Cerpen: Zaenal Radar T.
Sumber:
*) Majalah ANEKA Yess! No. 05, 7-20 Maret 2005
*) Buku kumcer Cinderella Jakarta (Penerbit Cinta, 2006)
sumber foto :amayachisa.tumblr.com |
Sejak siang hingga menjelang sore, gadis itu
duduk di beranda belakang rumahnya yang menjorok ke pantai. Aku ingin tahu
kenapa di waktu yang sama ia selalu berada di sana, seperti tengah menanti
seseorang, seseorang yang sudah sekian lama tak datang-datang. Dan bila hari
berubah gelap, ia kembali masuk ke dalam rumah, dengan raut wajah kelam.
Setelah kutanyakan pada salah seorang
tetanggaku, barulah kuketahui. Ternyata gadis itu gagal melihat pelangi! Oh,
rupanya gadis itu menunggu pelangi. Kenapa gadis itu selalu menunggu datangnya
pelangi...?
Maka pada suatu sore yang mendung, saat awan
hitam berarak bergerak menutupi sebagian langit, aku bermaksud mendatanginya
untuk sekadar berkenalan. Aku sudah lama menanti-nantikan saat yang tepat untuk
lebih mengenalnya, ketimbang harus tanya sana-sini seperti yang selama ini
kulakukan.
Namun sebelum niatku terlaksana, gerimis
terlanjur pecah. Titik-titik air tumpah dari langit, meski pada saat yang
bersamaan matahari dari arah barat menyibak awan. Pada saat yang bersamaan
pula, lamat-lamat kudapati segores cahaya menghias ujung langit. Cahayanya
indah berwarna merah, kuning, dan hijau. Itulah warna pelangi.
Dari kejauhan, kulihat gadis itu tersenyum di
beranda belakang rumahnya, menikmati apa yang ditatapnya. Begitu cantiknya ia,
manakala senyumnya mengembang. Sepertinya, kerinduan yang selama ini terpendam,
terobati sudah. Oh, dunia ini seolah miliknya!
Aku yang bermaksud mendekatinya untuk
berkenalan, terpaksa menahan diri. Aku tak mau mengganggu keasyikan gadis itu
menikmati pelangi.
***
Di
siang yang lain, saat cuaca cerah, kucoba untuk kembali mendekatinya. Aku ingin
menemui gadis itu di beranda rumahnya. Sebagai
tetangga barunya, bukan alasan yang dibuat-buat bila seandainya aku
memperkenalkan diri. Siapa tahu dia bersedia menjadi sahabatku. Sebab semenjak
berada di daerah di mana aku tinggal ini, aku belum memiliki seorang teman yang
seumuran denganku.
Tetapi
sebelum aku berhadap-hadapan dengannya, seorang cowok lebih dulu datang ke
beranda rumahnya itu, dan terlibat pembicaraan serius dengan sang gadis. Cowok
itu cukup tampan. Tubuhnya proporsianal bak seorang olahragawan. Ia datang
membawa setangkai bunga melati. Aku hanya bisa mengintipnya dari balik bilik
beranda samping rumahku.
Aku
melihat cowok itu memperlihatkan keakraban, mengajak si gadis bicara. Si cowok
nampak begitu antusias. Namun gadis itu tak menunjukkan rasa senangnya. Kukira
gadis itu tidak terlalu suka dengan si cowok. Hal itu ia tunjukkan dengan
wajahnya yang selalu memberengut, sepanjang bersama-sama si cowok.
Beberapa
saat kemudian si cowok pergi meninggalkan si gadis. Dan si gadis tampak senang
melepas kepergian cowok keren itu. Aku tidak tahu kenapa gadis itu terlihat tak
suka pada kedatangan cowok itu. Aku jadi khawatir mendapat perlakuan yang sama
bila hendak berkenalan dengannya. Aku takut gadis itu merasa terganggu akan
kehadiranku nanti.
Siang
itu juga kembali kutanyakan tentang gadis itu pada orang yang sudah lama
tinggal di sekitar kediamanku. Aku terpaksa tak menanyai langsung gadis itu,
karena alasan tadi. Dengan orang yang kutanyai ini, kebetulan aku sudah sangat
akrab. Dia Pak Koko Nata, seorang nelayan tua bermata sipit yang ramah, yang
namanya seperti orang Jepang. Pak Koko Nata berasal dari Palembang.
