Mamat Metro

Mamat Metro

Menunggu Telepon


Cerpen Zaenal Radar T.

 Sumber:

*) Majalah KaWanku, No.09/XXXIV, 23-29 Agustus 2004-10-21
*) Buku Kumcer Cinderella Jakarta (Penerbit Cinta, 2006)

 
Gbr: Shutterstock/Marc Dietrich


         Agnes berjalan mondar-mandir di ruang keluarga. Sesekali sorot matanya melirik ke arah telpon. Ia memang tengah gelisah menunggu telpon seseorang. Rencananya, cowok itu berjanji akan menelpon Agnes sore ini. Kemarin siang ia kenalan dengan seorang cowok keren di toko buku. Agnes memberikan nomor telpon rumah kepada cowok keren itu. Sayangnya si cowok nggak memberinya nomor telpon karena mengaku nomor telponnya sedang ada masalah. Selain itu Agnes lupa menananyakan nomor telpon genggamnya.
“Kalo aja kemarin itu gue kasih nomor HP gue, mungkin gue nggak harus berada di dekat telpon terus...” bisik hati Agnes, sambil terus menunggu telpon berbunyi.
Tak lama kemudian kak Ranti mendekati telpon, lalu mengangkatnya.
“Eh, kak... mau ngapain?!” sungut Agnes, melihat kakaknya mengangkat gagang telpon.
“Mau nelpon lah! Emang kenapa?!”
“Jangan lama-lama, yah... Agnes lagi nunggu telpon masuk.”
“Nggak bisa gitu dong! Ini kan bukan telpon pribadi!”
Mulai deh. Pasti kalo diterusin jadi perkara.  Maka Agnes diam. Ia menggerutu melihat kakaknya nelpon.  Dan untungnya, itu nggak lama. Mungkin telpon itu nggak nyambung ke alamat yang dituju. Atau mungkin nadanya lagi sibuk. Akhirnya kak Ranti meninggalkan telpon itu.
“Selameeet...” desah Agnes, pada dirinya sendiri. Dengan begitu, tak ada kemungkinan si cowok keren itu menghubungi telpon yang sibuk. Itu berarti, Agnes memiliki kesempatan penuh untuk bisa menerima telpon dengan mudah bila si cowok keren itu menghubunginya.
Namun tak lama kemudian mamanya datang tergopoh-gopoh ke arah telpon.
“Mamaaa...! Mau nelpon siapa?!!” teriak Agnes, membuat mamanya kebingungan.
“Lho!? Memangnya kenapa?  Mama mau menghubungi temen-temen arisan mama.”
“Wah, wah... pasti lama dong?”
“Ya, begitu deh...”
“Nggak deh! Kalo begini caranya nggak kena!”
“Emang kenapa, Nes?”
“Lebih baik mama pake HP aja deh...”
“Pulsanya nggak ada.”
“Nih! Pake HP Agnes..!”
“Memangnya telponnya kenapa?”
“Telponnya lagi di pake!”
“Ya udah kamu pake duluan, ntar mama belakangan...”
“Udah, mama pake HP Agnes aja. Soalnya sebentar lagi telpon ini akan dihubungi seseorang. Inget Ma, telpon kita kan nggak kayak telpon temen-temen Agnes. Ini telpon jaman dulu yang nggak bisa dihubungi kalo ada penelpon lain masuk!”
“Ya udah, terserah deh! Sini HP-nya!”
“Jangan lama-lama ya, Ma...”
Mama Agnes memberengut. Lalu kembali ke kamarnya.
“Legaaa....” sorak Agnes dalam hati. Dengan begitu, Agnes bisa menunggu telpon itu masuk tanpa ada yang menghalanginya.
Agnes tersenyum sendiri, membayangkan kalau-kalau cowok itu segera menelponnya. Ia akan  menerimanya dengan suka cita, melanjutkan obrolan pendek kemarin. Nantinya ia tak akan menyia-nyiakan waktu untuk menanyakan berapa nomor telepon cowok itu. Sekalian alamatnya. Di samping itu, sebenernya Agnes belum tahu siapa nama cowok keren itu... Upss, kemarin lupa kenalan...
Kriiing. Kriiing. Kriiing.
