Mamat Metro

Mamat Metro

Teman Lama

Cerita Pendek  Zaenal Radar T.

Sumber:

- Majalah NOOR, No. 06/ TH II/ Juni 2004/ Rabiul Akhir 1425

- Buku Kumpulan Cerpen, Air mata Laki-Laki [FBA Press, 2004]

 
Gbr: KonsultasiSyariah.com




           Dia datang saat aku baru saja selesai shalat ashar. Mengenakan sorban, berbaju koko lengkap dengan peci putih, berkain sarung, dan tingkahnya sungguh santun. Senyumnya begitu akrab, seperti seseorang yang sudah lama saling kenal. Dia menyalamiku, memelukku erat-erat sebelum akhirnya menepuk-nepuk pundakku. Tetapi demi Tuhan, aku benar-benar lupa dengan orang ini!
“Bagaimana khabarnya Pak Haji? Sudah lama kita tidak ketemu!”
“Ya, ya. Baik.”
Apakah kami memang sudah lama tidak bertemu? Apakah kami memang pernah bertemu?  Bertemu di mana?  Kurasa tak sopan bila aku harus berterus terang, menanyakan pada laki-laki dihadapanku ini, di mana kami pernah saling bertemu. Setidaknya, kutahan saja dulu pertanyaanku itu.
Baiklah. Biarkan saja dulu. Akan kuingat-ingat siapa lelaki ini. Tamu tak diundang yang datang sore-sore begini. Mungkin ia punya keperluan mendesak sehingga ingin bertemu denganku? Atau barangkali, sekadar mampir bersilaturahmi?
Tadi istriku bilang, sebelum aku bertemu dengan tamuku ini, lelaki bersorban dan teramat santun ini kenal denganku. Dia menyebut namaku berkali-kali.
“Ini rumah haji Sarkih, kan?” kata istriku, meniru ucapan lelaki ini.  Tentu saja istriku langsung mengiyakan. Karena nama Haji Sarkih cuma aku satu-satunya di daerahku ini.  Dan aku, meski tadi sempat mengintip kedatangan lelaki itu dari balik jendela kamar, sempat heran akan kedatangannya. Maka kutanyakan pada istriku tentang siapa tamu yang ingin bertemu denganku ini. Istriku pun mengaku tidak kenal, atau mungkin ia lupa. Bisa saja kan, pernah kenal lantas lupa. Maklum, namanya orang sudah tua.
“Sepertinya bisnis Pak Haji maju pesat, nih?” lelaki ini tersenyum setelah kupersilahkan duduk di beranda, dan kusambut dengan senyuman pula. Dia menanyakan bisnisku. Apakah aku seorang pebisnis?  Kurasa dia salah alamat. Sejak pensiun aku hanya menjual pohon-pohon untuk tanaman hias. Ah, bodoh sekali aku. Bukankah itu bisnis pula namanya?
“Ya, begitulah. Bisnis kecil-kecilan. Daripada tidak punya kegiatan apa-apa.”
“Jangan begitu pak Haji! Hal-hal yang besar itu kan dimulai dari yang kecil?”
Dia benar. Tapi, siapa ya laki-laki ini? Wah, aku benar-benar lupa. Haruskah kutanyakan padanya, siapa dia sebenarnya. Tapi bagaimana cara menanyakannya.  Haruskah kutanyakan aku dan dia pernah bertemu di mana?  Bekas kawan kecil, mantan teman kantor, atau...?  Ah, biar saja dulu.
Istriku membawa kue-kue dan minuman. Setelah istriku ke dalam, kutinggalkan lelaki itu. Aku permisi sebentar sambil mempersilahkan lelaki itu mencicipi hidangan yang disediakan. Kukejar istriku hingga ke dapur.
“Bu, bu. Sebentar, bu...!”
“Kenapa, pak...?”
“Kira-kira siapa sih, tamu kita ini?”
“Lho, dia kan mau ketemu bapak? Dia kenal bapak. Dia bilang, dia teman lama bapak! Masak, bapak tidak kenal sama teman sendiri?” 
Ngerti, bu. Tapi, apa kamu pernah melihatnya?”
“Kayaknya sih, belum?  Lha, bapak sendiri?”
“Justru itu, bu. Rasanya aku belum pernah mengenalnya?”
“Jangan-jangan bapak lupa?”
“Ya sudah, bapak temui lagi dia.”
Aku kembali ke ruang tamu. Dan dia kulihat asyik menikmati hidangan kue-kue bikinan istriku.
“Silahkan, dimakan kuenya! Jangan sungkan-sungkan!”
“Terima kasih, Pak Haji.”
“Minumannya diminum, dong! Itu syirup Markisa, oleh-oleh dari anak saya yang sekarang bertugas di Medan!”
“Oh, putra bapak itu sekarang bertugas di Medan?”
“Iya, setelah dua tahun di Bandung, dia dipindahkan ke Medan. Namanya orang kerja, ya menurut saja. Lagipula, dia baik-baik saja di sana. Bukankah orang baik-baik bisa hidup di mana saja?”
“Betul, Pak Haji! Anak bapak pasti kerasan tinggal di sana. Karena putra bapak kan lelaki yang baik. Sifat anak kan tak jauh dari perangai orangtuanya. Pribahasa bilang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya!”
Hmm, dia tahu anakku? Apa barangkali dia sahabat anakku yang sekarang bertugas di Medan? Tak mungkin. Bukankah kedatangannya untuk bertemu denganku?  Tapi, siapa ya lelaki ini? Dia seperti tahu benar siapa aku. Tetapi aku kok tak pernah bisa membayangkan di mana kami pernah bertemu?
Sudahlah. Kupancing saja dia dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin bisa menunjukkan jalan, bagaimana kami pernah saling kenal.
