Mamat Metro

Mamat Metro

Cowok Di Loteng Rumahnya


Cerpen: Zaenal Radar T.

Sumber:
*) majalah GADIS, No. 23/XXX/24 Agustus-2 September 2004
*) buku kumpulan cerpen JERAWATAN (Pen. Cinta, 2005)

 
foto: biodataartis.com/Boy William

       Cowok itu selalu berada di loteng rumahnya. Setiap kali aku ke sekolah, aku selalu melihatnya, menemukan cowok itu duduk  menjuntaikan kakinya yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang bagus. Di lain waktu, aku melihat ia tengah menyandar pada dinding loteng yang tidak terlalu tinggi itu.  Ia duduk dengan santai, seolah menikmati hari-hari tanpa beban berarti. Dan di lain kesempatan, ketika aku pulang sekolah, aku menemukan cowok itu tengah tidur pulas di sebuah bangku malas, di lotengnya yang menghadap ke jalan dan bisa dilihat dengan jelas dari bawah rumahnya itu.
        Aku ingin sekali mengenalnya, tetapi tak berani menyapanya.  Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin mengenalnya.  Aku hanya ingin bertany a, mengapa dia senang sekali berada di atas loteng rumahnya. Mengapa dia tidak berada di kamarnya saja, sehingga orang-orang tidak mengetahui apa yang tengah dilakukannya.  Oh, jangan-jangan, di kompleks perumahanku ini, mungkin cuma aku yang selalu memperhatikan cowok itu?
       Ketika kutanyakan pada Gadis, temanku satu sekolah yang rumahnya satu kompleks dengan rumahku, ia bilang ia tak pernah memperhatikan seorang cowok yang selalu berada di loteng rumahnya itu. Saat kutanyakan, Gadis pun tahu, sebuah rumah berlantai dua yang lotengnya bagus, yang ada kursi malas di bagian sudutnya, yang di dekat jendelanya ditumbuhi pohon mangga. Selain jemuran, ia tak pernah melihat apakah ada seseorang, laki-laki atau perempuan, tengah berada di atas loteng tersebut.
       “Masak elu nggak pernah lihat?” selidikku.
       “Nggak pernah! Sungguh mati!”
       “Elu pernah lewat di depan rumah itu, kan?”
       “Pernah lah! Yang catnya biru kan?”
       “He-eh!”
       “Yang loteng rumahnya agak luas dan pintu pagarnya selalu tergembok, kan?”
       “Tepat!”
       “Gue kok, nggak pernah lihat siapa-siapa, ya?”
       “Ya udah, mungkin lain kali elu akan melihatnya.  Tapi ingat ya, dia udah milik gue!” kataku sambil melotot lucu, membuat Gadis tertawa geli.
      Begitulah Gadis, cewek satu kompleks yang mengaku tak pernah melihat cowok itu. Aku yakin, mungkin Gadis tak pernah memperhatikan seseorang yang berada di atas loteng itu, sehingga ia tak pernah mempedulikannya. Kalau dia pernah melihatnya, pasti dia akan merasa sangat takjub pada paras cowok itu yang begitu kerennnya. Di kompleks perumahan ini, tak pernah kulihat cowok sekeren dia!
       “Emang cowoknya keren banget apa?” tanya Gadis kemudian.
       “Kayaknya, di kompleks ini dia tuh nggak ada duanya!”
       “Masak, sih?!”
       “Kalo nggak percaya, liat aja sendiri!”
       “Iya deh, ntar gue liat!”
       “Tapi jangan macam-macam, ya!”
       “Hihi, tenang! Emang gue cewek apaan sih! Kalo perlu, gue dukung elu deh!”
       “Nah, gitu dong!”
       Setelah mendengar ceritaku, Gadis pun ingin membuktikannya sendiri. Kalau biasanya ia sekolah lewat jalan pintas yang lebih dekat, belakangan ini ia lewat melalui pintu gerbang kompleks agar bisa melewati rumah berlantai dua yang kumaksud. Ia ingin membuktikan ceritaku, tentang seorang cowok yang selalu berada di loteng rumahnya. Ia juga ingin tahu, seberapa kerennya cowok itu.
       Tetapi, sudah dua hari lewat di depan rumah itu, Gadis mengaku tak pernah melihat apa-apa selain kursi malas, tiang jemuran, dan cabang pohon mangga yang menjuntai!
       “Apakah karena cowok itu tak pernah lagi  berada di loteng rumahnya?” tanya Gadis, yang mengaku sudah dua hari berturut-turut selalu lewat di depan rumah cowok itu.
       “Elu nggak lihat?”
       “Nggak pernah!”
       “Sekali pun?”
       “Nggak pernah! Sumpah, deh!”
       “Kemarin siang Elu lewat jam berapa?”
       “Jam setengah tujuhan!”
       “Setengah tujuhan? Gue lewat rumah itu jam setengah tujuh lewat!  Gue lihat cowok itu tengah menjemur handuk, seperti habis mandi! Cowok itu mengeringkan rambutnya, membelakangi matahari!”
       “Ah, masak?!”
       “Bener! Masak elu nggak liat?”
       “Mungkin pas gue lewat, dia lagi mandi kali?”
       “Mungkin juga sih. Tapi, kemarinnya lagi, lu liat nggak?”
       “Lu gimana sih, May! Kalo ngeliat itu namanya pernah! Gue kan udah bilang, gue nggak pernah liat cowok itu!”
       “Ya ampun, Dis! Kemarinnya lagi lu lewat jam berapa sih?!”
       “Kalo nggak salah, sekitar jam setengah tujuh!”
       “Emm, waktu itu gue berangkat jam setengah tujuh kurang. Gue liat cowok itu lagi duduk santai di kursi malas itu.  Gue sempet menatapnya, dan dia balas menatap gue sambil melambaikan tangan dan  tersenyum manis!”
       “Masak, sih?!”
       “Biar disamber gledek!”
       “Kok, gue nggak liat!”
       “Apa mungkin pas elu lewat dia udah keburu masuk kamarnya?!”
       “Ya udah, besok kita berangkat bareng deh!”
Gadis jadi penasaran.  Ia ingin melihat cowok yang selalu berada di loteng rumahnya itu, yang kubilang kerennya minta ampun. Padahal ia sudah ngebela-belain lewat rumah itu. Tapi ia tak pernah melihatnya! Aku jadi heran, kenapa ia tak pernah melihatnya. Padahal, aku selalu melihatnya. Apakah ini hanya kebetulan saja? Mungkin waktu Gadis melintas, cowok itu memang sedang tak berada di atas loteng rumahnya?  Itulah sebabnya, besok pagi aku dan Gadis janjian berangkat bersama-sama.
