Mamat Metro

Mamat Metro

Membunuh Nenek

Cerpen: Zaenal Radar T.

Sumber: Buku antologi cerpen "Dalam Pelukan Sang Guru" (Q Publisher 2013)



ket gbr: elitha-eri.net



Hampir setiap hari diam-diam Sobrak memerhatikan gerak-gerik neneknya. Ke manapun neneknya pergi dibuntuti. Terkadang Sobrak membawa pisau, kadang golok, di lain waktu gergaji. Sobrak ingin membunuhnya. Sobrak berharap neneknya cepat-cepat mati. Tapi Sobrak tak pernah berhasil. Sampai saat ini neneknya masih bebas bernafas. Kalau tidak salah hitung, minggu lalu saja neneknya sudah berumur Sembilan  puluh sembilan tahun, dua bulan, sepuluh hari.
Sobrak heran melihat neneknya yang masih sehat walafiat. Padahal teman-teman seangkatannya sudah lebih dulu ‘end’, istilah ‘mati’ untuk kosa kata anak gaul. Bahkan adik-adik sang nenek juga sudah pergi untuk selamanya. Tinggal nenek inilah satu-satunya yang masih hidup, nenek yang telah mengurus Sobrak sejak kecil, sejak kedua orangtua dan adik-adiknya Sobrak meninggal dunia secara berjamaah dalam kecelakaan kereta api.
Demi mengharapkan warisan keluarga jatuh ketangannya, Sobrak berharap neneknya cepat-capet mati. Tapi sudah menunggu bertahun-tahun, neneknya tak juga mati. Itulah sebabnya Sobrak ingin membunuhnya saja. Tetapi apakah Sobrak tega membunuh neneknya, demi sebuah warisan? Bukan apa-apa. Romlah, gadis pilihannya, sudah menunggu untuk dilamar. Sobrak tak punya biaya sepeserpun. Kalau warisan itu cepat jatuh ke tangannya, berarti Sobrak tinggal datang ke rumah sang gadis dan melamarnya.
Keadaan nenek tidak kaya, juga tidak miskin. Namun sejak pensiun dan mulai pikun, satu persatu barang-barang dijual. Bukan cuma buat keperluan hidup sehari-hari, tapi tentu saja buat membantu biaya Sobrak sekolah dari SD sampai perguruan tinggi. Lalu apa yang diharapkan Sobrak ketika barang-barang berharga sang nenek sudah tak bisa diharapkan lagi? Ternyata Sobrak berharap pada gigi-gigi emas yang masih melekat erat di gigi sang nenek.
Gigi-gigi nenek masih terlihat kuat. Gigi itu berkilauan ketika sang nenek bicara atau menguap. Barangkali karena nenek rajin sikat gigi, baik sebelum tidur maupun setelah makan. Bahkan belakangan ini, dalam sehari nenek bisa sikat gigi lebih dari lima kali. Entah karena nenek sangat menyayangi gigi-gigi emasnya itu, atau karena nenek memang sudah pikun. Dengar-dengar, emas di gigi nenek itu dibeli di Pasar Ciputat dengan harga lumayan tinggi.
Hal itulah barangkali yang membuat Sobrak selalu ingin membunuh neneknya. Mencongkel gigi-gigi emasnya itu, membawanya ke toko emas. Setelah itu, mendatangi kedua orangtua Romlah sambil membawa seserahan. Tetapi jujur saja, Sobrak masih pikir-pikir, dengan cara apa dia membunuh neneknya. Apa dengan cara mencekiknya. Dengan cara membacoknya dari belakang seperti yang selalu dia inginkan. Atau memberinya racun tikus? Sobrak bingung.
Sobrak sebenarnya ingin meminta kepada neneknya, agar melepaskan gigi-gigi emas miliknya itu secara baik-baik. Tetapi sebelum hal itu diutarakan, neneknya mengatakan bahwa dia tak akan melepaskan gigi-gigi emasnya sampai ajal tiba. Apalagi gigi gerahamnya, yang memiliki kandungan berlian nomor satu di dunia. Bahkan menurut sang nenek, kalaupun dia mati nanti, gigi-giginya harus ikut dikuburkan.
Mendengar ucapan sang nenek, Sobrak semakin berhasrat membunuhnya. Kalau menunggu neneknya mati dengan sendirinya, keburu Romlah disambar lelaki lain. Sebab belum tentu neneknya mati sebulan lagi, setahun lagi, atau dua tiga tahun lagi. Sementara itu Sobrak tak ingin kehilangan Romlah. Sebab Sobrak sudah cinta mati pada Romlah. Bahkan jauh melebihi cintanya terhadap apapun di dunia ini, terlebih cinta kepada sang nenek.
***

