Cerpen: Zaenal Radar T.
Sumber: Majalah KaWanku, No. 50/XXXII, 9-15 Juni 2003
sumber photo: kawankumagz.com |
Kalau lagi berduaan, Ika sebel banget bila Ipen asyik masyuk dengan
bukunya! Buku apa aja habis dilahapnya
seperti cowok rakus yang doyan makan apa saja.
Ipen emang enggak pernah pilih-pilih kalau soal buku bacaan. Buku apa aja dilalapnya. Dan kalau udah baca buku, Ika jadi ngerasa layaknya sapi ompong di sebelahnya. Padahal sesungguhnya, Ika enggak bedanya
dengan Ipen. Ika termasuk penggemar buka juga. Hanya saja, Ika tak pernah memperlakukan Ipen
seperti Ipen memperlakukannya bila ia sibuk dengan buku-bukunya. Kalau sudah begitu Ika jadi mikir, Ipen
ternyata lebih sayang buku daripada dirinya!
“Kamu tahu Mark Twain?” kata Ika, disela kesibukan Ipen
ngebet halaman novel Akar, Supernova bagian kedua karangan Dewi ‘Dee’ Lestari.
“Mark Twain? Umm… penulis Amrik yang terkenal itu, kan…?”
“Tau enggak, apa kata Mark Twain?”
“Apa katanya?” Ipen pura-puranya mengalihkan perhatian,
tapi matanya tetap memelototi lembar demi lembar halaman buku yang tengah dibacanya.
“Kata Mark Twain: ‘Berhati-hatilah membaca buku kesehatan.
Anda bisa mati gara-gara salah ketik!”
“Huahaha…!” Ipen ketawa ngakak. Lalu,”Saya ngerti maksud kamu! Tapi saya enggak pernah benar-benar percaya
pada setiap buku yang saya baca. Meski kamu
tahu, buku apa pun saya baca. Jadi, kamu
enggak usah khawatir…”
“Persoalannya bukan cuma itu, Pen! Tapi…” Ika ragu. Ika sebenarnya malu berterus terang, minta
perhatian khusus pada Ipen. Lagipula,
selama ini Ipen tak pernah macam-macam.
Kecuali rasa sayangnya yang berlebih pada buku-bukunya ketimbang
dirinya! Haruskah Ika cemburu pada
buku-buku itu?!
“Kenapa?! Kamu…
enggak senang ya, saya baca buku di dekatmu?
Kayaknya, setiap kali saya baca di depan kamu, bawaan kamu cemberut
aja. Iya, kan?”
Ika enggak jawab.
Melainkan bangkit meninggalkan Ipen.
Ia tinggalkan Ipen sendirian di ruang perpustakaan. Ika berharap Ipen mengejarnya, lalu minta
maaf sambil menggenggam jemarinya.
Nyatanya… setelah Ika pergi, Ipen malah kembali asyik dengan bukunya!
Ika ke kantin dan melampiaskan kegundahannya dengan memesan
dua mangkok bakso sekaligus, serta segelas jus alpukat ukuran gelas super
jumbo!! Pikir Ika, biar Ipen tahu rasa.
Daripada kurus kering mikirin Ipen, lebih baik makan yang banyak biar
tambah gendut. Bukankah Ipen benci bila
ia terlalu gemuk?
Namun setelah pesanan datang, tak sebutir bakso pun Ika
telan. Tak setetes jus alpukat yang
mampir di kerongkongan. Kesalnya pada
Ipen enggak kunjung hilang, sampai-sampai nafsu makannya sirna!
Hingga akhirnya, Ipen menyusulnya ke kantin. Menurut Ika,
pasti bukan lantaran ia peduli padanya. Ika yakin, pasti buku yang dibaca Ipen
lagi ganti bab!
“Enggak usah pesan!” teriak Ika, sengit.
“Pesan? Pesan apa?! Siapa yang pesan bakso?!” ujar Ipen,
sambil memandangi pesanan Ika.
