Mamat Metro

Mamat Metro

Unjuk Rasa

Cerpen Zaenal Radar T.

Sumber:  majalah kaWanku, No. 16/XXXIV, 11-17 Oktober 2004


Photo: beranda.co.id/tasya



Sudah tiga hari murid-murid SMA 1973 tak masuk kelas. Hampir seluruh murid melakukan aksi unjuk rasa. Mereka menuntut Dewan Sekolah yang dianggap mengeluarkan keputusan sepihak. Dewan  Sekolah menaikan iuran sekolah, atau yang disebut SPP, tanpa kesepakatan orangtua siswa.
“Ini namanya kesewenang-wenangan!” protes Winy, dengan lantang.
“Bener, Win! Kita harus meluruskannya!” sambar Nien, tak kalah semangat.
“Kalau perlu, kita demo setiap hari sampai mereka mendengar protes kita!” Hilna menambahkan.
“Benar! Jangan berhenti unjuk rasa, sebelum Dewan Sekolah menarik keputusannya!” seru Ajeng, dengan tangan terkepal.
“Menurutku... lebih baik kita masuk saja. Kita kan masih sanggup membayar kenaikan SPP itu... Kalau kita demo terus, nanti kita semua akan ketinggalan pelajaran...” Eugina justru menentang, membuat rekan-rekannya marah.
“Gin! Kalo lo mau masuk, masuk aja sendiri!”
“Tau nih anak! Nggak solider amat, sih!”
“Kita memang mampu membayar kenaikkan SPP itu. Tapi cara mereka yang kita sesalkan!”
“Selain itu, nggak semua murid di sekolah ini mampu seperti kita-kita. Ya, nggak?!”
“Bener!!!”
Eugina tak berkutik. Ia manut pada kesepakatan teman-temannya, melakukan protes terhadap keputusan Dewan Sekolah.
“Kalau kamu nggak mau ikut unjuk rasa ini, nggak apa-apa, Gin!” ujar Winy, dengan tampang asem.
“Iya Win, apalah artinya satu suara, dibanding dengan hampir seluruh siswa di sekolah ini!”
“Ini jelas menandakan siapa sebenarnya siswa yang nggak punya rasa peduli terhadap siswa lainnya...”
Eugina semakin terkucil.
“Oke, deh... gue minta maaf. Gue akan ikut kalian berdemo!” Eugina akhirnya luluh juga. Sohib-sohibnya memeluknya, menandakan bahwa mereka memang kompak. Dan sejak saat itu, Eugina selalu ikutan unjuk rasa, menuntut agar Dewan Sekolah membatalkan keputusannya.  Bahkan, karena takut dibilang setengah-setengah, justru Eugina yang menjadi juru bicara dalam setiap unjuk rasa. Dan terus terang aja, Eugina itu emang ahli bicara. Ia salah satu siswa pemenang lomba pidato antar sekolah tingkat provinsi! Selain itu, Eugina juga beberapa kali menjadi juara lomba debat! 
“Dewan Sekolah jangan hanya memikirkan diri sendiri. Setiap keputusan hendaknya mendapat kesepakatan dari para orangtua siswa! Apalagi negara kita saat ini belum benar-benar terbebas dari krisis. Sehingga tidak semua orangtua murid mampu membiayai anak-anaknya sekolah. Jangan menambah-nambah beban mereka dengan kenaikan-kenaikan yang belum begitu perlu. Saya melihat, alasan Dewan Sekolah menaikkan SPP demi kemajuan sekolah ini tidak relevan. Karena tanpa menaikkan SPP-pun, kita bisa memajukan sekolah ini, yakni dengan cara menunjukkan prestasi setiap siswa dengan kemampuan yang sudah ada. Dan ini masih terus berlangsung hingga kini, tanpa ada embel-embel kenaikkan. Menyangkut biaya pembangunan sekolah kita, baik berupa pembangunan gedung-gedung tambahan maupun perawatan, bukankah sudah berjalan seperti yang saat ini kita lihat. Bahwa seluruh biaya pembangunan sekolah sudah dipungut dari biaya pendaftaran siswa-siswi baru. Ditambah lagi dengan biaya para donatur dari orang tua siswa yang mampu!  Jadi, buat apa Dewan Sekolah menaikkan SPP??!”
Demikian kata-kata Eugina, yang disambut riuh tepuk tangan oleh siswa-siswi yang berunjuk rasa.
“Gila si Gin-gin, keren abiiis!”
“Dia bener-bener all out!”
“Iya, ya. Ternyata dia serius ikutan unjuk rasa ini!”
Sohib-sohib Eugina bangga padanya.
