Cerpen: Zaenal Radar T.
Sumber: *) majalah KaWanku,
No. 36/XXXI, 4 – 10 Maret 2002. dimuat kembali dalam buku
kumpulan cerpen: Kantin Love Story (Penerbit LPPH,
Pinpin keluar dari optik
dengan wajah terlipat. “Sebel Sebel!
Sebeeel...!” makinya, pada diri sendiri.
Pasalnya, setelah diperiksa, kedua matanya masih normal. Itu artinya, Pinpin nggak perlu kacamata
minus.
Pinpin nggak percaya
pada satu optik saja. Makanya Pinpin
mendatangi semua optik yang ada di daerahnya buat memeriksa matanya. Seluruh optik, baik pemeriksaan manual maupun
komputerisasi, menyatakan bahwa matanya normal!
Padahal, Pinpin pingiiin banget pake kacamata minus! Pinpin iri sama shella, Lusi, Desy, Yanti,
Lina, yang udah pake kacamata minus.
“Pake kacamata minus
itu kesannya profesor banget! Pinter,
intelektual, kutu buku, ... Aduuh, kenapa ya mata Pinpin nggak minus?” bathin
Pinpin. Pokoknya Pinpin harus minus!
Tapi, gimana caranya?
“Kamu kan bisa pake
kacamata yang standar, Pin. Pake
kacamata nggak berarti harus minus, kan?” kata Mama, saat Pinpin mengadukan
permasalahannya.
“Iya, Mam. Tapi Pinpin kan malu pake kacamata yang nggak
ada minusnya. Ntar dikira Pinpin mau
gaya-gayaan lagi! Kan malu diledekin
temen-temen!”
“Terus, mau kamu
apa?” suara Mama mulai meninggi.
“Pinpin pengin
minus! Berapa aja deh; minus seperempat
kek, minus setengah kek, satu, dua... minus berapa aja. Yang penting minus!”
“Yee, minus kok
maksa!” Mama naik pitam.
“Gimana dong, Ma?”
Mama nggak
jawab. Beliau cuma geleng-geleng kepala.
Sebodo, ah! Mama bingung!
Udah, ya, Mama tinggal arisan dulu!”
“Eits!” Pinpin
menangkap lengan Mamanya, “Jangan lupa ya, Mam, tanyain sama ibu-ibu arisan
temen-temen Mama, gimana sih supaya mata jadi minus itu?”
Lagi-lagi Mamanya
nggak jawab. Beliau menangkis tangan putrinya, mencium keningnya, setengah
berlari beliau menuju garasi.
***
Pinpin bengong sendirian di
rumah. Bang Markum lagi naik gunung,
papi main golf, Mama... arisan, si Mbok belanja sayuran. Hmm, mending Pinpin nelpon temen. Siapa dulu, ya? Ee, Shella dulu deh. Dia kan pake kacamata minusnya sejak kelas
lima SD.
“Halo, Shella ya?”
“Eh, tumben Pin,
pasti nanya yang kemarin, ya?”
“Iya, Shel. Tolong dong, Shel. Semua orang rumah pada nggak tau jawabannya.”
“Iya, deh Pin, gue
jawab. Ee, kata Mami gue, gue minus
karena terlalu sering nonton teve!”
“Bener tuh, Shel?”
“Bener!”
“Thanks ya,
Shel!”
Setelah itu Lusi
yang dihubungi. Lalu berturut-turut:
Yanti, Desy, dan terakhir Lina.
“Kalo gue sih pake
kacamata minus karena keturunan, Pin.
Papi gue minus. Mami gue minus.
Kakak dan adik-adik gue minus!” kata Lusi.
Yanti lain lagi,
“Gue minus karena kalo nonton teve terlalu deket, kali ya?” Lalu, “Terus kata
Papi gue, gue kalo baca suka sambil tiduran.
Itulah katanya, yang menyebabkan mata gue jadi minus!”
“Kalo gue minus
karena kurang vitamin A, Pin! Heheheh, becanda!
Yang bener, karena gue pinter kali, ya?” komentar Lina. Dasar Lina! Emang gede omong! Tapi, iya juga sih. Lina emang pinter. Kacamatanya minus. Karena Lina rajin baca buku. Lina emang kutu buku. Makanya dia pintar. Tapi, Lina kacamatanya minus karena terlalu
banyak baca buku?
Puas hati
Pinpin. Ia telah mendapat semua jawaban
dari temen-temennya yang pake kacamata minus.
Kecuali Rani, yang belum sempat ia hubungi karena di rumahnya belum ada
telepon. Biarlah, setelah si Mbok pulang
dari pasar nanti, Pinpin ke rumah Rani.
Rumah Rani nggak begitu jauh. Dia
tinggal di sekitar Ciliwung. Rumah Rani
tepat di sisi kali itu.
Pinpin pernah sekali
ke rumah Rani. Waktu Rani sakit
tipes. Pinpin dan gengnya yang membiayai
perobatan Rani di rumah sakit, karena ortu Rani nggak mampu. Bapaknya Rani tukang becak yang sering
dikejar-kejar kamtib, yang penghasilannya suka nggak tentu. Emaknya kuli cuci pakaian di rumah orang
gedongan. Adik-adiknya banyak. Kasihan juga si Rani ini.