Ika diam. Pasang
muka cemberut. Meski begitu Ipen pasti
tahu, Ika tetap manis meski lagi cemberut.
Sebab kemudian Ipen bilang ke Ika, entah serius atau main-main, “Ika,
kamu tambah cakep kalo lagi cemberut begini…”
Kalau sudah begitu, Ika langsung lumer. Perlahan-lahan senyumnya langsung
merekah. “Apalagi kalo lagi senyum
begini…!?” tambah Ipen, membuat senyum Ika semakin merekah!
Namun yang terjadi selanjutnya, Ika malah kembali pasang
muka cemberut. Sebab kedua mata Ipen
kembali asyik memelototi halaman
bukunya. Cemberutnya Ika, kalau
diibaratkan kertas, wajah Ika seperti terlipat jadi tiga belas! Coba bayangin, kayak apa rupanya…
“Ika, meski kalo lagi cemberut kamu tambah manis, kayaknya
lebih baik kamu senyum aja, deh…” kata Ipen, dalam posisi masih menatap
bukunya.
Ika berubah sesenggukan.
Anak-anak yang tadi duduk-duduk di kantin satu persatu menyingkir. Mereka yakin, terompet perang sebentar lagi
bakal dibunyikan!
“Kok, malah nangis…?!” Ipen berlagak pilon. Ia singkirkan bukunya, lalu meraih jemari
Ika. Tapi sebelum tangan Ipen
menyentuhnya, Ika keburu menghindar. Sekali lagi Ipen mencoba meraih jemari
Ika, tapi Ika malah memilih menghindar ke sudut lain. Ipen jadi malu sendiri diperlakukan
begitu. Untung kantin udah berubah
sepi.
Maka akhirnya ia diamkan saja Ika. Padahal, Ika menunggu
jemarinya dipegang Ipen, bila Ipen benar-benar berusaha memegang jemarinya
untuk ketiga kalinya! Ika nyesel
juga. Karena akhirnya Ipen
meremas-meremas jemarinya sendiri.
“Sudahlah, Ka.
Maafin saya…” ujar Ipen, sambil meremas jemarinya, seperti anak
kecil. Ika malah diam dan menunduk.
Ika kasihan juga
menghadapi Ipen dalam posisi serba salah begitu. Ia tegakkan wajahnya, memandang wajah Ipen
yang tampak memelas. Ika dan Ipen akhirnya
saling bertatapan.
“Kamu mau kan, maafin saya…?” ulang Ipen, sambil mencoba
menerbitkan senyumnya. Dan apa yang
diharapkan Ipen terlaksana, karena lipatan demi lipatan di wajah Ika mulai
kebuka, memancarkan senyum merekah yang ipen suka. Lalu keduanya tersenyum.
Ipen pun memberanikan diri meraih jemari Ika yang udah
nampak baikkan. Lalu mencium jemari itu
berkali-kali. Ika kelihatan bahagia
sekali. Setelah itu Ipen kembali
mengambil bukunya, sambil bilang, “Sori ya, Ka. Tadi itu saya lagi tanggung. Saya selesaikan bagian terakhirnya dulu,
yah…”
Kali ini Ika enggak marah.
Ika malah mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Kemudian wajahnya tenggelam di balik lembar
demi lembar halaman bukunya. Selang
beberapa menit, Ipen menyentuh lengan Ika.
Tapi Ika malah bilang, lebih baik Ipen menghabiskan bakso yang sudah
dipesan. Terang aja Ipen menolak. Namun Ipen tertarik sama jus alpukatnya. Setelah tandas segelas, Ika masih belum
memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia boleh diajak bicara. Ipen paham, tak enak rasanya kalau lagi asyik
baca diajak ngobrol. Maka ia diamkan
saja Ika, terlarut dengan buku yang tengah dibacanya.