     Keesokan paginya, Gadis menjemputku. Kami berangkat ke sekolah bersama-sama. Kami akan melintasi rumah itu, rumah seorang cowok yang selalu berada di atas loteng rumahnya. Aku berharap bisa melihat cowok itu, agar Gadis puas pada ceritaku. Agar gadis pun tahu betapa kerennya cowok itu!
       Tetapi aku dan Gadis tak menemukan cowok itu. Ketika kedua mata kami menatap ke atas loteng rumah itu, tak ada siapa-siapa selain tiang jemuran dan kursi malas. Aku jadi sebal, kenapa cowok itu tak menampakkan diri. Aku dan Gadis ingin menunggunya, tetapi kami takut terlambat tiba di sekolah. Lagipula, kami merasa canggung pagi-pagi berdiri di depan rumah orang. Nanti dikira maling, lagi! Hihihi.
       Saat pulang sekolah, aku lewat rumah itu lagi.  Sedangkan Gadis pulang seperti biasa, lewat jalan pintas yang lebih dekat dengan rumahnya. Ketika aku lewat di depan rumah itu sendirian, lagi-lagi cowok keren itu tengah berdiri di loteng rumahnya! Aku ingin berteriak, tetapi mendadak tubuhku gemetaran. Perasaan senang campur gugup jadi satu. Aku ingin berteriak memanggil Gadis, bermaksud ingin menunjukkan padanya bahwa cowok keren itu benar-benar ada. Tapi tentu tidak mungkin! Sayang sekali Gadis tak pulang bersamaku.
       Ketika melintasi rumah itu, aku menatap ke arah loteng.  Cowok keren itu pun menatap ke arahku, lalu tersenyum manis sambil menganggukan kepala.  Aku bisa melihat dengan jelas, lesung pipit di bagian kanan pipinya.  Begitu manisnya!  Sayangnya, aku tak berani berkata-kata. Dan sialnya, cowok itu pun tak berkata-kata selain tersenyum.
       Aku tak mungkin berhenti lalu bicara padanya. Tak mungkin. Aku terus saja berjalan dan tak lagi menoleh ke arahnya. Aku tidak tahu, apakah cowok itu terus menatapku atau tidak.  Aku hanya bisa berharap, cowok itu memiliki perasaan yang sama seperti yang aku rasakan ketika menatapnya. Mudah-mudahan, di lain waktu ia turun dari loteng lalu menyapaku. Kami bicara di bawah, saling berkenalan.
       Dan keesokan harinya, aku kembali melihat cowok keren itu tengah duduk santai di kursi malas itu.  Cowok itu duduk menghadap ke jalan, seperti asyik melihat kesibukan orang-orang yang melintasi rumahnya. Rumah berlantai dua yang pintu gerbangnya selalu tertutup itu memang selalu sepi. Aku tak pernah melihat penghuninya selain cowok keren yang selalu berada di atas lotengnya.  Seperti kemarin siang, aku dan dia saling tatap, tersenyum, dan cowok itu melambaikan tangan.
       Di sekolah, kejadian ini kuceritakan pada Gadis. Sayangnya, Gadis sudah tak mempercayaiku lagi.
       “Elu udah gila kali, May!” sungut Gadis, saat kuceritakan tentang cowok di atas loteng rumahnya itu.
       “Please, Gadis! Gue nggak bohong! Kalo elu nggak percaya, buktiin sekali lagi. Siang ini kita pulang bareng.  Kita lewat rumah itu sama-sama.  Biar elu bisa ngebuktiin sendiri betapa kerennya cowok itu!”
       “Oke deh!  Tapi sekali ini aja. Kalo nanti nggak kelihatan batang hidungnya, gue nggak bakal percaya lagi sama cerita elu!”
       “Oke!  Siang ini tunggu gue di gerbang sekolah.  Kita pulang sama-sama!”
       Siang itu, Gadis menungguku di gerbang sekolah. (Aku dan Gadis lain kelas.) Setelah bertemu aku dan Gadis pulang bersama-sama.  Aku dan dia akan lewat rumah si cowok keren itu, yang selalu kutemui di atas loteng rumahnya. Sepanjang jalan, aku berharap semoga cowok itu berada di atas loteng rumahnya! Aku ingin Gadis pun melihat cowok itu!
       Sayangnya, ketika melintasi rumah itu, cowok itu tak kami temukan! Aku dan Gadis memperlambat langkah, siapa tahu cowok itu tengah berada di kamarnya.  Dan setelah melintasi beberapa meter, aku dan Gadis masih menoleh ke arah loteng rumah itu. Dan kami pun memutuskan untuk diam beberapa menit di ujung jalan, menatap ke arah loteng rumah itu. Ya ampun, cowok itu tak juga muncul! Hingga kesabaran kami pun habis!
       “Gue yakin, mungkin selama ini cuma halunisasi lu aja kali, May!” ucap Gadis, saat kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang.
        “Gue yakin Dis, kalo tuh cowok benar-benar nyata!”
       “Buktinya, gue kok nggak pernah liat tuh cowok? Jangan-jangan, elu udah gila!?”
       Aku tak bisa berkata-kata lagi.  Karena selama ini, aku tak pernah bisa memperlihatkan cowok itu di mata Gadis. Kalau saja cowok itu ada saat aku dan Gadis melintas, Gadis pasti percaya. Bukan malah menuduhku gila!
       Sejak saat itu, Gadis tak lagi percaya pada ucapanku. Gadis tak percaya kalau di atas loteng rumah itu ada seorang cowok keren yang  selalu tersenyum kepadaku. Setiap pergi dan pulang sekolah, aku selalu melintasi rumah itu. Setiap kali melintasi rumah itu, cowok keren itu selalu berada di atas loteng rumahnya dan tak pernah lupa tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahku.
       Aku jadi mabuk kepayang dibuatnya. Sayangnya, sampai saat ini, aku tak berani menyapanya, selain berhai-hai. Begitu pula cowok itu, tak pernah berusaha menahan langkahku selain tersenyum dan melambaikan tangan. Ingin sekali aku mendengar ia menyapa.  Lalu aku berhenti. Dan kami saling bercakap-cakap sebentar. Setelah itu ia turun ke bawah, berkenalan denganku.
       Sayang seribu sayang,  sampai saat ini kami tak pernah bicara selain saling melempar senyum. Oh, cowok yang selalu berada di atas loteng rumahnya, siapakah kamu? 
Kenapa hanya aku yang bisa melihat kamu? Kenapa tidak Gadis, atau Helen, Kikan, Chaca, Dina, juga Riri dan Icha, yang akhirnya kuajak melihatmu tapi tak pernah berhasil!?
***