Besok adalah batas hari terakhir buat Sobrak untuk mendapatkan Romlah. Kedua orang tua Romlah mengatakan dengan nada mengancam, bila Sobrak tidak segera melamar, maka akan datang lelaki lain yang akan meminang Romlah. Sobrak pun bertekad akan membunuh neneknya hari ini juga. Paling telat nanti malam.
Seharian Sobrak mengamati keadaan neneknya. Neneknya yang memang sudah curiga sejak jauh-jauh hari semakin curiga saja terhadap sikap Sobrak.
“Sobrak, kenapa sih kamu selalu merhatiin nenek?”
Sobrak terdiam. Gugup. Takut keinginannya terendus nenek.
“Enggak apa-apa, nek...”
“Ya sudah kalau gitu. Nenek mau tidur siang dulu. Kalau mau makan, sudah nenek siapkan.”
Setelah itu nenek masuk ke dalam kamarnya. Sobrak hanya memandangi punggung nenek yang sudah reot dari belakang. Sobrak menunggu. Menanti sampai neneknya benar-benar tidur. Sambil menunggu, Sobrak menuju meja makan. Di situ sudah tersedia makan siang Sobrak. Ada sayur asem, ikan mas goreng, sambal terasi, dan tentu saja nasi dan lalapan. Tetapi Sobrak tidak nafsu makan. Sobrak hanya punya nafsu membunuh. Membunuh orang yang telah menyiapkan makan siangnya.
Setelah hampir setengah jam menunggu, Sobrak perlahan-lahan membuka kamar neneknya. Dengan perlahan, pintu didorong tanpa menimbulkan suara. Terlihat nenek tidur dengan mulut menganga. Nampak jelas gigi-gigi emas yang menyembul dari balik bibir yang merekah. Gigi-gigi itu seperti mengerling, seolah minta segera dicongkel keluar.
Sobrak yang sudah membawa pisau siap menghabisi nyawa sang nenek. Berdiri menatap nenek yang tidur pulas, bagai tidur panjang yang tak akan pernah bangun. Sobrak memerhatikan sekujur tubuh nenek, dari mulai kepala, leher, tubuh sampai kaki. Dari manakah ia tancapkan pisau di tangannya, agar sang nenek tidak merasakan sakit berkepanjangan saat pisau diguratkan. Maksudnya, ketika pisau itu mengoyak, nenek langsung mampus tak perlu ada erangan segala.
Mungkin dari leher. Seperti memotong ayam atau bebek. Oh ya, seringkali nenek meminta Sobrak memotong ayam atau bebek untuk lauk makan. Dari sekian kali memotong leher ayam atau bebek itu, selalu saja tak pernah ada yang langsung benar-benar mati. Tak ada yang langsung klepek-klepek tergolek tak berdaya. Selalu saja ada erangan, gerakan menggoser-goser, sampai kepada jeritan. Di lain waktu, bahkan ada ayam yang berlari-lari meski lehernya sudah nyaris putus kena gesekan pisau Sobrak.