Diam-diam, ada seorang cowok yang memperhatikan Eugina. Namanya Seno. Dia adalah cowok yang selama ini menjadi perhatian Eugina Cs. Siapa sih cewek-cewek di SMA 1973 yang tak kenal Seno?  Seno yang tajir tapi pendiam, dan terkenal sangat rendah hati. Meski Seno siswa baru, tuh cowok sudah merebut perhatian cewek-cewek di 1973.
Seusai unjuk rasa di hari yang ketujuh itu, Seno mendatangi Eugina.
“Hai...!”
Eugina mendadak sesak nafas ketika makhluk bernama Seno itu menyapanya. 
“Hai...”
“Gue Seno! Gue seneng banget denger pidato unjuk rasa lu! Lu hebat!”
“Ya, ya...”
“Boleh kenalan, nggak?”
“Ya, ya...”
Eugina masih belum bisa bicara apa-apa, kecuali “ya, ya...”. Di sudut lain, sohib-sohib Eugina melihat keberadaan Seno di dekat Eugina.
“Weits! Itu kan si Seno...?”
“Eh, lagi ngapain tuh cowok?!”
“Kayaknya... serius banget!”
“Datengin yuk...”
“Ssst... ntar aja.”
Keempat sohib Eugina mengintip di sudut koridor sekolah. Seno dan Eugina duduk di bangku depan kelas, membicarakan tentang unjuk rasa.
“Saya bangga sama kamu, karena kamu cewek yang cerdas dan tegas...” puji Seno, sambil terus memperhatikan Eugina.
“Ya, ya...”
“Nggak semua cewek, atau mungkin cowok sekalipun, yang bisa bicara begitu lancarnya di depan umum seperti kamu, Gin!” tambah Seno.
“Ya, ya...”
Eugina masih belum bisa berkata-kata, kecuali dua kata saja: “Ya, ya...”
“Oke, deh! Gue cabut ke kelas dulu, Gin!”
“Ya, ya...”
Seno meninggalkan kelas Eugina. Keempat sohib Eugina langsung menghambur mengerubuti Eugina.  Mereka memberikan ucapan selamat pada Eugina, karena didatangi seorang cowok bernama Seno!
“Gilaaa, luh Gin! Gimana perasaan lu didatengin Seno??”
“Gin-gin, tau nggak, tiap malem gue mimpiin dia! Taunya dia caper ke elu!”
“Iya, Gin! Nggak percuma elu jadi juru bicara unjuk rasa sekolah kita, hingga membuat cowok kayak Seno pun jadi merhatiin elu!”
“Selamat ya, Gin!”
Eugina cuma senyam-senyum. Ia tak merasa tersanjung pada pujian sohib-sohibnya. Sebab ia masih saja memikirkan, mengapa di depan Seno tadi ia hanya bisa bilang, “Ya, ya...”
Di hari yang kesepuluh, unjuk rasa semakin meriah. Karena Dewan Sekolah masih belum memberikan keputusan, seluruh siswa-siswa SMA 1973 tetap bersikukuh tidak mau mengikuti pelajaran di sekolah.
Sejumlah wartawan mendatangi sekolah. Rupanya para kuli disket itu baru mengetahui unjuk rasa itu, setelah mendapat bocoran dari beberapa orangtua murid yang mengaku resah karena proses belajar anak-anak mereka terganggu. Bahkan sejumlah orangtua murid ada yang akhirnya ikut berunjuk rasa. Tak ketinggalan, akhirnya sejumlah stasiun televisi swasta meliput unjuk rasa ini.
Eugina dipercaya oleh siswa-siswi SMA 1973 menjadi juru bicara. Karena sejak hari yang keempat, dialah yang menjadi andalan para pengunjuk rasa. Bicaranya cerdas dan tegas. Ia tak pernah kehabisan kata-kata. Saat para wartawan datang, Eugina yang menjadi sorotan.
“Sebenarnya kami tidak menginginkan unjuk rasa ini. Bisa anda bayangkan, tak akan ada asap kalau tidak ada api. Benar, kan? Jadi unjuk rasa ini terjadi hingga berlarut-larut seperti sekarang ini, disebabkan karena Dewan Sekolah seperti tidak mau berkompromi!”
“Dewan Sekolah merasa kecewa pada siswa-siswi, karena unjuk rasa ini mencoreng-coreng nama SMA 1973. Mereka beranggapan, kenaikan SPP itu dilakukan demi kemajuan sekolah. Bagaimana menurut komentar anda?”
“Sampai kapan unjuk rasa ini berlangsung??!”
“Apakah kalian tidak merasa rugi bila setiap hari seperti ini?!”
Para wartawan media, baik cetak maupun elektronik, membombardir Eugina dengan rentetan pertanyaan. Dengan tenangnya, Eugina menjawab.