Beruntungnya Rani
anak yang pintar. Dia bisa melanjutkan
sekolah di SMU berkat bea siswa. Dan
beruntungnya Rani, setidaknya menurut bathin Pinpin, bahwa ia pake kacamata minus! Haha?!
Yang jelas, Rani
sama saja seperti temen-temen lainnya, meski siapapun ia sebenarnya, semua
temen-temen si sekolahnya tak ada yang mendiskreditkannya. Lebih-lebih anak-anak gengnya Pinpin macam
Shella, Yanti, Desi, Lusi, dan Lina.
Setiap pulang sekolah Rani bisa ikut tumpangan gratis. Kadang ikut
jemputan Shella, di lain waktu numpang sama Lusi. Tak jarang Rani pulang bareng Pinpin and
her driver.
Pokoknya asyik
banget anak-anak gengnya Pinpin itu.
Setia kawan banget! Sayangnya... sayangnya..., semua pake kacamata
minus, kecuali Pinpin! Duh, kalo diinget
bikin panas ati Pinpin aja!
Pinpin benar-benar
kebelet ingin ketemu Rani. Pinpin
diantar Shella. Dan mereka akhirnya tiba
di rumahnya Rani. Tapi Raninya lagi nggak ada.
Kata adik-adiknya, Kak Rani pergi sama Emak, bantu-bantu nyuci di rumah
majikan Emaknya. Ya Tuhan, kata Pinpin
dan Shella, liburan diisi acara kuli nyuci??
“Tapi Rani pake
kacamata minus, Shel!”
“Kamu itu Pin,
apa-apa diukur pake kacamata!!” Shella kesal, “Salah sendiri, mengapa mata lo
nggak minus?” tambah Shela.
***
Sejak sedari sore, sampai
malam, Pinpin nongkrong di depan teve, di kamarnya. Papa Mamanya heran. Nggak biasanya Pinpin demen nonton teve
berlama-lama.
“Acaranya bagus,
kali?” kata Mamanya.
“Bagus apa, wong
dari sore sampe malam cuma acara kuis yang dia tonton!”
“Tapi, kayaknya, kok
nonton tevenya deket-deket gitu? Apa...
matanya udah minus?”
“Mama, kalo mata
Pinpin minus, dia nggak akan kelihatan muram begitu!”
“Iya, ya, Pa. Anak
kesayanganmu itu memang aneh...”
Sore berikutnya,
Papa dan Mamanya kembali dibuat terbengong-bengong oleh tingkah Pinpin.
“Pa,” bisik Mama,
“Liat anakmu, dari tadi kerjaannya bacaaa terus. Apa nggak pegel tuh matanya?”
“Biarin aja ma. Mungkin besok mau ulangan.”
“Tapi, pa. Kok bacanya suka sambil tidur-tiduran? Udah gitu, kamarnya dibikin
remang-remang. Apa lampu belajarnya
sudah mati, Pa?”
“Tadi udah Papa check.
Lampu belajarnya bagus, kok!”
Keesokan sorenya
bang Markum pulang dari mendaki gunung.
Ia mengeluh. Bang Markum mengaku
punya masalah terhadap penglihatannya.
Di hadapan Papa Mamanya, ia minta pendapat. Di situ juga ada Pinpin yang lagi baca buku
sambil tidur-tiduran deket teve!
“Kamu periksa matamu
itu, Kum,” saran Mama.
“Mungkin minus,
kali?” duga Papi.
“Minus?”
kedua bola mata
Markum terbelalak. Terlebih-lebih
Pinpin. Bahkan lebih heboh. Mendengar kata minus, Pinpin ikut bergabung,
” Gimana kalo kita sama-sama ke optik buat periksa mata? Pa? Ma?” usul Pinpin. Lalu, “:Mata pinpin juga kayaknya agak-agak
berat, nih!”
Dan akhirnya mereka
ke optik bersama-sama. Yang diperiksa
pertama bang Markum. Hasilnya, menurut
pemeriksaan, kedua mata bang Markum emang udah minus. Yang sebelah kiri minus 0,75. Yang kanan
minus satu seperempat. Maka Bang Markum
diwajibkan pake kacamata!
Papa
dan Mama juga memeriksa mata mereka. Hasilnya, keduanya normal! Terakhir giliran Pinpin. Kata Pinpin, matanya agak-agak sepet. Suka berkunang-kunang. Setelah diperiksa, dokter periksa mata
menganjurkan agar Pinpin istirahat saja.
Katanya, mungkin mata Pinpin terlalu lelah. Kedua matanya masih normal! Buktinya, menurut hasil pemeriksaan komputer
hasilnya normal. Pake manual, normal.
Terbukti, Pinpin mampu ngejawab semua tes mata. Beda sama bang Markum, yang penglihatannya
udah agak kabur, sehingga selalu salah menjawab angka-angka yang ditanyai oleh
ahli mata optik itu!
Setelah menunggu
kurang dari setengah jam, kacamata Bang Markum sudah ok. Bang Markum resmi pake kacamata!