Itu artinya, selama ini Sobrak tak pernah berhasil membunuh. Membunuh ayam atau bebek sekalipun. Dan sekarang, Sobrak dihadapkan pada kemampuannya membunuh manusia yang tak lain neneknya sendiri. Bagaimana jika pisau itu ditancapkan ke neneknya, lalu nenek bangun dan berlari-lari ke luar rumah?
Sobrak lantas menatap pisau di tangannya. Pisau itu berkilatan terkena sinar matahari menerobos dari celah jendela yang setengah terbuka. Lalu Sobrak menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan, setelah itu memejamkan kedua mata.
Ketika pisau itu sudah memutuskan urat leher sang nenek, tak ada erangan apalagi jeritan. Tetapi air mata sang nenek jelas terlihat membasahi pipi keriputnya, seolah begitu sedihnya ia terbunuh oleh cucunya sendiri. Cucu yang sejak kecil dirawatnya. Cucu yang menginginkan sisa harta warisan yang dimilikinya, yang melekat pada gigi-giginya.
Menatap airmata yang membasahi pipi nenek yang tak bernyawa oleh tangannya sendiri, membuat Sorbak merasa sangat bersalah. Sobrak menyadari jika akhirnya ia menjadi seorang pembunuh keji. Pembunuh biadab. Warga dan polisi pastilah curiga akan kematian sang nenek. Dengan luka sayatan di leher, orang akan bertanya-tanya.
Jika polisi tahu siapa pembunuh nenek, bukan cuma gagal melamar Romlah. Tetapi Sobrak harus mendekam di balik jeruji besi. Koran-koran dan televisi bakal ramai memberitakannya. Tamat sudah riwayat hidup Sobrak. Warisan tak didapat, cinta pun terlipat-lipat.
Sobrak terhenyak. Ia tersadar dari lamunan. Sobrak masih menatap wajah neneknya yang lelap. Pisau di tangannya masih tergenggam dengan khidmat. Sebenarnya pisau itu belum dia gunakan. Sampai akhirnya terdengar suara ketukan di luar, dan pisau itu terjatuh menyungkur lantai. Sobrak panik. Menatap pisau itu lalu menendangnya ke kolong ranjang.
Pak Sobar datang bertamu. Pak Sobar, seorang penghulu di kampungnya, mengaku sudah berjanji ingin bertemu nenek seperti kemarin. Sobrak belum tahu apa keperluan Pak Sobar. Ini kunjungan Pak Sobar yang ke dua kalinya. Sobrak kembali masuk kamar nenek, hendak membangunkannya. Tetapi Sobrak tak tega melihat nenek yang terlihat pulas.
Sobrak berusaha menyentuh wajah nenek. Wajah itu kaku. Tangannya juga kaku. Begitupula kakinya. Sobrak berubah heran. Kenapa nenek tiba-tiba menjadi kaku? Padahal ia belum membunuhnya. Sobrak baru berniat. Sobar tentu bingung. Pak Sobar segera dipanggil ke dalam kamar. Pak Sobar memeriksa urat nadi sang nenek. Lalu Pak Sobar menggelengkan kepala, sebuah jawaban akan kepergian nenek untuk selamanya.

