Cerita Pendek Zaenal Radar T.
*) Sumber: Majalah sastra Horison No. 4/2003, Tahun XXXVI, April 2003,
dimuat
kembali dalam Buku kumpulan cerpen: Harga Kematian,
dengan
judul: Harga Kematian (Penerbit Mizan, 2003).
Gbr: Fitrah Islami Online |
Hari ini istrinya mati. Tepat pada hari ulangtahunnya yang ke 67. Ia tidak sedih atau merasa kehilangan. Ia pikir, sebentar lagi ia menyusulnya. Ia berjanji pada istrinya, berjumpa kembali di akhirat sana, meninggalkan semua anak-anaknya yang mungkin sudan bosan mengurusnya di sini.
Sekarang, yang pertama-tama ia lakukan adalah mengurus tanah pekuburannya. Dua orang penggali kubur telah siap dengan tugas mereka. Bila seorang lima puluh ribu rupiah, berarti 100 ribu rupiah ia siapkan untuk menggali lubang kubur istrinya itu! Beruntungnya ia tak perlu membayar uang sewa tanah kuburnya. Karena tanah kuburan istrinya itu tanah wakaf. Coba kalau dimakamkan di tanah pekuburan sebelah, yang iuran perbulannya dua puluh lima ribu rupiah?!
Setelah beres dengan penggali kubur, yang ia pikirkan adalah membayar amil yang mengurus memandikan si mayit. Tak lupa biaya lainnya macam kain kafan,minyak wangi dan kapas. Sudah menjadi kebiasaan di kampungnya, seorang amil memandikan si mayit, bukan oleh keluarganya sendiri. Maksudnya barangkali biar prosesnya berjalan tertib dan benar. Yang pasti, harus ada amplop berisi sekadarnya, untuk sang amil.
Selanjutnya, menyalatkan si mayit. Biasanya, di kampungnya, sehabis solat keluarga si mayit memberikan amplop berisi uang pada orang-orang yang menyalatkan si mayit. Katakanlah satu amplop 15 ribu rupiah, bila yang solat ada dua puluh orang, maka uang yang harus dikeluarkan adalah sebesar 300.000 rupiah. Bila orangnya lebih? Gampang, tinggal dikalikan saja. (Masalahnya ia cukup terpandang di kampungnya. Ia bekas asisten Bupati. Orang-orang dikampungnya menganggap bahwa ia orang berada. Bisa jadi yang menyalatkan mayit istrinya lebih banyak. Berbeda dengan mayit orang miskin. Mungkin orang-orang tahu, pasti amplopnya kecil!)
Tak ketinggalan pula biaya untuk makan dan minum perjamuan para takziah. Dari pagi ini, sejak istrinya mati, sampai nanti malam. Selama paling sedikit tujuh hari tujuh malam!
Yang nanti dihidangkan tidak hanya air putih atau teh. Tetapi kopi dan gula menjadi menu wajib. Kue-kue kering, kacang garing, atau apa yang disebut makanan ringan, tak boleh ketinggalan. Seperti apa yang biasa terjadi pada keluarga si mayit, yang harus disiapkan pada masa berkabung. Belum lagi hidangan makan bagi yang mengaji. Yakni untuk tahlilan serta mengirim doa bagi si mayit.
Khusus untuk yang mengaji, membaca al-Quran semalam suntuk, tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja. Paling sedikit empat atau lima orang. Biasanya dilakukan oleh seseorang yang disebut ustadz, atau seseorang yang bisa baca Quran. Mereka mengaji dari awal hingga khatam, dan dilanjutkan dari awal lagi, hingga semalam suntuk selama tujuh malam.
Katakanlah untuk satu malam ia bayar 40.000 per orang. Bila yang mengaji ada lima orang, berarti ia mesti mengeluarkan Rp. 200.000,- dalam semalam. Dikalikan tujuh malam, adalah satu juta empat ratus ribu rupiah!
Hmm, ia tidak harus aneh. Demikianlah yang seharusnya ia lakukan. Mau apa lagi. Kebiasaannya memang sudah seperti itu. Dua juta setengah yang ia miliki telah ia persiapkan untuk kematian istri tercintanya. Dan ia tak bakal mau merepotkan anak-anaknya. Adapun untuk peringatan ke 40 hari, ke 100 hari, atau mungkin ke-seribu, bila ia masih bernafas, akan ia adakan dengan uang dari santunan para takziah dan dari sisa simpanan pensiunya. Pokoknya, ia tak mau menyusahkan anak-anaknya!