“Maaf, bapak-bapak. Satu-satu, yah... Begini, begini... Kami rasa, kekecewaan Dewan Sekolah tidak berdasar sama sekali. Kenapa mereka mesti kecewa? Yang seharusnya kecewa adalah kami, para siswa-siswi. Kenapa Dewan Sekolah harus menaikkan SPP tanpa lebih dulu berunding dengan orangtua wali murid? Dan kami pikir, alasan menaikkan SPP untuk memajukan sekolah ini cuma isapan jempol belaka! Tanpa harus menaikkan SPP, sekolah ini tetap maju! Dan kalau bapak-bapak bertanya sampai kapan kami berunjuk rasa, kami menjawab: sampai Dewan Sekolah mau membatalkan keputusan mereka! Kalaupun mereka memaksa untuk tetap pada keputusan itu, mereka harus lebih dulu membawa masalah ini ke dalam rapat orangtua wali murid dan Dewan Sekolah! Sudah, ya. Saya rasa cukup. Makasih, bapak-bapak.”
“Maaf, dik. Tadi pertanyaan saya belum dijawab.”
“Yang mana ya, pak?”
“Ini, ee... apakah kalian tidak rugi bila setiap hari seperti ini?”
“Baik, pak. Sejujurnya kami akui, kami merasa rugi tidak melakukan proses belajar-mengajar seperti biasanya. Namun satu hal yang perlu bapak-bapak catat. Bahwa tindakan yang kami lakukan ini pun sebenarnya sebuah proses pembelajaran! Mengapa saya katakan begitu? Tindakan melawan  kesewenang-wenangan terhadap pihak yang berkuasa itu memang seharusnya dilakukan! Ini sebagai bekal kami, sebagai siswa-siswi yang nantinya menjadi mahasiswa! Apakah anda lupa, siapa yang menggerakan roda reformasi di negeri ini? Apakah anda, para wartawan? Atau, bapak-bapak yang duduk di gedung wakil rakyat? Tentu kalian masih ingat, bahwa mahasiswa-lah yang menjadi penggeraknya! Dan anda, para wartawan, yang membantu menuliskannya di media anda!”
Semua yang hadir manggut-manggut. Satu dua wartawan geleng-geleng kepala. Mereka agak takjub pada kata-kata seorang siswi yang menjadi juru bicara unjuk rasa sekolah. Lebih-lebih sohib-sohib Eugina, yang merasa sangat bangga pada sahabatnya. Tak ketinggalan, Seno yang selalu meluangakan perhatiannya, menjadi semakin tertarik pada Eugina!
Keesokan harinya, Dewan Sekolah bersedia berunding dengan para siswa dan sejumlah orangtua wali murid. Perundingan itu memutuskan bahwa kenaikan SPP ditunda dalam waktu yang tidak terbatas. Dikemudian hari akan dibicarakan lagi,  pada rapat antara Dewan  Sekolah dan para orangtua wali murid.
Kontan murid-murid seisi sekolah bergembira menyambutnya. Terlebih-lebih, beberapa siswa-siswi yang merasa keberatan karena ortu mereka orang tidak mampu. Kegembiraan mereka dilampiaskan pada Eugina, yang menjadi juru bicara andalan selama unjuk rasa berlangsung.
“Gue nggak bakalan melupakan kejadian ini, Gin! Gue bangga punya temen cewek yang pinter ngomong kayak elu! Gue berdoa, semoga suatu saat elu jadi presiden!!”
“Gin! Seenggak-enggaknya, elo potensial banget jadi politikus!”
“Maksih, makasih. Jangan terlalu berlebihan. Ini semua berkat kerjasama kita semua!”
Sohib-sohib Eugina tak kalah senangnya. Mereka bangga sekali pada Eugina. Dan... seorang cowok pun datang memberikan selamat pada Eugina. Dia, siapa lagi kalo bukan... Seno!
Ketika Seno datang, sohib-sohib Eugina menyingkir.
“Gin, selamat yah! O’ya, waktu liat kamu di berita teve semalem, Gue nonton sama bonyok gue! Mereka juga terkagum-kagum lho sama kamu!”
“Ya, ya...”
“Sekali lagi, selamat yah!”
Setelah itu Seno pergi. Sohib-sohib Eugina kembali mengerubuti Eugina. Mereka memberi selamat pada Eugina, karena Seno kelihatannya “ada hati” pada Eugina. Tapi, Eugina ternyata tidak se-senang yang sohib-sohibnya kira. Eugina masih saja tak percaya, bahwa dirinya yang juara lomba pidato dan kampiun debat itu, yang menjadi juru bicara unjuk rasa sekolahnya, ternyata selalu menjadi seperti orang gagu di depan Seno. Di hadapan Seno, Eugina hanya bisa bilang, “Ya, ya...”.
Tidak lebih dari itu!***
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...