Mamat Metro

Mamat Metro

Gadis Yang Mencintai Masjid



CerpenZaenal Radar T.

Sumber: Majalah MUSLIMAH, Edisi 41, Tahun IV, Syawal 1426 H, Desember 2005


sumber foto: wehearit.com
Elliza Milano, nama gadis itu, tak pernah sekalipun absen salat ke masjid yang terletak di kompleks tempatnya tinggal, kecuali ketika ia sedang ‘M’ atau berhalangan.  Sejak menjadi mualaf, gadis berambut blonde, berkulit putih dan bermata biru yang lancar berbahasa Indonesia dan berbagai bahasa dunia lainnya itu begitu mencintai masjid. Karena, yang ia rasakan selama ini,  berada di dalam masjid membuat segenap jiwa dan raganya tentram. Padahal ia tahu, menurut salah satu hadits yang pernah ia pelajari, muslimah tidak dianjurkan (diwajibkan) salat berjamaah ke masjid seperti halnya laki-laki. 

“Berdiam di dalam masjid bisa membuat hati saya tentram dan damai. It’s a miracle...” desahnya, pada Markonah, salah satu pembantunya yang berusia tidak lebih dari enam belas tahun.

“Pantas aja non El selalu salat di masjid,” timpal Markonah, sambil memperlihatkan senyum penuh kekaguman.

“Iya, Nah. But, unfortunately... I mean... maksudnya... sayang sekali masjid di sini sering sepi. Padahal, semakin ramai masjid semakin bagus...”

“Mungkin orang-orang di sekitar sini lebih memilih salat di rumahnya, Non...” ujar Markonah.

Perhaps...

“Apa, non? Pengap...?!”

“Perhaps, Mar! Bukan pengap...??  Mungkin... Kamu benar, mungkin orang-orang memilih salat di rumah masing-masing...”
***

Masjid di kompleks perumahan di mana Elliza dan kedua orangtuanya tinggal lumayan besar. Bangunannya berlantai dua. Bentuknya indah dan didominasi dinding keramik. Letaknya berbatasan antara kompleks perumahan dan perkampungan penduduk. Yang salat di masjid itu bercampur antara penduduk asli dengan penduduk pendatang yang tinggal di kompleks. Hanya saja, masjid cuma ramai pada hari Jum’at. Kalau hari Jum’at, jamaahnya penuh sekali. Namun bila pada hari biasa, yang salat tidak lebih dari satu baris. Apalagi salat subuh. Bisa dua atau tiga orang saja! Bahkan, tak jarang tidak ada sama sekali.

Seringkali Elliza, yang baru terdaftar di sebuah SMU tak jauh dari rumahnya, bingung pada orang-orang yang tinggal di sekitar masjid. Kenapa bila waktu salat tiba mereka tidak pergi ke masjid. Bagi mereka yang berada di tempat bekerja seperti Papa dan Mamanya mungkin bisa dimaklumi. Tapi, orang-orang seperti dirinya, yang tinggal di sekitar masjid pada saat masuk waktu salat tiba, kenapa mereka tidak datang ke masjid. Atau memilih salat di rumah? Hal itulah yang sering Elliza keluhkan pada Markonah.

“Nah, bukankah menurut ustadz yang mengajari saya, salat berjamaah di masjid itu sangat dianjurkan dalam agama?”

“Saya kira juga begitu, Non...”

“Kamu sendiri, kenapa kalau waktu salat tidak ikut menemani saya ke masjid...?”

Anu, non... eee...  kan bisa salat di rumah...”

“Mulai sekarang, kamu harus temani saya solat di masjid...”

“Baiklah, kalau itu maunya non El...”

Maka sejak hari itu Markonah diminta menemani Elliza salat ke masjid bila waktu salat tiba.

“Nah, sekarang sudah masuk waktu salat ashar. Yuk kita ke masjid...” ajak Elliza, pada Markonah yang sebenarnya sedang menyiapkan masakan untuk makan malam.

“Tapi Non, kan saya lagi masak...”

“Naah... paling juga cuma lima menit saja...!” Elliza tampak sedikit geram.  “That will not spending your time, girl...!” tambahnya, seperti menggerutu pada dirinya sendiri.

Okey, Non!” Markonah mengangguk setuju, meski tidak begitu mengerti akhir ucapan anak majikannya itu.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah tiba di depan masjid. Masjid masih tampak sepi, meskipun lamat-lamat terdengar gema adzan dari masjid-masjid lain. Sesekali Elliza melihat jam di pergelangan tangannya. Menoleh ke dalam masjid yang lengang.

