Lenong, Bapak dan Saya
Zaenal
Radar T.
Sekitar
taon 80-an, sewaktu almarhum bapak (Baba) masih manjak lenong (menjadi salah satu pemain pengiring musik lenong,
kebetulan bapak pemain seruling), sesekali saya ikut rombongan lenong yang main
di berbagai pelosok kampung. Waktu itu bapak saya, M Saidih, sempat diberi
tanggungjawab menjadi pimpinan lenong Gaya Baru, yang sampai saat ini katanya
masih ada tapi kelihatannya kurang begitu eksis. Pada masa itu saya pernah tertidur di samping
pemain gong atau di kaki pemain gendang, atau pada alat musik lainnya karena
tidak kuasa menahan kantuk. Ketika itu, melihat para seniman lenong yang gagah
dan kerap mendapat aplaus penonton, sempat terbersit dalam hati saya,
berkeinginan menjadi bagian dari pemain lenong. Bahkan saya pernah punya
cita-cita menjadi penulis naskah lenong. Tapi belakangan saya baru tahu, kalau
ternyata orang main lenong kagak perlu pake naskah!
Saya dan Haji Malih, disela shoting serial Emak Ijah Pengen Ke Mekah |
Bahkan
dalam satu obrolan santai dengan Haji Malih, salah satu penggiat lenong senior,
dalam salah satu serial teve yang menjadikan lenong sebagai setting cerita,
para pemain tidak membaca naskah, tetapi mereka dikumpulkan oleh Sutradara dan
plot hanya dibahas dengan obrolan, lalu langsung shoting! Hehe… Saya gak
ngerti, apa karena memang tipikalnya orang Betawi, yang suka menggampangkan
sesuatu. Atau barangkali karena susah mencari penulis komedi semacam lenong?
(Eh, tapi kelihatannya, sampai saat ini ketika saya menulis skenario sinteron,
para pemain lenong semacam Haji Malih, Nirin Kumpul atau alm. Mpok Nori,
kayaknya mereka kagak baca naskah kalau lagi mau shoting. Improve. Hehe.)
Bertahun-tahun
kemudian, ketika saya beranjak remaja, dan orang sudah semakin jarang menanggap
hiburan lenong, saya punya cita-cita menjadi pengarang/penulis. Bukan pengarang
untuk naskah lenong lagi, tetapi menjadi penulis untuk naskah hiburan televisi.
Ucapan itu mengalir begitu saja, sebelum saya tahu apa itu naskah skenario.
Baba saya, Alm. M Saidih |
Bicara soal lenong, tradisi kesenian Betawi yang hampir punah itu, ada yang bilang kalau lenong berasal dari nama salah seorang saudagar China yang bermana Lien Ong. Konon, dahulu Lien Ong lah yang sering memanggil dan menggelar pertunjukan teater yang kini disebut Lenong untuk menghibur masyarakat dan khususnya dirinya beserta keluarganya. Menurut salah satu web yang saya browsing, pertunjukan lenong dibagi atas tiga bagian yaitu sebagai pembukaan dimainkan lagu-lagu berirama Mars secara instrumental untuk mengundang penonton datang. Setelah itu dimainkan lagu-lagu hiburan. Terakhir lakon. Pada awal perkembangannya lenong memainkan cerita-cerita kerajaan, baru kemudian memainkan cerita kehidupan sehari-hari. Nah bedanya, kalo lenong di era yang saya tongton, sebelum acara dimulai biasanya lebih dulu disuguhin musik dangdut campur gambang kromong. Karena penonton lebih suka dangdutan, yang dimainkan dangdut.
Lenong
berkembang sejak akhir abad 19 atau awal abad 20. Seni teater mungkin merupakan
adaptasi oleh masyarakat Betawi seni yang sama seperti "komedi
bangsawan" dan "teater opera" yang sudah ada pada saat itu.
Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyatakan bahwa berevolusi dari proses teater
lenong musik Gambang Kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak 1920-an. Wahhh… udah
lama juga ya? Tapi kok, kayaknya bukan malah maju tapi malah punah?