***
Nenek mati. Sobrak sedih di depan semua orang. Tapi tidak di dalam hatinya. Pelayat berdatangan mengucapkan bela sungkawa. Diantara mereka nampak Romlah dan kedua orangtuanya.
Melihat wajah Romlah, jantung Sobrak seolah berhenti berdetak. Sobrak memang begitu mencintai Romlah. Dia sudah berjanji akan meminang gadis manis itu, harusnya paling lambat hari ini. Dan ternyata Sobrak tak harus membunuh neneknya demi memuluskan keinginannya.
 Ketika tubuh ringkih nenek dipendam ke tanah, Sobrak rasanya ingin cepat pulang ke rumah. Melihat gigi-gigi emas yang sudah dilepaskan dan dia taruh di kolong meja. Mencucinya, lalu membawanya ke toko emas.
Setelah dari pemakaman, ketika semua pengantar jenazah pulang, Sobrak berada di dalam kamar menimang-nimang gigi-gigi emas yang dicongkel dari almarhumah neneknya. Sobrak memandangi gigi-gigi itu, seolah memandangi wajah Romlah yang akan segera dipinangnya.
“Romlah, abang akan datang melamarmu...”
Sobrak berangkat ke pasar. Di sebuah toko emas, diperlihatkannya gigi-gigi itu. Lelaki setengah baya bermata sipit memeriksa gigi-gigi itu, menganalisanya, mengukur kandungan emas yang ada di dalam gigi-gigi itu.
“Gimana Koh? Berapa beratnya?”
“Lo punya gigi bukan emas. Tapi kuningan biasa.”
“Apa koh...??!”
Sobrak langsung lemas. Setelah tiga toko emas mengatakan hal yang sama tentang gigi-gigi itu, Sobrak pun yakin jika gigi-gigi neneknya itu memang bukan emas. Gigi-gigi itu dibawanya. Tidak dibawa pulang, tapi digenggamnya erat dengan perasaan kecewa di atas pusara sang nenek. Sobrak seolah ingin menunjukkan kepada sang nenek bahwa dia benar-benar sakit hati akan semua ini. Sobrak benar-benar terpukul. Hancur sudah hasratnya mendapatkan Romlah.
Di atas pusara nenek yang masih merah, Sobrak berjongkok dengan kedua mata merah dan tangan meremas gigi-gigi palsu yang benar-benar palsu. Sobrak menangis. Sobrak benar-benar tak menyangka bila gigi-gigi palsu neneknya ini hanya kuningan. Hampir saja dia membunuh neneknya demi sebuah benda yang tidak berharga sama sekali.
Pak Sobar datang menepuk-nepuk bahu Sobrak. Sobrak tersentak dan buru-buru melap airmatanya.
“Sudahlah Sobrak, nenek kamu sudah meninggal dunia. Biarkan dia tenang di alam baka...”
Sobrak hanya mengangguk pelan mendengar ucapan Pak Sobar. Dan sebenarnya, Sobrak menangis bukan karena kematian neneknya. Tetapi dengan cara apa dia mendapatkan seserahan untuk diberikan kepada Romlah dan keluarganya.
“Sobrak... sebelum nenek meninggal, dia berpesan pada bapak,” lanjut Pak Sobar. Sobrak penasaran.
“Pesan apa Pak?”
“Bapak sudah mendatangi keluarga Romlah dan menyampaikan lamaran untukmu”
“Maksud bapak...? Saya... saya” Sobrak tak berhasil melanjutkan kata-kata, karena bibirnya yang terasa kelu tiba-tiba.
Pak Sobar tersenyum menatap Sobrak.
“Alhamdulillah, keluarga Romlah menerima lamaran kamu,”
“Tapi... tapi Pak Sobar, darimana saya bisa membeli seserahan untuk keluarga Romlah?”
“Nak Sobrak, bapak sudah menjual gigi-gigi emas pemberian nenekmu. Gigi-gigi emas itu laku lumayan mahal. Lebih dari cukup untuk membelanjakan seserahan untuk meminang Romlah.”
Sobrak hampir terjatuh mendengar ucapan Pak Sobar. Antara percaya dan tidak. Tetapi senyuman Pak Sobar meyakinkannya, bahwa ucapanya tidak salah. Orang seperti Pak Sobar tak mungkin menyampaikan guyonan di tengah-tengah duka yang saat ini sedang menimpanya.
“Maaf Pak Sobar, apakah gigi-gigi nenek itu benar-benar emas?”
“Ya, emas asli. Nenek kamu sudah mencopotnya sebelum meninggal, dan memberikannya kepada saya untuk dijual. Sedangkan gigi-gigi yang dia kenakan saat meninggal dunia hanya kuningan...”
Tiba-tiba genggaman di tangan Sobrak terbuka dan gigi-gigi palsu berwarna kuning keemasan itu terjatuh berhamburan di atas pusara. Pak Sobar terheran-heran melihatnya. Sobrak tak kuasa menahan malu. Bukan saja malu terhadap Pak Sobar, tetapi malu kepada dirinya sendiri.***
        
                                                                 *)Kota Tangerang Selatan,  2010-2013


Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...