“Kamu
beruntung bisa melihat gadis itu. Cantik bukan?” puji Pak Koko Nata.
“Bukan
masalah cantik atau tidak, Pak. Saya hanya bingung pada apa yang ia lakukan
setiap siang menjelang sore.”
“Maksud
kamu?”
“Kenapa
dia selalu berada di beranda belakang rumahnya?”
“Kan
sudah bapak bilang, kalau dia sedang menunggu pelangi!”
Aku
menghela nafas. Aku masih tak habis mengerti tentang gadis itu.
“Ya!
Gadis itu menyukai pelangi!” ulang Pak Koko Nata.
“Jadi,
setiap sore dia akan berada di beranda belakang rumahnya, hanya untuk melihat
pelangi...!?”
“Sepertinya
begitu! Lagipula, dia tidak setiap hari tinggal di rumahnya. Hanya waktu
liburan saja, seperti saat ini.”
“Lho!? Jadi
sebenarnya dia tidak menetap di rumah itu?”
“Gadis
itu tinggal dan sekolah di Jakarta.”
“Bapak
tahu siapa namanya...?”
“Eee...
Saya tahu, nama gadis itu Elliza. Coba kamu tanyakan sendiri...”
***
Kalau
benar gadis bernama Elliza itu tinggal di daerah ini hanya pada waktu liburan,
berarti waktu yang kumiliki untuk bisa mendekatinya hanya tersisa sehari saja. Besok bisa
dipastikan Elliza akan bersiap-siap kembali ke Jakarta. Karena waktu liburan
sudah habis.
Aku pun
sudah bersiap-siap berangkat ke Jakarta, untuk mencari sekolah baru. Ayahku
memang menginginkan aku berskolah di Jakarta, meski beliau ditugaskan di daerah
di mana aku kini berada. Di Jakarta, aku bisa menumpang di rumah pamanku. Setelah
tinggal dan sekolah di sana, mungkin aku baru pulang ke rumah ini hanya pada
waktu liburan atau diakhir pekan.
Sebelum
terlambat, baiknya kudatangi gadis itu, yang siang ini tengah asyik duduk di
beranda belakang rumahnya. Aku berharap, mudah-mudahan dia mau menerima
kedatanganku.
Tetapi
sebelum kulangkahkan kaki, seorang cowok yang kemarin membawa bunga datang
lagi. Cowok keren itu datang membawa bunga yang lain, yang warnanya berbeda.
Dan si gadis seperti biasa, mengacuhkan kedatangannya. Hingga akhirnya si cowok
pergi meninggalkannya.
Bersamaan
dengan kepergian si cowok, aku berjalan melintasi beranda rumahnya. Cuaca saat
itu mendung. Aku sengaja tidak mampir ke berandanya, melainkan berjalan ke arah
pantai. Kurasa aku tengah melakukan trik 1001 cara menaklukan gadis, yang
pernah kubaca di sebuah buku. Aku mencuri perhatian gadis itu, menyukai apa
yang disukai si gadis. Yup!
Aku
terus berjalan hingga ke bibir pantai. Aku sengaja tak menoleh ke belakang,
pura-pura tak peduli pada keberadaan gadis itu. Aku berharap, amat sangat
berharap, gadis itu melihatku.
Aku
duduk pada sebuah batu karang yang mulai tersentuh oleh deburan ombak. Laut
hampir pasang. Kulihat guntur membelah langit, memercik seperti las listrik.
Gerimis perlahan tumpah membasahi tanah. Aku segera berlari ke arah pohon
kelapa yang daunnya tidak terlalu tinggi, berteduh di sana.
Ketika
tubuhku sudah merasa aman di bawah pohon kelapa, tiba-tiba gerimis berhenti.
Matahari perlahan menyembul dari balik awan hitam. Aku kembali ke batu karang
semula. Dan sialnya, pada saat pantatku menyentuh batu karang itu, gerimis
kembali tumpah ruah. Gerimis datang meski sang surya bercahaya terang. Dan
secara bersamaan terlihatlah pelangi.
Aku
kembali berlari untuk berteduh. Tapi aku ragu melangkahkan kakiku ke pohon
kelapa itu, karena seseorang telah berada di sana, duduk menengadahkan wajahnya
ke pojok langit. Dia, gadis itu, tengah menatap pelangi!