Katanya dulu itu pertunjukan lenong biasanya untuk memeriahkan pesta.
Dahulu lenong sering ngamen. Pertunjukan ngamen ini dilakukan bukan untuk
memeriahkan pesta tetapi untuk memperoleh uang. Penonton yang menyaksikan
pertunjukan akan diminta uang sukarela. Kalo
sekarang istilahnya disebut saweran kali ya? Kalau boleh mengingatkan,
pertunjukkan Srimulat juga sempat ada saweran rokok, atau hiburan organ tunggal
si biduannya disawer juga. Dan ini terjadi pada sinden atau penari cokek. Kalau
saweran pada pemain lenong zaman dulu itu, pertunjukan lenong diadakan di udara terbuka tanpa panggung.
Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari
penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela.
Selanjutnya,
lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di
panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater
rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.
Setelah
sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an, kesenian lenong yang
dimodifikasi mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail
Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata
panggungnya, lenong yang direvitalisasi tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga
jam dan tidak lagi semalam suntuk.
Lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui
televisi, yaitu yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun
1970-an. Saya
masih ingat benar, sewakti bapak saya ikut ambil bagian dalam acara di TVRI.
Sambil terkantuk-kantuk, saya menunggu bapak bisa tampil di teve. Tapi saat
acara mau dimulai, ternyata harus diselingi dengan acara “Dari Desa Ke Desa”
yang menampilkan Presiden Soeharto dan Menteri Penerangan Harmoko. Supaya accu
yang menjadi sumber listrik tidak terbuang percuma, televisi di matikan dulu.
Kuatir saat acara lenong, setrum accu habis dan kami tidak jadi nonton. Oh ya,
waktu itu di kampung saya belum ada penerangan listrik, dan orang menonton teve
menggunakan accu sebagai sumber tenaga
listriknya. Dan barulah setelah acara Dari Desa ke Desa kelar, kita semua
nonton. Pas pada gilirannya bapak muncul, kami semua bersorak! Duh, norak tapi…
seneng.
Bicara soal
lenong, menurut sebuah sumber, pada
hakikatnya lenong dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : Lenong Preman; Lenong Preman diasumsikan cerita
berdasarkan sudut pandang masyarakat menengah ke bawah zaman dahulu.
Saya dan Bang Ocid (Ucup Nirin) |
Biasanya pertunjukan ditampilkan di tempat dimana masyarakat berkumpul. Panggung pertunjukan berupa ‘panggung arena’, yang hanya beralaskan rumput/tikar, dengan penerangan obor/lampu minyak dan dikelilingi oleh penontonyang duduk berkumpul menyerupai tapal kuda. Busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari.
Mungkin yang dijadikan acuan
Lenong yang dimainkan oleh Bapak saya dkk ini lenoh jenis ini. Karena saya
masing ingat sekali kata-kata yang menurut orang itu kasar, tapi menurut saya
sebagai anak Betawi, hal itu biasa terjadi dalam keseharian orang Betawi. Saya
masih ingat, karena kalau Bapak lagi marah-marah saya dibilang, “Babiiii!!!”.
Dan saya tidak tersinggung kalau memang saya salah, menganggap itu hal yang
biasa. Biasa karena keseringan. Hahahaaaa…
Contoh Lenong Preman : Cerita Si Pitung, Abang Jampang, Wak Item, dan
lain-lain. Lenong preman Betawi tidak bisa diterima masyarakat Betawi Tengah.
Penolakan disebabkan beberapa hal. Pertama, lenong preman pinggiran relatif
sekulerm dengan kehidupan panjak-nya yang melanggar norma. Panjak adalah
pekerja lenong yang terdiri dari aktor, aktris, dan pemain music gambang
kromong. Kedua, penggunaan bahasa Betawi rendahan. Orang Betawi tengah
memandang sinis bahasa Betawi rendahan yang menurut mereka tak santun. Ketiga,
adegan dalam lenong preman pinggiran cenderung mengeksploitasi kekerasan dan
tidak mengajarkan etika.