Akhirnya Ipen pun melanjutkan ‘keping 35’-nya yang tinggal
beberapa lembar saja, bagian akhir novel yang lagi dibacanya. Pikir Ipen, daripada
bosan menunggu Ika, lebih baik nerusin Supernovanya. Tapi sayangnya Ipen enggak bisa. Hati kecilnya terlanjur sakit atas perlakuan
Ika. Ipen merasa disepelekan. Ipen merasa, Ika lebih perhatian pada bukunya
ketimbang dirinya! (Ika balas dendam, heh!?).
“Ka… masih lama, enggak?” tegur Ipen, pelan.
“Sebentar, Pen. Tanggung…”
“Ka-kamu tahu, kan… Mark Twain bilang…”
“Sori, Pen! Yang
saya baca ini bukan buku kesehatan…” potong Ika.
Dahi Ipen mengernyit.
Lalu ia banting buku dalam genggamannya ke meja kantin hingga
menimbulkan bunyi gedebruk! Anak-anak
yang tadi sudah kembali duduk di meja sebelah, terperangah menyaksikan pasangan
kutu buku itu.
Ipen pergi meninggalkan Ika. Ika mengambil buku Ipen, ke kasir membayar
pesanan yang batal ia makan, lalu mengejar Ipen. Waktu istirahat lima menit lagi. Ika menyusul Ipen ke kelasnya. Tapi Ipen enggak ada di sana. Hmm… pasti dia ke perpustakaan, tebak Ika.
* * *
Ika sudah setengah tahun lebih mengenal Ipen. Pertama kali melihat Ipen justru lima bulan
setelah masuk di SMU-nya ini. Selama
lima bulan itu, meski satu sekolah, Ika enggak pernah sekalipun melihat
tampangnya Ipen. Bukan cuma karena lain
kelas. Tapi belakangan Ika baru
tahu. Ipen itu bukan jenis siswa
kebanyakan. Dan heran juga Ika, meski
dirinya dinobatkan sebagai wakil ketua osis, Ipen mengaku enggak kenal dia!
Semula Ika pikir Ipen itu cowok kuper. Dan ternyata, setelah dekat,
dugaanya benar! Hehe. Tapi jangan
salah. Ipen emang jarang bergaul. Jarang kumpul-kumpul sama anak-anak lainnya. Jarang bergaul seperti siswa-siswi
kebanyakan. Tapi do’i punya wawasan
pengetahuan yang oke punya. Banyak hal
yang ia tahu, karena Ipen rajin baca buku!
Karena Ipen percaya, buku adalah jendela dunia. Ika sampai bingung waktu Ipen tahu banyak tentang
kehidupan orang-orang Indian penghuni asli daerah pedalaman Amerika. Juga dengan detilnya menceritakan tentang
daerah Asia Tengah dan kehidupan pedalaman Afrika. Padahal kata Ipen, rahasianya, dia tahu lewat
novel-novelnya Karl May, si jago cerita seri petualangan yang oke punya itu!
Pertemuan pertama Ika dengan Ipen berlangsung di
perpustakaan sekolah pada suatu sore yang dingin di mana kala itu hujan turun
rintik-rintik. Hihi, romantis, kan…?
Waktu itu Ika mampir ke perpustakaan bukan lantaran kepingin baca buku
atau dapet tugas guru nyari bahan tulisan.
Tapi sekadar menunggu hujan reda.
Bosan menunggu hujan, iseng Ika mampir ke perpustakaan. Maksud Ika,
hendak menghempaskan kejenuhan.
Waktu itu ia memang lagi enggak buru-buru pulang. Meskipun hari itu hari sabtu malam
minggu. Asal tahu aja, bagi Ika yang
sejujurnya mengakui punya wajah standar (maksudnya kali, cakep enggak, jelek
enggak… Ups! apa yah, maksud si Ika ini?), malam minggu enggak beda dengan
malam senen, malam selasa, atau malam lainnya.
Ika enggak punya cowok! Tapi
sori, ya. Bukan karena enggak laku. Tapi… karena Ika lagi males aaaja… (Huahaha…
alasannya oke banget, yah!)