Telpon berdering. Agnes kaget. Ia menghela nafas. Mendadak dadanya serasa sesak. Dengan semangat, ia mengangkat telponnya.
“Halo...”
“Halo, selamat sore, bisa dengan Bu Arini...?”
“Maaf, ini dari siapa...?”
“Ini Bu Saskia. Teman arisannya.”
“Ooh, nanti ibu akan dihubungi...”
“Maksudnya?”
“Tidak ada maksud-maksudan, Bu.  Nanti juga ibu akan dihubungi. Sudah, yah...”
“....”
“Sudah ya Bu...”
“Ya, ya... terima kasih.”
“Kembali!”
Klik. Telpon langsung ditutup. Agnes menghela nafas panjang. Ia kesal dengan ibu yang tadi menelponnya. Kalau saja cowok keren itu menelponnya, bisa gawat!  Agnes takut cowok itu males menelponnya lagi, bila nadanya selalu sibuk.
Agnes kembali berjalan mondar-mandir, sambil terus memperhatikan telpon. Ia berharap si cowok keren itu segera menghubunginya saat ini juga.  Tetapi sebelum telpon itu berbunyi, adiknya datang dan langsung menyambar gagang telpon.
“Hey! Fery, mau ngapain?!!”
“Mau nelpon kak?”
Agnes merebut horn telpon itu, lalu meletakkannya kembali.
“Mau nelpon siapa?”
“Mau nelpon siapa, kek?  Emang kenapa?!”
“Mau nelpon temen cewek, yah?”
“Ah, kakak. Nggak kak. Fery mau nelpon Didi. Janjian mau main PS bareng!”
“Sana, ke wartel depan aja!”
“Kok? Emang telponnya rusak?!”
“Nggak. Telponnya mau kakak pake!”
“Ya udah, Fery tunggu.”
Fery menyerah, lalu duduk bersandar di sofa. Agnes kembali berjalan mondar-mandir, menunggu telpon berdering.
“Kok, telponnya nggak dipake?”
“Kakak lagi nunggu telpon masuk!”
“Uh, sebel! Kenapa nggak dihubungi aja sih?”
Agnes jengkel melihat adiknya, lalu memberinya uang agar adiknya pergi.
“Nih! Kamu nelpon di wartel aja. Kembaliannya ambil deh!”
“Nah, gitu dong!”
Adiknya segera pergi setelah menerima uang. Dan Agnes kembali leluasa menunggu telpon itu berbunyi.
Kriing. Kriiing. Kriiing. Telpon itu berdering. Agnes tersenyum mendengarnya. Tapi dadanya kembali sesak. Ia deg-degan membayangkan si cowok keren itu bicara padanya.
“Halo...”
“Halo! Bisa bicara dengan Fery!”
“Fery nggak ada! Lagi ke wartel!”
“Ee... nanti suruh telpon Didi yah. Penting sekali!”
“Oke! Daag..!”
Klik. Agnes segera menutup telpon dengan sebal. Lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa, berharap si cowok keren yang berjanji menelponnya sore ini segera menghubunginya.
“Nes, nih Hp kamu,” mamanya datang, mengembalikan HP miliknya.
“Udah selesai?”
“Belum sih? Biar aja, ntar malem mama telpon yang lainnya.  Makasih ya sayang.”
“Sama-sama, ma.”
Agnes kembali bersandar di sofa.  Kali ini sambil memegangi HP-nya, dan iseng-iseng nge-check pulsanya.  Agnes curiga pada mamanya, jangan-jangan... Benar saja!! Pulsanya tersisa Rp. 190.
“Ya ampun si mama! Perasaan tadi masih tujuh puluh lima ribu??! Kok, tinggal segini? SMS aja nggak bisa...?!! Pantes langsung dibalikin!??” Agnes menggerutu sendiri.
Kriing. Kriiing. Kriiing.
Meskipun dirinya tengah dilanda sebal luar biasa, Agnes senang mendengar telpon berdering. Ia berusaha meredam emosinya, lalu mengangkat telpon.
“Halo...”
“Halo, selamat sore, tolong kami pesan nasi goreng dua piring. Minumnya es teh manis. O’ya, jangan lupa ya, bonnya langsung disiapin..”
“Halo! Halo! Ini siapa?!!”
“Jangan keras-keras gitu dong, mbak! Ini Pak Brata, langganan restorannya si mbak!  Masak lupa sih?”