Kupikir ini kesempatan. Aku tak akan merasa malu untuk
berteduh di bawah pohon kelapa itu. Aku sudah lebih dulu berada di sana,
sebelum ia datang. Menyesal aku telah meninggalkan pohon kelapa itu ketika
gerimis berhenti. Harusnya aku ada di sana sebelum dia tiba. Kukuatkan hati
untuk berteduh di dekatnya!
“Boleh
numpang berteduh...?” kataku pada gadis itu, dan langsung disambut dengan
senyuman.
“Silahkan...”
Aku
berdiri di sebelahnya. Melirik sekilas, mendapati keceriaan wajahnya yang
antusias menatap pelangi. Aku ingin berbasa-basi, tapi takut nantinya akan
menganggu. Apakah aku harus selamanya berdiam-diam seperti ini? Tuhan menciptakan mulut untuk bicara, bukan
untuk makan saja. Kenapa aku jadi seperti kura-kura?
“Indah sekali
pelangi itu...?” akhirnya keluar juga kata-kata dari mulutku.
“Ya,
ya.... indah ya...”
“Kamu
suka pelangi?”
“Suka
sekali...! Kamu?” gadis itu menatapku. Bulu matanya yang lentik seolah
menarik-narik bola mataku. Duh, begitu teduhnya tatapan itu.
Aku tak
kuasa berkata-kata, takjub pada tatapannya. Aku hanya mengangguk pelan, lalu
kembali memandang pelangi. Ketika pandanganku tegak lurus menikmati pelangi,
gadis itu menatap wajahku lama sekali. Aku tahu karena aku tak benar-benar
menatap pelangi.
“Kenapa
kamu suka pelangi?” tanyaku kemudian.
“Karena
pelangi tak pernah bohong...”
“Cuma
itu...?”
“Karena
pelangi selalu setia...”
“O ya?”
“Dan
pelangi selalu bisa menyejukan suasana hati... Kalau kamu, kenapa suka
pelangi?” gadis itu balik bertanya.
“Aku...?”
“Ya,
kamu? Kenapa kamu suka pelangi??”
“Karena...,”
aku sungguh bingung dibuatnya. Kenapa aku suka pelangi, ya? Uh, aku tak pernah
berpikir tentang pelangi sebelum ini. Aku jarang sekali melihat pelangi. Selama
di Jakarta, aku tak pernah menyaksikan pelangi. Lagipula, untuk apa?
“Kok
diem...?”
“Kenapa
aku suka pelangi... karena...”
Pikiranku
kembali buntu. Namun terbersit masa kanak-kanak, saat kudengar lagu pelangi
mengalun, “Pelangi-pelangi... alangkah indahmu... merah kuning hijau, di
langit yang biru...”, setelah itu kembali buntu!
“Boleh aku jujur sama kamu, kenapa aku suka pelangi?”
kataku kemudian, membuat raut wajahnya berubah. Mungkin tumbuh rasa ingin tahu
yang berkecamuk di benaknya.
“Ya,
ya, kamu memang harus jujur...”
“Aku
suka pelangi... karena... keindahannya...”
Begitulah
yang kukatakan padanya, hingga senyumnya tiba-tiba merekah.
“Aku
baru menemukan cowok romantis kayak kamu...” ucapnya sambil tersipu.
“Maksud
kamu?”
“Aku
nggak pernah menemukan cowok suka pelangi seperti kamu...”
“Begitu,
ya?!”
Gadis
itu tersenyum.
“O ya,
boleh aku tahu nama kamu...?”
Lalu
aku menyebutkan namaku. Dan bilang padanya, “Kamu pasti Elliza...?”
“Kok...
kamu tahu nama aku...?”
Aku
tersenyum. Elliza geleng-geleng kepala.
Sejak
saat itu, tidak bisa tidak, aku menyukai pelangi. Dan saat tinggal di Jakarta,
aku selalu mencari pelangi. Bila rindu dengan Elliza dan Elliza ternyata sedang
sibuk, pelangi lah yang kucari. Seringkali aku menunggu pelangi, namun tak
pernah menemukannya. Aku jadi bingung, mengapa di Jakarta sulit sekali
menemukan pelangi...? Apakah karena Jakarta selalu terang benderang oleh
lampu-lampu gedung-gedung bertingkat, sehingga membuat pelangi tak mau
menunjukkan dirinya.
Aku
jadi kangen pulang ke rumahku di bibir pantai itu, mengajak Elliza untuk
bersama-sama melihat pelangi di sana....***
0 comments:
Posting Komentar