Di perpustakaan itu, pada hari sabtu malam minggu, tanggal
06 April 2002, jam dua lebih tiga menit, pada detik yang ke tujuh, di mana
cuaca di luar rada-rada gelap tersebab awan hitam melesapkan cahaya sang surya,
dan langit tengah berduka…(Komplit, ya! Momen ini emang enggak bakal dilupakan
Ika. Tercatat dalam diary merah mudanya!), Ika menemukan sosok cowok lumayan manis di sudut ruang
perpustakaan. Ika kaget juga menemukan
seseorang di perpustakaan saat sekolah bubar.
Jadinya, seperti mendongakkan kepala ke atas langit lantas melihat
bintah jatuh!
Ketika itu kedua bola mata Ika menyapu ke seluruh
ruang perpustakaan dan berhenti tepat
saat di mana ‘bintang’ itu jatuh, pada sosok cowok yang duduk di salah satu
sudutnya. Dan pada saat itu, sang cowok
pun menatap ke arah Ika. Akhirnya kedua
bola mata mereka saling bertumbukkan, saling tatap beberapa saat lamanya!
Spontan pula Ika merasakan desir halus di dadanya saat menatap mata milik sang
cowok, bertepatan dengan dering nada berirama syahdu nan indah, melantunkan
lagu cinta entah dari mana yang sesungguhnya tak ada. Ini mungkin yang orang-orang tua bilang,
cinta pada pandangan pertama?
Selanjutnya, Ika yang semula tak berniat membaca buku, diam
di perpustakaan walau sekadar ngebet halaman-halaman majalah yang gambarnya
bagus-bagus dan ada tulisan besar-besarnya.
Tapi Ika bukan sedang membaca atau melihat-lihat isi majalah. Ika justru merasakan betapa konsentrasinya
habis terkuras oleh sosok cowok di sudut perpustakaan itu. Dan tiba-tiba, Ika terkejut saat sang cowok
iseng berhai-hai… menolong perasaannya yang sekarat, yang akhirnya ngebantu
merealisasikan hasrat. Pucuk dicinta ulam tiba! Ika emang ngebet banget ingin
mengenalnya…
“Saya Ipen. Kelas
satu tiga.” cowok itu memperkenalkan diri.
Selanjutnya Ika tak ingat lagi. Karena segalanya jadi serba lancar dan
mudah. Segalanya jadi begitu indah. Akhirnya,
diwaktu-waktu berikutnya, di perpustakaan itu mereka saling berjumpa. Ika yang
alergi buku pun jadi doyan melahap buku.
Seperti cewek rakus yang doyan makan apa saja! Buku apa saja dibacanya. Ia memegang pesan Ipen. Itu lho, ‘Buku adalah jendela dunia. Orang suka baca,
wawasannya luas’.
Dan nyatanya Ipen
benar. Bila sebelumnya Ika
rada-rada enggak nyambung bila ngobrol dengan abangnya yang paling pinter
sekeluarga, belakangan Ika jadi ‘Jaka Sembung yang enggak bawa-bawa golok’,
alias ‘Kalo diajak ngobrol selalu
nyambung dan enggak lagi dibilang goblok!’ Hehe….
Papi maminya pun jadi pangling melihat perubahan pada diri
Ika, sejak ia berhubungan dengan Ipen.
Pantas bila papi bangga pada Ika karena mendengar nasehatnya selama ini,
bahwa Ika harus pintar memilih teman. Karena menurut papinya, teman bergaul itu
memberi pengaruh hebat bagi diri kita.
Bila kita berteman dengan anak yang gemar pake narkoba, bukan enggak
mungkin kalo kita ikut kena getahnya, pake narkoba. Kalo teman sportif, kita bisa terbawa-bawa
sportif. Kalo teman dekat suka musik
tertentu, kita juga bakalan terpengaruh.
Yang jelas, sepanjang hal itu positif, adalah oke-oke saja. Makanya kalo kegiatan teman kita positif,
kita akan kebawa positif. Demikian
nasehat papinya.
