Mamat Metro

Mamat Metro

Penunggu Jenazah

Cerpen : Zaenal Radar T.

Sumber: majalah Ummi, No. 2/ XVI  Juni-Juli 2004/1425 H



sumber gbr: arroyyan.com



        Sebagai seorang ibu yang baik, mengurus dan membesarkan anak merupakan keharusan.  Apalagi bagi seorang ibu tiada bersuami seperti saya.  Apapun akan saya kerjakan demi kelangsungan merawat dan membesarkan anak-anak saya.  Pekerjaan apapun, asalkan saya mampu mengerjakannya, dengan sepenuh hati akan saya lakukan.  Dengan satu syarat, asalkan hasil pekerjaan itu halal.  Sebab saya sangat percaya, sesuatu yang berasal dari hal-hal baik akan membuahkan hasil yang baik pula.  Saya kira Anda pun setuju pada pendapat saya ini.
Sejak suami saya meninggal dunia dua puluh tujuh tahun lalu, saya harus menanggung beban tiga orang anak yang masih kecil-kecil.  Biaya penggantian pihak asuransi kecelakaan suami tidak berarti apa-apa bagi kelangsungan hidup kami, istri dan anak-anak yang ditinggalkannya.  Karena saya dan anak-anak saya hanya mendapat kurang dari  separuh jumlah besarnya asuransi itu.  Selebihnya untuk anak-anak istri pertama suami saya.
Menurut sebagian tetangga saya, sudah untung saya mendapat bagian dari almarhum suami.  Karena sebagai istri kedua, mereka bilang hak saya mendapat bagian itu tidak ada.  Dan sesungguhnya, hukum apapun yang bisa memungkinkan saya mendapat  bagian almarhum suami, tak bakal saya tempuh.  Selain merasa sebagai perempuan bodoh, saya pun tahu diri mengingat istri pertama suami saya menanggung beban keluarga lebih berat ketimbang saya.
Dan sampai saat ini saya tahu persis bagaimana keberlangsungan hidup keluarga istri pertama almarhum suami saya. Mereka tidak lebih baik  dari saya. Barangkali juga karena sang istri tidak memiliki pekerjaan seperti saya.  Namun anak pertama istri pertama itu sudah bisa bantu-bantu cari penghasilan dengan cara jadi tukang parkir di halaman rumah sakit di mana saya bekerja.
O’ya, saat ini saya sudah lebih dari dua puluh lima tahun  bekerja di rumah sakit.  Saya bukan  perawat apalagi dokter.  Saya hanyalah penunggu kamar jenazah.  Pekerjaan yang pada awalnya sungguh menakutkan bagi saya.
Sungguh, mulanya saya takut ketika salah seorang tetangga saya yang pegawai rumah sakit menawarkan pekerjaan ini.
“Penunggu kamar jenazah??” selidik  saya waktu itu, saat tetangga  saya yang baik hati menawarkan pekerjaan.
“Kalau ibu tidak mau, saya akan cari orang lain...”
Ketika itu saya benar-benar bingung.  Kalau saya terima, saya takut.  Ditolak, saya menganggur.  Sementara anak-anak saya masih kecil-kecil dan butuh biaya hidup yang tidak sedikit.  Apalagi saya bukan  perempuan pintar yang punya bekal pendidikan dan keahlian.  Selain itu saya bukan perempuan berwajah menarik seperti perempuan-perempuan yang mangkal di bar-bar sebelah rumah sakit.  Mungkin cuma seorang sopir truk seperti almarhum suami saya yang tertarik pada perempuan seperti saya, atau, jangan-jangan ia mengawini saya karena  kasihan...
Ketika menunggu kamar jenazah menjadi sebuah pilihan, saya memang tak punya pilihan lain yang bisa saya kerjakan.  Janda miskin beranak tiga yang tidak menarik seperti saya... adakah laki-laki mau mendekati?  Bisa menopang hidup saya dan anak-anak?  Tidak mungkin!  Saya tahu diri. Saya tak mungkin bergantung pada siapapun.   Saya tidak bisa berharap lain kecuali mengerjakannya!  Menunggu kamar jenazah satu-satunya pekerjaan yang bisa saya kerjakan.
***
Saat pertama kali masuk kerja, menunggu kamar jenazah, adalah untuk kedua kalinya dalam hidup saya berada di kamar jenazah.  Sebelumnya ketika menjenguk suami yang tewas akibat kecelakaan itu.  Perasaan takut kontan menyergap sepanjang saya berada di dekat jenazah-jenazah.  Saya takut bila tiba-tiba salah satu jenazah itu bangun lalu mencekik saya!
Alhamdulillah,  lama kelamaan rasa takut saya pada jenazah sirna.  Apalagi setelah hampir dua puluh lima tahun seperti sekarang ini.  Memegang jenazah layaknya memegang ayam potong saja.  Dan ternyata, terbit begitu banyak hikmah manakala saya berada di tempat kerja.  Terutama kesadaran akan makna hidup yang sesungguhnya.  Bahwa semua akan berakhir menjadi seonggok jenazah.  Sehingga membuat saya tersadar akan Sang Pencipta yang membuat kematian.  Sang Pencipta yang menyebabkan manusia hidup lalu berakhir menjadi ‘cuma’ jenazah.