“Huh! Bikin ribet aja!” keluh bang Markum.
“Kamu tambah
ganteng, lho, pake kacamata begitu,” rayu Mama.
“Keliatan pintar!”
puji Papa.
Sementara itu Pinpin
hanya bisa mematung. Uuh, sebelnya! Kenapa justru bang Markum yang pake kacamata
minus? Mungkin Pinpin kurang gigih,
kali?
‘Huh, gue mesti
berhasil!’ Pinpin mengutuki dirinya
sendiri. Masih aja berharap untuk bisa
pake kacamata minus. Bagaimanapun
caranya!
Maka akhirnya,
setiap hari Pinpin baca buku. Di kamar, di
mobil, di kantin, di WC sekolah, di mana aja!
Sambil tengkurap, miring, terlentang, dan tak lupa mencari tempat yang
remang-remang. Pinpin nggak peduli. Yang
penting keinginannya segera tercapai.
Pake kacamata minus! Oh, alangkah
senangnya bila berhasil pake kacamata minus!
Eits, jangan sampe lupa: Biar leboh afdol, setiap hari harus
nonton teve dekat-dekat!
***
Sudah hampir dua hari Rani
nggak masuk sekolah. Ke mana aja dia!
Apakah Rani kena tipes lagi?
Jangan-jangan penyakitnya itu kambuh?
Semua temen-temen
khawatir. Terlebih-lebih Pinpin! Pinpin belum menanyainya tentang...
sebab-sebab Rani pake kacamata minus!
Yanti mengusulkan
datang ke rumahnya. Sepulang sekolah
mereka mengunjungi rumah Rani.
“Kenapa dua hari ini
kamu nggak masuk, Ran?” tanya Lusi, ketika sudah berada di rumah Rani yang
sempit dan sumpek itu.
“Kacamata saya
pecah. Jatuh di jalan kemarin, waktu
saya pulang dari bantu-bantu Emak...” Rani nggak melanjutkan jawaban
kata-katanya.
“Pecah? Kacamata kamu pecah?!” selidik Pinpin, meski persoalanya udah
jelas. Rani tertunduk lesu.
“Pin, lo belum
ngerti, ya?” Shella menyela, “Kalo udah pake kacamata minus, apalagi minusnya
gede, kalo nggak pake kacamata kepala jadi pusing! Karena efek dari penglihatan mata kita yang
kabur. Duh, mengganggu sekale, deh!”
“Jadi...”
“Pin,” kali ini Rani
yang menyela, “Orangtua saya nggak mampu mengganti kacamata itu sekarang,”
ujarnya lirih, sehingga Pinpin terpaksa menelan kembali apa yang hendak
diucapkannya. Semua temen-temen lain
memandang pilu pada Rani. Terlebih saat
mata mereka tertumbuk pada adik-adiknya yang kumal dan dekil. Dipannya yang reot. Dan sarang laba-laba yang menggelayut di atas
kepala...
“Rani, maaf ya...
mudah-mudahan kamu cepet masuk sekolah lagi,” bisik Shela.
“Kita main bareng
lagi,” timpal Desy.
“Pulang bareng
lagi,” sambar Yanti.
***
Baru saja tiba di depan
pintu, Pinpin berteriak pada orang-orang rumah.
“Papa! Mama!
Pinpin dibelikan kacamata minus, ya?!”
“Lho!? Mata kamu...
minus juga, ya?” bang Markum langsung menanggapi.
“Makanya, kalo baca
jangan sambil tiduran!” omel Mama.
“Kalo nonton teve
jangan dekat-dekat!” timpal Papa.
“Sukurin! Biar ngerasain makan wortel tiap hari kayak
gue, supaya mata minusnya nggak nambah!” tambah bang Markum, seraya memamerkan
kiat-kiat anti minus pemberian teman-temanya.
“Tapi, Pa, Ma, mata
Pinpin nggak minus!”
“Lho!?”
“Lho!?”
“Lho, kok?”
“Kacamata itu bukan
buat Pinpin. Tapi buaaat... Rani!”
Lalu Pinpin mengajak
Rani masuk. Dengan malu-malu Rani,
beranjak ke tengah-tengah keluarga Pinpin.
Dan Pinpin menceritakan tentang semua yang menimpa Rani.
“Oo, ini yang
namanya Rani, ya?” Papa, Mama, dan bang Markum, sering mendengar cerita Pinpin
tentang kawan-kawan dekatnya. Tak
terkuali Rani!
“Biar, nanti Papa
yang menanggung biayanya,” kata Papa Pinpin akhirnya. Dan Pinpin girang, mencium pipi Papanya.
“Anak sama Papa
makin kompak aja rupanya...” canda Mama, “Sampai-sampai Mama dilupain...”
“Hoo, Mama juga mau
dicium, ya? Nih, cup! Cup! Cup!”
Rani terharu melihat
tingkah Pinpin. Rani ingat sama Emak dan
Bapaknya.
Nggak lama kemudian
mereka pergi ke optik. Kecuali bang
Markum, yang lagi asyik bikin jus wortel!***
0 comments:
Posting Komentar