      Setelah sekian lama memendam rasa penasaran dan hasrat yang begitu meluap-luap untuk bisa berkenalan dengannya, akhirnya aku memutuskan untuk mampir di rumah cowok itu.
       Sepulang sekolah, kuketuk pintu pagar rumah itu, berharap seseorang keluar dari dalam pagar.  Namun ketika kuketuk, justru seorang satpam yang keluar.
       “Maaf non, mau cari siapa?”
       “Saya ingin bertemu dengan teman saya yang selalu berdiri di atas loteng itu, pak,” terpaksa aku berbohong pada pak satpam itu.  Padahal, aku kan belum kenal dengan cowok itu.
       “Maaf non, rumah ini sudah tidak ada penghuninya. Selain bapak, tidak ada orang lain yang tinggal di rumah ini. Seluruh penghuni rumah ini mengalami kecelakaan, termasuk putra tunggalnya yang mungkin teman si non!”
       “Tapi, pak...”
       “Maaf non, kecelakaannya memang baru tiga minggu lalu! Dan itu pun belum sebulan mereka tinggal di rumah ini. Non harus tabah menghadapinya, ya.”
Seketika itu juga kepalaku mendadak berat. Tubuhku terhuyung-huyung karena lemasnya. Hampir saja aku jatuh, bila tak dipapah oleh pak satpam itu.***
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...