telah menyusahkanmu!  Tapi semua ini bukan semata-mata keinginanku.  Barangkali juga kemauan janin yang ada dalam kandunganku?
“Jadi memang benar-benar bukan kamu yang menginginkan aku berjenggot lebat itu?”
“Memang bukan.”
“Jadi... dia, rupanya?” tangan si abang meraba perutku.  Lalu mengecupnya dengan sekali sentuhan.  Auww,  bau kemiri!
“Mengapa calon bayi kita ini ingin jenggot?”
“Aku tidak tahu.  Tanya saja nanti, kalau sudah kukeluarkan!”
“Lho!?”
“Kok, lho?!”
“Lho, mengapa yang dia inginkan aku berjenggot?”
“Ya, bang.  Berjenggot...”
“Apa, iya?”
“Eh, bang.  Abang tahu enggak?”
“Apa?”
“Memelihara jenggot itu sunnah rasul, lho!?”
“Iya, tapi abang kan enggak jenggotan!”
“Tapi, mengapa calon anak kita menginginkan abang berjenggot, ya?”
“Mungkin anak kita ini nantinya anak yang soleh kali, ya?”
“Hmm,”
“Hmm,”
“Mmm, iya ya... kenapa ya... anak kita ingin abang berjenggot?”
“Ah, jangan-jangan semua ini hanya bisa-bisa kau saja, istriku!”
“Lho, ini benar bang!  Benar-benar keinginan anak kita!  Sungguh, bang!  Bukan aku yang menginginkannya!”
“Baik.  Baiklah.  Tunggu tanggal mainnya!”
“Maksud abang?”
“Sudah, jangan banyak tanya. Kapan batas waktu terakhir abang jenggotan?”
“Pokoknya sebelum kehamilanku berusia tujuh bulan, abang harus sudah berjenggot lebat!”
“Setuju!!!”
***

Hingga hampir memasuki usia kandunganku yang ketujuh bulan, jenggot suamiku belum juga tumbuh lebat. Tapi sore itu jenggot suamiku lebat sekali. Pasti bukan karena obat jenggot, lidah buaya, Katel, atau biji kemiri yang dibakar.  Entah dengan cara apa jenggotnya bisa benar-benar lebat sekali. Padahal paginya janggutnya masih kelimis.  Masak, baru sehari tiba-tiba jenggotnya lebat?
“Bukankah usia kandunganmu hampir tujuh bulan?” tanyanya, setelah aku dan dia saling berhadap-hadapan.
Aku diam saja. Kutampakkan wajah cemberutku.  Dan si abang menggaruk-garuk jenggotnya.
Ya Rabbi, sebenarnya aku ingin sekali tertawa melihat jenggotnya yang lebat.  Aku tahu jenggotnya  itu jenggot palsu!
“Apakah abang hendak menipuku?” kataku akhirnya.
“Pssssttt...justru itu, sayang.  Kamu jangan bilang-bilang si dia ya, kalau jenggotku ini palsu...” bisik suamiku, sambil mengelus-elus perut buncitku.
“Jangan bilang-bilang siapa?”
“Jangan bilang-bilang si dia...” si abang meraba-raba perut buncitku lagi.  Lalu mengecupnya berkali-kali.  Hey!  Sudah tak bau kemiri lagi!
“Jadi abang hendak mengajarkan berbohong pada anak kita rupanya?” kataku.
“Hah?! Kok... ?”
“Yah.  Bukankah abang telah memperlihatkan kepalsuan padanya?”
“De-de-demi kebaikan kan, enggak apa-apa, istriku?”
“Kebohongan tetap kebohongan, bang.  Kepalsuan tetap kepalsuan!  Bukalah jenggot palsu itu.  Jangan ajarkan calon bayi kita kepalsuan!  Lagipula, ternyata si abang lebih tampan tak berjenggot...” akhirnya aku berkata jujur.
“Tapi... si dia, nanti bagaimana?” si abang mengecup perut buncitku sekali  lagi.
“Ternyata abang lebih ganteng tak jenggotan!” ujarku akhirnya.
“Hmmm, itulah mungkin, mengapa Allah tak menciptakan jenggot untukku!” 
Setelah berkata  begitu, si abang kembali mengecup si dia, yang kukira sudah tak ingin calon ayahnya berjenggot!***
                                                                                                          *) Pamulang Barat, Banten, 2002
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...