Apakah yang bisa dilakukan manusia setelah menjadi jenazah?  Tidak ada! Selain tergolek membujur kaku tak berdaya.  Apalagi jenazah korban kejahatan, yang tubuhnya dikorek-korek dokter guna mencari keterangan.
Dan tiada henti-hentinya saya menikmati pemadangan haru di tempat saya bekerja.  Tangis kesedihan kerap meledak manakala orang-orang terdekat si jenazah datang.  Tidak peduli jenazah orang baik-baik atau bukan. Pencopet yang tubuhnya dibakar hingga menjadi jenazah, dan cuma dikenali lewat tato di lengan yang selamat dari kobaran api, pun ditangisi oleh kerabatnya!
Begitulah.  Mungkin tangis dan kematian adalah dua hal tak terpisahkan. Seperti halnya airmata dan kesedihan.
Saya pun tak bisa memungkiri, bila hati ini ikut terenyuh setiap kerabat si jenazah  meraung-raung menangisi si jenazah.  Ikut merasakan kesedihan.  Mungkin karena saya pernah mengalaminya, dulu, ketika melihat suami saya tiba-tiba telah menjadi jenazah.  Bagaimana tidak sedih.  Sebelum melihatnya teronggok kaku di kamar jenazah, paginya saya dan anak-anak masih bercanda dengannya.  Sorenya, tahu-tahu sudah jadi jenazah!
Barangkali orang-orang dekat si jenazah yang menangisi jenazah-jenazah di kamar jenzah pun demikian.  Tidak menyangka bila orang-orang dekatnya mendadak telah menjadi jenazah.  Sebab memang tak ada manusia yang tahu kapan kematian datang.
Lain halnya jenazah-jenazah orang yang tak dikenal.  Orang-orang tak beridentitas yang tewas tabrak lari. Seperti para gelandangan atau penjahat yang tiba-tiba mati. Jenazah-jenazah mereka teronggok barang beberapa hari, lantas dikirim entah ke kuburan mana.  Saya sendiri tidak tahu jenazah-jenazah itu dikemanakan.  Saya tak perlu peduli. Toh tugas saya menunggu dan menjaga, meski saya yakin dan percaya bahwa jenazah yang saya tunggui tak bakal lari  kecuali jenazah di filem-filem mistery!
Setelah lebih dari dua puluh lima tahun menunggu jenazah, saya tak pernah mengalami ‘keganjilan’ seperti yang anak-anak saya ceritakan dari acara-acara misteri di televisi.  Barangkali karena saya bukan orang pintar atau semacam paranormal, yang katanya bisa melihat jenazah hidup bergentayangan!
Rasa takut akan hantu jenazah yang pernah saya rasakan diwaktu awal bekerja, hilang karena keyakinan saya yang kuat akan Tuhan.  Saya pikir, selama Tuhan masih menyayangi saya, ia akan melindungi saya. Itulah sebabnya mengapa selama ini saya tak pernah berani meninggalkan perintah-Nya.  Meski hanya menjadi seorang penunggu jenazah, saya bersyukur pada Tuhan atas limpahan kasih sayang-Nya.
Memang sih, kerja menunggu kamar jenazah seperti saya ini tidak mengenal waktu libur.  Bahkan tak jarang saya berlebaran di kamar jenazah.  Habis mau bagaimana lagi, waktu kematian tidak pandang bulu.  Bila Tuhan berkehendak, tiada sesuatu yang bisa menundanya.  Hari lebaran atau hari biasa.  Siang atau malam.  Pagi maupun sore!
Demikianlah suka duka saya menjadi seorang penunggu kamar jenazah.  Pekerjaan yang tak pernah saya cita-citakan sebelumnya.  Uh, apakah perempuan bodoh dan miskin seperti saya pantas punya cita-cita?  Menurut almarhum suami saya, yang meminang saya ketika sebelumnya sering bersua di warung nasi terminal, bilang bahwa orang hidup harus punya cita-cita.  Beliau katakan, cita-cita merupakan alat penyemangat hidup seseorang dalam mengarungi kehidupan ini.  Sehingga orang yang tidak punya cita-cita akan hampa hidupnya.
Benar ucapan mendiang suami saya itu.  Dulu, hidup saya terasa kosong.  Tak ada pengharapan atau langkah-langkah apa yang mesti saya tempuh dalam menjalankan hidup ini.  Namun sekarang, semenjak bersuami dan punya anak, hidup saya menjadi terasa penuh arti.  Semua ini terjadi karena saya punya cita-cita.  Cita-cita membesarkan anak-anak saya!
Saya memang tidak membesarkan anak-anak saya sendirian.  Melainkan ada saja rejeki yang bisa saya dapat disamping gaji perbulan.  Namun begitu, semangat membesarkan anak-anak, dengan cara apapun, asalkan halal, dengan sepenuh hati saya lakukan.  Putri  pertama saya dibiayai sekolahnya oleh dokter Feriana, dokter ahli bedah yang sangat perhatian pada keluarga saya.  Sekarang bersekolah di sekolah perawat.