“Seperti biasa, belum ada orang...” gumam Elliza.

“Kita ambil wudhu dulu ya...”

“Lho, kamu belum ambil wudhu, Markonah...?”

“Belum, Non...”

“Bukankah berwudhu di rumah itu lebih baik...?”

“Non kata siapa...?”

“Menurut salah satu buku yang pernah saya baca, menyebutkan bahwa langkah kita ke masjid mendapat hitungan pahala lebih besar bila kita sudah membasuh wudhu dari rumah...”

“Maaf, Non. Tahu sendiri, saya kan nggak pernah baca buku agama...”

“Kamu tidak pernah membaca buku agama, padahal kamu tidak tahu...?”

“Tidak sempat, Non...”

Lalu Elliza menunggu Markonah mengambil wudhu. Elliza memerhatikan bagaimana Markonah mengambil wudhu.

“Markonaaahhh... basahi sampai ke siku kamu, biar wudhunya bagus!” protes Elliza, melihat Markonah mengambil wudhu secara tergesa-gesa. Markonah pun tersenyum dan menurut pada kata-kata Elliza.

“Hey! Cukup sampai mata kaki saja!” ujar Elliza lagi, ketika Markonah sampai pada bagian akhir mengambil wudhu.

“Hehehe, iya Non...” Markonah senyam-senyum cengengesan.

“Kamu harus memperhatikan apa yang tertulis dalam tata cara mengambil wudhu!”

“Maaf Non, saya sudah tahu cara mengambil wudhu sejak kecil...”

“Tapi, apa yang kamu lakukan tadi belum benar...”

“Maaf, Non...”


 
sumber gbr: sunnahcare.com

Seusai Markonah berwudhu, mereka memasuki masjid yang lengang. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki setengah baya tergopoh-gopoh memasuki masjid. Ia menuju ke dekat mimbar masjid, mengambil sebuah mike yang ada di sana. Tak lama kemudian lelaki itu mengumandangkan adzan.

Setelah adzan selesai, lelaki setengah baya itu melakukan salat dua rakaat. Elliza yang sudah memakai mukena hendak melakukan hal yang sama.

“Salat apa, Non...?” Markonah bingung.

“Salat dua rakaat sebelum ashar...”

“Wah, saya tidak hafal usholi-nya, Non...?”

Usholi...?

“Niatnya, Non...”

“Markonah... kamu cukup niatkan dalam hati, bahwa kamu hendak salat dua rakaat! Ayo cepat...!”
Markonah tampak kebingungan. Ketika Elliza mengangkat kedua tangannya dan meletakannya di atas perut, Markonah mengikutinya. Markonah mendesiskan lafadz; “Bismillahirrahmaanirrahiim” Lalu mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir, “Allaaaahu Akbar...!!

Selesai salat sunnat, lelaki setengah baya itu menoleh ke kiri dan ke kanan, ke sekeliling masjid. Tidak menemukan siapa-siapa. Hanya dua perempuan bermukena di belakang. Lalu ia mengumandangkan iqamat. Setelah iqamat, lelaki itu kembali menoleh ke seisi masjid. Masih tidak ada siapa-siapa, kecuali dua perempuan memakai mukena di bagian sudut belakang. Ruangan masjid itu memang tidak ada pembatas antara jamaah laki-laki dan perempuan. Pembatas dipasang hanya ketika salat tarawih pada bulan ramadhan, salat Idul Fitri, atau salat Idul Adha.

Lelaki setengah baya itu pun menjadi imam. Makmumnya Elliza dan Markonah.

***

Di rumah, setelah Isya di masjid, Markonah menceritakan hal-hal yang ia alami bersama Elliza pada tuan dan nyonya yang baru saja pulang dari bepergian. Kedua majikannya yang baik hati itu tersenyum mendengarkannya.

“Sejak kami tinggal di London tiga bulan lalu, Elliza memang sudah mencintai masjid. Tetapi waktu kami di sana, Elliza punya banyak teman yang suka datang ke masjid. Meski moslem di sana minoritas, masjid tidak pernah sepi...”

Markonah mengangguk-angguk, pura-pura mengerti. Padahal Markonah tidak tahu apa itu London. Seingat Markonah, dari cerita Bang Markum, sopir pribadi di rumah Nyonya dan Tuannya, Elliza dan keluarganya suka berpindah-pindah tempat tinggal. Mamanya yang peranakan Italy bekerja sebagai diplomat. Sedangkan Papanya yang asli Ciputat, Banten,  seorang pebisnis. Keduanya orang yang luar biasa sibuk.  Elliza dan keluarganya pernah menetap di India, Cina, Australia, Malaysia, Mesir, Inggris, dan kini Indonesia.