Papi senang putri tersayangnya berteman dengan Ipen yang
kutu buku itu, yang membuat ia jadi ikutan doyan baca buku. Ika sendiri enggak malu waktu teman-teman
sekelas menjulukinya kutu buku. Jadilah
Ika dan Ipen disebut sebagai pasangan kutu buku! Wah-waah…!
* * *
Ika menemukan Ipen di perpustakaan. Ika ragu menegurnya, karena Ipen pasti lagi
emosi. Tapi Ika memberanikan diri. Ika siap bila Ipen marah padanya. Sebelum benar-benar tiba di hadapan Ipen, Ika
menatap Ipen cukup lama. Dan Ipen yang
nampak kesal, membalas tatapan itu.
Entah apa yang hendak Ika katakan pada Ipen, keduanya cuma saling
tatap. Ika memberanikan diri untuk
semakin mendekat. Tapi sebelum Ika benar-benar dekat, bel sekolah keburu
berdenting.
Ika melangkah, beringsut ke hadapan Ipen. Mengembalikan buku yang tadi dibanting Ipen di meja kantin.
“Maafin saya, Pen…” ucap Ika, lalu melangkah keluar,
meninggalkan Ipen.
Plong. Segenap
perasaan yang menggumpal di dada Ika perlahan mencair. Sebelum Ika menjauh,
Ipen mengejar, memanggil Ika. Ika
menoleh, menunggu apa gerangan yang akan dikatakan Ipen.
“Ika, ‘ntar siang saya tunggu di gerbang!” ucap Ipen,
sambil memegangi pintu ruang perpustakaan.
Ika mengangguk. Lalu melanjutkan langkahnya menuju
kelas. Bersamaan dengan gerak langkah,
mendadak Ika seperti mendengar lagu berirama riang berlirik cinta. Lagu itu membuat perasaan Ika menjadi begitu
damai. Dan hanya Ika seorang yang
merasakannya.
Sebelum benar-benar masuk ke kelasnya, Ika kembali menoleh
ke arah Ipen. Ipen masih berdiri di pintu
ruang perpustakaan, menatap Ika dengan takjub.
Dengan jelas, Ika bisa melihat Ipen tersenyum saat Ika lambaikan tangan
ke arahnya!
* * *
Sepulang sekolah, Ipen menetapi janjinya, menunggu Ika di
gerbang sekolah. Cukup lama Ipen
menunggu, Ika belum juga kelihatan.
Sambil menunggu, ia keluarkan buku dari dalam tasnya. Lalu membuka halaman demi halaman,
melanjutkan bagian akhir novel yang masih
tersisa.
Saat Ipen tengah serius-seriusnya, Ika datang. Ika menarik nafas dalam-dalam melihat Ipen
serius dengan bacaannya. Khh…. Ika
ketar-ketir. Bakalan lama nih, si Ipen!
Namun ketika Ika sudah berada di dekat Ipen, Ipen segera
menutup bukunya!
“Langsung pulang?” tegur Ipen.
Ika mengangguk. Lalu mereka berjalan ke luar gerbang. Di tengah jalan, Ika bilang ke Ipen, ”Tadinya
saya mau ngeluarin buku saya…”
“Terus…?”
“Duduk di sebelah kamu sambil baca. Daripada boring nunggu lama, kan
mending baca…”
“Ah, kamu…! Tadi kan
enggak lama? Iya, kan? Sori, tadi itu
saya lagi tanggung banget!”
“Terus, kenapa pas saya dateng kamu udahan…? Takut saya ngembek lagi?!”
“Ng-ng-nggak!!” elak Ipen. Lalu lanjutnya, “ Habisnya...
udah selesai, sih!!!”
Emmhhh…!!! Ika mencubit lengan Ipen dengan gemas! Ipen jadi meringis kesakitan. Cuaca siang itu begitu panas. Mungkin mentari
sedang terkikik ria melihat sepasang kutu buku tengah bercanda. Mungkin.***
*) Pamulang Barat, Akhir Februari 2003.
0 comments:
Posting Komentar