Namun dalam perkembangannya ada proses rekacipta terhadap lenong preman
pinggiran. Lenong preman pinggiran ditampilkan dengan dialek Betawi tengah yang
lebih santun, serta disesaki muatan relijius di setiap drip,-bagian dari babak
dalam lenong. Misalnya, penggunaan kata ‘assalamualikum’ dan tradisi cium
tangan dengan orang yang lebih tua. Bahasa yang digunakan juga relatif santun,
dengan huruf vocal ‘e’ di akhir kata, dan kental pengaruh Arab.
Misalnya, ‘ane’, ‘ente’, ‘kite’, untuk menyebut saya,
kamu, dan kita.
Kemudian jenis
lain dikenal sebaai Lenong Denes
(dinas). Adalah
pertunjukan teater dimana cerita berisi mengenai dinamika pemerintah yang saat
itu dipegang oleh penjajah. Namun demikian, cerita yang diusung tetap mengenai
sisi perlawanan masyarakat terjajah. Gaya bahasa yang digunakan cenderung
halus, seperti saya-anda, tuan, dan lain-lain.
Lenong Denes diasumsikan berdasarkan sudut pandang golongan menengah atas.
Aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting
kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, Contoh lenong denes : Cerita 1001 malam, dan lain-lain.
Masih menurut salah situs di
internet, sejak awal keberadaannya, Pertunjukan lenong diiringi oleh
gambang kromong, maka gambang kromong disebut sebagai orkes pengiring. Gambang
kromong banyak dipengaruhi oleh unsur alat musik Cina. Alat musik itu antara
lain : tehyan, kongahyan dan sukong. Selebihnya alat musik kempor, ningnong dan
kecrek. Kuatnya unsure cina ini, karena dahulu orkes gambang kromong dibina dan
dikembangkan oleh masyarakat keturunan cina. Dalam lakon lenong, skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu
menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela.
Dalam
pementasannya, Lenong Betawi biasanya menggunakan bahasa melayu atau yang
sekarang sering disebut bahasa Indonesia tetapi menggunakan dialek khas betawi.
Beberapa
seniman Lenong Betawi terkenal yang lahir dan terkenal dari kesenian ini cukup
banyak antara lain : H. Bokir (alm), HM Nasir, Mpok Nori, Haji Malih, Nirin Kumpul, sampai Mandra.
Ada hal yang menarik dalam hidup
saya, dimana Bapak saya sebagai panjak lenong berkawan dengan Nirin Kumpul, dan
saya berkawan karib dengan Ucup Nirin (Bang Ocid) salah satu putra Nirin
Kumpul. Awalnya kami dipersatukan dalam serial Si Entong Abu Nawas dari Betawi
yang tayang di TPI, kemudian bekerjasama lagi dalam judul-judul lain sampai
akhirnya pada serial Emak Ijah Pengen Ke Mekah yang tayang di SCTV.
Jujur saja, saya tidak begitu
suka dengan kehidupan Bapak saya sebagai Panjak Lenong. Saya memang suka dengan
gaya kesenimanannya, karena saya juga ingin menjadi seorang seniman. Tetapi
saya harus lebih profesional, tidak seperti Bapak. Menurut saya, seniman tidak boleh
selalu identik dengan hidup semau gue, awut-awutan dan miskin. (Saya pernah dinasihati seseorang, katanya jangan jadi seniman nanti kamu miskin dan hidup kamu berantakan karena semau gue. Padahal yang hidup semau gue bukan cuma seniman, ya?) Seniman juga
harusnya tidak hanya unik, tapi dia bisa elite seperti profesi lain kayak pegawai
Pajak atau bankir. Hehe…
Referensi
- Sulhi, M. Lenong, Mo Dibawa ke Mane?. Intisari, Juni 2001.
- Shahab, A. Lenong, dari Ngamen ke Televisi. Republika Online, Jumat, 21 Oktober 2005.
- Lenong di situs Direktorat Jenderal Kebudayaan RI.
0 comments:
Posting Komentar