“Ya, itu benar. Saya bersyukur memiliki putra seperti dia. Setelah saya pensiun, dia langsung mendapat kerja. Menikah. Punya anak. Dan langsung pisah rumah!”
“Jadi putra bapak itu... si... siapa ya, ee...”
“Yusuf!”
“Oh, ya, si Yusuf itu sudah menikah rupanya?”
“Iya.  Dia menikah dengan perempuan sunda, yang ditemukannya sewaktu sekolah di Bandung.”
Hmm, dia mungkin memang pernah kenal dengan putraku.  Kalau saja Yusuf ada, mungkin ia bisa langsung tahu  siapa laki-laki ini?  Tetapi, mengapa ia agak tergagap ketika mendengar nama Yusuf?
“Saudara juga kenal dengan Yusuf, rupanya?”
“Ya, kenal dong! Sewaktu dia sekolah di Bandung kan, saya sempat bertemu dengannya!”
“Ooh...”
Gawat! Siapa sih laki-laki ini? Putraku kan sekolah di Surabaya!  Tadi aku lupa meralatnya. Dia memang menikah dengan perempuan sunda asal Bandung. Tetapi perkenalan mereka ketika sama-sama menjadi mahasiswa teknik di Surabaya! Ya Allah, mengapa kau pertemukan aku dengan lelaki begini?
“Jadi putra Pak Haji Sarkih yang sekolah di Bandung itu sekarang bekerja di Medan?”
“Y-y-ya, ya!”
Alhamdulillah.  Saya senang mendengarnya...”
            “Saudara... wah, maaf... ingatan saya sudah agak berkurang...”
“Oh, saya maklum pak Haji. Pasti pak Haji mau bertanya siapa saya...?”
“Maaf, rasanya kita memang saling kenal... tapi...?”
“Tidak apa-apa, Pak Haji. Mungkin Pak Haji lupa...”
Ya Tuhan. Saya memang tidak pernah tahu siapa laki-laki ini. Tetapi dia seperti hendak meyakinkan bahwa saya mengenalnya.
“Kalau tidak salah, dulu kita pernah satu kelompok waktu ibadah haji? Pak Haji masih ingat?”
“Satu kelompok waktu ibadah haji?”
“Iya... masak pak Haji lupa?”
“Itu tahun... berapa, ya?  Tahun sembilan tiga, ya?”
“Ya, tahun sembila tiga. Masak Pak Haji lupa?”
Gawat!  Benar-benar gawat! Ternyata aku memang tidak pernah mengenal laki-laki ini! Aku naik haji baru sekali! Tahun sembilan dua!
“Ooh, begitu ya?”
“Iya pak Haji, masak Pak haji Sarkih lupa sama saya?”
“Maaf, ya. Saya memang tidak mengenal saudara! Maaf, sekali lagi maaf! Sa-sa-saya rasa anda keliru! Saya bukan orang yang saudara cari...!”
“Sebentar, sebentar Pak Haji!  Saya minta maaf bila mengganggu Pak Haji. Kedatangan saya ke sini tidak bermaksud apa-apa.  Saya hanya ingin bersilaturahmi dengan Pak Haji. Kebetulan saat ini saya menjadi panitia pembangunan masjid di kampung saya. Saya bertugas sebagai petugas pencari dana. Ya, barangkali Pak Haji Sarkih punya sedikit harta lebih untuk diamalkan, kami menerimanya dengan lapang dada.  Berapa pun jumlahnya, asalkan ikhlas lillahi ta’ala!”
“Maaf. Mungkin waktunya kurang tepat. Saya sedang...”
“Tidak mengapa Pak Haji! Mungkin Pak Haji Sarkih bisa memberikan sedikit saja dulu. Ya, tujuh sak semen saja saya rasa sudah cukup, untuk melanjutkan pembangunan masjid di kampung saya yang tertunda. Karena tadi saya juga sudah mendapat sumbangan dari beberapa teman lainnya.”
Wah, kok ujung-ujungnya jadi seperti ini?  Kenapa sekarang jadi berbuntut minta amal. Kenapa tidak sejak tadi saja laki-laki ini minta amal, tidak harus mengaku-ngaku teman lama pada istriku!
“Begini saja. Sekarang kebetulan saya lagi kosong. Besok pagi mungkin saya punya rejeki.  Sebab besok pagi saya ada janji dengan Pak Haji Jamal. Dia akan membayar uang muka pembelian tanaman hiasnya besok pagi.  Jadi, saudara besok bisa kembali lagi ke sini.  Insya Allah saya akan memberikan amal sekadarnya.”
“Kalau bisa sih, sore ini saja. Seadanya saja, Pak Haji! Tadi saya sudah bilang, tujuh sak semen saja sudah cukup untuk tambahan melanjutkan pembangunan masjid itu.”
“Wah, bagaimana ya? Ini kan sudah sore. Saya tidak sempat minta pinjaman ke mana-mana. Anak saya yang sekarang menjadi kapolsek belum pulang. Biasanya sih jam segini dia sudah pulang. Besok saja, deh!”
“Baiklah, pak Haji!  Kalau begitu besok pagi saja! Saya mohon pamit. Maaf mengganggu pak Haji. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam!”
Lelaki yang mengaku sebagai teman lama itu segera angkat kaki dari rumahku. Senyumnya yang teramat sopan menghilang bersamaan dengan wangi parfum melati. Istriku mengambil gelas-gelas dan piring kue-kue.
“Pak, memangnya kita punya anak yang di kapolsek?”
“Tak baik menguping pembicaraan orang lain, bu!”
“Aku tidak bermaksud apa-apa, pak! Aku cuma curiga dengan orang itu!”
“Curiga? Kalau kamu curiga, kenapa dipertemukan denganku!”
“Ya, siapa tahu lelaki mencurigakan itu memang teman lama bapak?”
“Sudahlah bu, siapkan perlengkapan shalat. Aku mau shalat maghrib di masjid!”
***



Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku seperti biasa menyiram pohon-pohon tanaman hias di halaman rumah. Aku berharap lelaki itu datang kembali, mengambil uang amal yang ia minta kemarin sore. Meski tidak mengenalnya, aku bermaksud memberikan amal semampuku.
Ketika aku masih sibuk menyirami pohon-pohon, Pak Haji Jamal datang tergopoh-gopoh. Beliau  langsung mendatangiku.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam. Pak Haji Jamal, silahkan duduk di beranda saja!”
“Baik, baik.”
Aku dan Haji Jamal duduk di beranda. Kupanggil istriku, untuk membuat dua gelas kopi dan pisang goreng. Tetapi Haji Jamal menolak, karena ia sedang buru-buru.
“Gimana, Ji? Beres tuh, urusan?” tanyaku pada Haji Jamal.
Alhamdulillah. Tapi, gue minta maaf nih. Kemaren siang gue kebablasan! Ada orang minta amal masjid ke rumah. Dia kenal sama gue, Ji!  Dia banyak tahu tentang gue. Tapi gue sendiri lupa sama tuh orang. Duit yang seharusnya gue serahin buat uang muka pohon-pohon itu, separuhnya gue amalin ke tuh orang. Abis, gue kagak enak sama tuh orang. Jadi maaf nih, Ji, kalo duit yang gue janjiin berkurang?”
“Ha ha ha,” akhirnya aku ketawa.
“Kok, lu malah ketawa, Ji?!”
“Kalo tuh duit buat amal mah kagak apa-apa! Gue juga ridho! Apalagi yang minta amal itu orang yang udah lu kenal, Ji!”
“Sebenernya sih gue kagak kenal-kenal amat, Ji!  Ngakunya sih, pernah satu kelompok waktu di Mekkah dulu!”
“Ooh...”
Setelah itu Haji Jamal permisi pulang. Istriku datang membawa segelas kopi dan sepiring pisang goreng.
“Tamu kita kemarin sore juga kenal Pak Haji Jamal, Bu.”
“Pak Haji Jamal kenal dia?”
“Katanya sih, nggak!
“Tunggu saja, Pak. Siapa tahu orang itu sebentar lagi datang?”
Sejak pagi hingga siang kutunggu lelaki yang kemarin sore bertamu. Tetapi hingga sore hari, laki-laki itu tak kunjung datang. Aku tidak tahu, mungkin besok pagi ia datang, atau sore harinya?  Aku sudah menyiapakan amal dan segudang pertanyaan untuknya.***

                                                                                                                   *)Pamulang, Januari-April 2004
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...