“Maaf pak, ini bukan restoran!”
“HAH!?? Ini nomor telponnya berapa sih? Jangan-jangan saya salah pincet ya? Aduh...”
KLIK!!
Agnes menutup telpon dengan jengkel!
Saat  perasaan jengkel merasuki dirinya, adiknya pulang. Anak itu duduk di sebelahnya.
“Kok udah pulang, Fer?!”
“Tadi Fery nelpon si Didi. Dia bilang, dia lagi ada kerjaan rumah.  Nanti dia mau nelpon ke rumah.”
“Jadi...?”
“Fery nunggu telponnya...?”
Agnes geleng-geleng kepala. Ia sebal sekali melihat tampang adiknya. Belum reda kesebalannya, kak Rani datang, lalu duduk di sofa sebelah.
“Eh, tadi ada yang nelpon kakak, nggak?”
“Nggak ada!” Agnes menjawab dengan ketus.
“Emangnya ada yang mau nelpon kakak?” tanya Fery.
“Iya.  Janjinya sih sore ini temen kakak mau nelpon.”
“Ya udah kak, ditunggu aja.”
Agnes memandangi kakak dan adiknya bergantian. Kesebalannya menjadi-jadi. Tapi kedua saudaranya itu tampak cuek.
“Eh, eh, tadi ada yang telpon mama nggak?!” mamanya datang, dan langsung bertanya pada anak-anaknya.
“Tanya aja sama kak Agnes? Dia kan yang paling lama nungguin telpon...”
“Ada nggak Ness...?!”
“Tadi mama bilang malem.  Ini kan masih sore...?”
“Ya siapa tahu? Ini kan udah bukan jam kantor. Ya udah, mama tungguin aja deh!”
“Mama nunggu telpon juga?”
“Iya.  Emang kenapa?!”
Agnes tak bisa berbuat apa-apa. Kini daftar orang-orang yang menyebalkan bertambah. Ia jadi semakin bertambah resah.
Terdengar suara sedan memasuki garasi. Tak lama kemudian, suara seseorang pecah memenuhi ruang keluarga. “Papa pulang!!”
“Eh, papa??  Kok nggak biasanya, sore begini udah pulang?!”
“Emang kenapa Fer?!  Nggak boleh papa pulang sore-sore?!  Lho, kok pada diem-dieman begini?!  Ada apa?!”
“Kita semua lagi pada nungguin telpon, pa!”
“Nunggu telpon...?!”
“Iya, pa.”
“Penting nggak?!”
“Ya penting! Kalo nggak penting, kenapa ditungguin...?” kali ini Agnes buka suara.
“Wah, kalo begitu papa mesti segera menghubungi Om Pram, supaya dia nggak usah menghubungi telpon rumah.” 
“Ya udah, pa. Pake Hp papa aja. Om Pram kan kalo nelpon sama papa lama banget!”
“Baiknya sih begitu. Biar nggak mengganggu kalian...”
“Ya sudah pap, yuk ganti baju dulu...” ujar mama, menarik lengan papa. Namun sebelum mereka beranjak jauh, telpon berbunyi.
Kriiing. Kriiing. Kriiing.
Semua orang di ruang keluarga itu saling bertatapan. Mereka menebak-nebak, siapa yang menelpon. Papa dan Mama menghentikan langkah mereka.
Kriiing. Kriiing. Kriiing. Telpon terus berdering.
“Kok, nggak pada mau ngangkat?!” protes mama.
Agnes segera mengangkat telpon itu. Ia berharap si cowok keren itu yang menelpon. Fery menempel di sebelah Agnes, berharap Didi yang menelpon. Begitu pula Rani, kakaknya, yang tak kalah antusias menunggu telpon temannya. Papa dan mama pun menunggu, siapa tahu orang yang menelpon itu mencari mereka?  Semua orang ingin tahu, siapa yang menelpon?
“Halo, selamat sore...”
“Halo! Ini pasti Agnes, ya? Papa udah pulang...?” suara ditelpon membuat Agnes lemas.
“Dari siapa??!” semua orang di ruang tengah bertanya.
“Dari... OM PRAM!!” sungut Agnes, membuat Feri, Kak Rani dan ibunya ikutan lemas.***
*)Pamulang, 07/2004
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...