Putri saya berwajah mirip dengan ayahnya.  Dan ada khabar, bahwa seorang dokter muda rumah sakit di mana saya bekerja, tertarik padanya.  Tidak jarang dokter muda itu mampir di rumah petak saya.  Sementara anak saya kedua baru lulus STM dan langsung bekerja disebuah bengkel.  Sedang anak terakhir, baru saja masuk SMU.  Yang terakhir ini bercita-cita jadi dokter.  Hmm, kadang saya berangan-angan seandainya putra bontot saya benar-benar menjadi dokter, apakah saya masih hidup dan belum menjadi jenazah?
Untuk itulah saya selalu berdoa pada Tuhan.  Mudah-mudahan saya diberikan umur panjang.  Saya ingin sekali melihat anak-anak saya tumbuh besar, berkeluarga dan punya cita-cita.  Saya ingin menikmati buah dari hasil kerja keras saya selama ini, mengubur segala hal menjijikan kenangan masa kecil dulu.
Namun begitu, seandainya Tuhan mencabut nyawa saya sekarang, saya sudah cukup puas akan kesempatan yang Ia berikan.  Segala karunia dan lindungan-Nya.  Secuilpun, saya tidak takut menjadi jenazah.  Bukankah semua manusia akan bermuara ke sana?
Saya sudah cukup bahagia melihat ketiga anak saya yang pintar-pintar dan cakap.  Saya senang mereka menjadi pekerja keras seperti ibunya.  Ulet dalam menghadapi hidup ini!  Sehingga pada akhirnya, mereka akan memanen buah-buah dari hasil kerja keras mereka.
***
Sebentar lagi putri pertama saya lulus, dan rumah sakit dimana saya bekerja  sebagai penunggu kamar jenazah memintanya bekerja.  Saya sungguh tidak menyangka seorang penunggu kamar jenazah seperti saya memiliki keturunan seorang perawat!  Saya jadi teringat akan kata-kata dokter Feriana, yang membenarkan kata-kata almarhum suami saya, bahwa hidup memang harus punya cita-cita.  Saya, perempuan bodoh yang tidak menarik, seorang penunggu kamar jenazah, punya cita-cita!  Cita-cita saya membesarkan anak-anak saya dengan baik,  seperti yang pernah saya katakan.  Sungguh saya tak pernah menduga, bila saya mampu menjadikan cita-cita salah satu anak saya menjadi seorang perawat!
Hal ini bukanlah sebuah cerita kebetulan semata.  Ini hasil dari kemauan dan semangat hidup saya menjaga, merawat dan membesarkannya! Dan hasil yang saya peroleh kini, membuat saya tak perlu mencemaskan hari tua saya bersama anak-anak.  Mereka berjanji akan menjaga dan merawat saya di kemudian hari.
“Mulai bulan besok, ibu berhenti saja,” ucap putri saya yang calon perawat.
“Markum juga sebenarnya mampu, bila sekadar memberi makan ibu...” tambah anak kedua saya yang laki-laki.
“Ibu ingin membiayai adikmu jadi dokter...” kata saya, penuh semangat.
“Serahkan saja pada Ayu, bu!” potong putri saya.
Akhirnya saya jadi bimbang.  Apakah saya harus berhenti dari pekerjaan yang sudah lebih dari dua puluh lima tahun saya geluti, seperti yang dianjurkan anak-anak saya?
“Rasanya... ibu masih mampu bekerja...” ucap saya kemudian.
“Ibu sudah  terlalu capek, bu...  Ayu ingin ibu di rumah saja.  Saya dan Markum saja yang bekerja.  Ibu tak perlu khawatir.  Kami akan menjamin segala keperluan ibu nantiya.”
“Benar, bu.  Kami ingin menyenangkan ibu.  Melihat ibu hidup tenang di rumah.  Biarlah kami yang bekerja.”
“Iya, bu.  Apalagi kalau Dadang sudah jadi dokter.  Dadang yang akan merawat ibu!”  sambut anak saya yang bontot.
Saya tak kuasa menahan mendung di atas kelopak mata saya.  Airmata saya mengalir deras membanjiri pipi.
“Ibu kenapa sedih?   Ibu enggak yakin kalau Dadang nanti jadi dokter?”  lanjut anak saya yang bontot, polos.
“Yakin, sayang.  Asal kamu rajin belajar...” bisik saya, dengan isak  kembali menyergap.  Lalu memeluknya erat-erat. Sambil memeluknya, saya melirik dua anak saya yang lain.  Mereka ikut terharu.  Namun sorot mata keduanya begitu terang, berkilau cahaya, tegar, tajam, dan menyimpan semacam gairah hidup yang meletup-letup.  Saya menangkap semangat hidup mereka yang berkobar-kobar.  Semangat meraih cita-cita ke depan.***
*) Pamulang, 2004
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...