Saat Markonah dan Papa serta Mama Elliza bercakap-cakap, Elliza menghampiri Markonah. Membuyarkan lamunannya.

“Markonah, jangan lupa, ya, besok pagi kamu temani saya salat subuh di masjid,” ujar Elliza.

Markonah garuk-garuk kepala.

Can you...? Bisa?” ulang Eliza.

“Bisa, non...”

Sory Elliza, Dad and Mom must go early tomorrow...” ujar Papa Elliza, dengan nada sesal.

We’ll morning  prayer on the way to terminal. Don’t worry, we’ll never forget to pray in the mosque everywhere! ” tambah Mamanya.

Oke Mom, Dad, it’s very good.

Mama mengusap-usap rambut Elliza, “Thanks, sweety... We really love you...!

You’re welcome Mom, Dad. I love you too.
***

Pagi telah masuk waktu salat subuh. Elliza dan Markonah sudah lebih dulu tiba di dalam masjid. Masjid seperti subuh biasa, sepi sekali.  Kalau biasanya lelaki setengah baya yang mengumandangkan adzan itu datang tergopoh-gopoh melakukan adzan, kali ini ia tak nampak. Bahkan ia tak akan adzan pada subuh kali ini. Elliza tahu dari Markonah, bahwa lelaki setengah baya itu kemarin mengaku hendak pulang kampung. Markonah dan lelaki setengah baya itu sudah saling kenal, karena sering bertemu di warung rokok tak jauh dari pintu pagar kompleks.

Lelaki itu sebenarnya bukan pengurus masjid. Pengurus masjid sebenarnya ada, tapi tidak aktif salat jamaah di masjid. Para pengurus hanya salat di masjid pada hari Jumat, mengurus pemasukan dan pengeluaran amal masjid. Dengan begitu, yang menjadi imam masjid bila pada hari biasa, suka berganti-ganti. Terkadang, beberapa jamaah yang kebetulan mampir salat di masjid itu, bila ada yang lewat lalu mampir salat, saling tunjuk untuk manjadi imam. Hal itu membuat Elliza geleng-geleng kepala melihatnya. Sepengetahuan Elliza, di mana-mana masjid memiliki imam masjid. Tidak seperti di masjid kompleks perumahan tempatnya tinggal kini. Mengapa orang tidak mau menjadi imam? Bukankah imam pahalanya lebih besar? Elliza membatin. Seandainya aku laki-laki...

“Kalau mas Roni nggak ada, siapa yang akan adzan...?” Markonah membuyarkan lamunan Elliza. Elliza mengangkat bahunya. Lalu keduanya menoleh ke kiri dan kanan, ke sekitar ruangan masjid. Tetap tidak ada yang datang.

“Gimana, Non? Apakah kita langsung salat berdua saja?”

“Itu bisa kita lakukan. Nanti saya bisa menjadi imam, kalau tidak ada lelaki yang datang. Tapi... kita tunggu sebentar lagi. Siapa tahu ada laki-laki akan datang untuk adzan dan menjadi imam kita...?”

Mereka menunggu. Waktu salat subuh telah masuk beberapa menit. Namun, setelah lima menit berlalu, belum juga ada yang datang. Elliza melirik jam besar yang terletak di dinding masjid. Lalu ia menghela nafas. Elliza dan Markonah saling bertatapan. 

“Apakah kamu pernah mendengar ada seorang perempuan mengumandangkan adzan...?” tanya Elliza pada Markonah. 

Markonah mengernyitkan dahinya. Bingung.  “Seumur-umur saya belum pernah mendengar suara adzan perempuan, Non. Sumpah, biar disamber gledek! Tapi, apa perempuan boleh mengumandangkan adzan...?” Markonah balik bertanya, sambil memperlihatkan gigi-giginya yang amburadul.

Elliza Milano menghela nafas berat, “Saya belum tahu. Bagaimana kalau saya coba...?”

Markonah terperanjat.

“Jangan, non! Masak sih perempuan adzan?! Saya belum pernah denger perempuan boleh adzan apa nggak...”

“Kalau begitu, tidak usah menunggu adzan di masjid ini. Lets go... Mari, kita salat...”

“Non jadi imam lagi?”

“Apa boleh buat, kalau di masjid ini tidak ada laki-laki...”

Okey!!!  ucap Markonah, penuh semangat, seperti perempuan bule di film-film barat yang ia lihat di televisi. Lalu keduanya salat subuh berjamaah. ***

 *) Pamulang, June 30th 2005
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...