Lalu bagaimana bila dirinya yang telah senja menyusul istrinya besok? Kalau ia mati besok, mungkin dua juta setengah cukup. Tapi kalau setahun dua tahun lagi? Karena siapa tahu tarif si penggali kubur naik? Siapa tahu amplop bagi yang menyolatkan si mayit juga naik? Dan siapa tahu pula bayaran bagi yang mengaji ‘disesuaikan’? Entahlah. Rasanya, kalau begini, ia ingin secepatnya mati!
* * *
Lima belas tahun yang lewat ia masih menjadi orang penting di daerahnya. Ia teringat dengan seorang anak muda yang ketika itu dianggap menentang agama oleh beberapa ustadz. Anak muda itu, ‘anak ingusan’ yang baru lulus dari sebuah perguruan tinggi Arab Saudi.
Anak muda tersebut melarang orang-orang kampung membacakan ayat suci al-Quran di depan mayit. Ia bilang bid’ah. Bid’ah itu, kata si pemuda, suatu perkara yang diada-adakan dalam urusan ibadah. Seseorang yang melakukan bid’ah, hukumannya neraka!
Anak muda itu mengatakan bahwa al-Quran bukan diperuntukkan bagi orang yang telah mati, melainkan sebagai pedoman bagi orang-orang yang masih hidup! Tak perlu membaca Quran untuk si mayit, selama tujuh malam. Apalagi ada bayarannya! Dan anak muda itu juga menentang tentang peringatan hari kematian yang ke 40 hari, ke 100 hari, atau ke 1000. Ia bilang, kasihan bagi orang yang ditinggalkan, bila tak mampu menanggung beban biayanya! Dan yang terpenting, dalil hukum yang ditetapkan dalam agama.
Orang yang sudah mati, masih kata si pemuda itu, segala perkara yang ada padanya terputus. Kecuali tiga perkara. Pertama doa anak soleh yang mendoakannya, doa dari anak-anaknya sendiri. Kedua, amal jariah ketika si mayit masih hidup. Dan ketiga ilmu yang bermanfaat, yang pernah si mayit ajarkan pada orang lain ketika si mayit masih hidup. Ini hadis rasul, ujar anak muda itu. Dan di dalam al-Quran, dalam beberapa ayat disebutkan, salah satunya berbunyi; “bahwasannya dosa seseorang itu dipikul dirinya sendiri. Apa-apa yang ia perbuat, itu yang ia dapat.”
Namun para ustadz di daerahnya berbeda pendapat. Orang yang mati mesti didoakan. Sesama muslim itu wajib saling mendoakan. Mengenai membaca Quran untuk si mayit selama tujuh malam yang dibayar itu, semua hanya oknum saja. Tidak seharusnya keluarga si mayit membayar pembaca al-Quran, termasuk amplop untuk yang menyolatkan si mayit.
Tetapi kenyataannya, memberikan amplop bagi orang-orang yang menyolatkan mayit, serta membayar para pembaca al-Quran, sulit dihilangkan! Hingga akhirnya orang-orang yang biasa membaca al-Quran tanpa mau dibayar tetap saja dititipi amplop bayaran!
Sebab sering terjadi: bila keluarga si mayit tidak membayar para pengaji itu, akhirnya menjadi bahan omongan orang-orang sekampung. Malu dan tersisih. Maka kebiasaan membayar para pembaca al-Quran untuk si mayit, terus berlanjut dari tahun ke tahun. Hingga para pengiring doa bagi si mayit seperti telah menjadi ladang bisnis saja.
Orang-orang kampungnya menganggap hal itu merupakan kewajaran belaka. Sudah sepantasnya orang yang membaca Quran di rumah keluarga si mayit mendapat imbalan. Bukankah di kampung sulit mencari orang yang pandai membaca al-Quran? Apalagi akhirnya tidak semua orang yang pandai baca Quran, macam anak muda itu, mau membacanya untuk si mayit!
* * *
Sekarang ia hidup sendirian. Istrinya mati meninggalkan beban hutang. Ia terpaksa berhutang untuk memenuhi biaya yang dihabiskan untuk keperluan mengurus mayit istrinya sejak dikubur sampai peringatan hari ke tujuh. Ternyata uang dua juta setengah tak cukup! Semua rincian biaya yang ada di kepalanya meleset jauh!
Penggali kubur bertambah jadi tiga orang. Yang menyolatkan mayit lebih dari 25 orang. Yang tahlilan dan mengaji untuk tujuh malam berturut-turut ada 10 orang. Ffuiihhh… dadanya sesak! Tapi tak mengapa. Semoga Tuhan masih melindunginya. Demikian harapannya.
Bukankah uang gampang dicari?
Uh, itu dulu! Saat ia masih aktif. Waktu obyekan banyak. Sekarang, ia tak punya penghasilan tetap. Kecuali uang pensiun yang hanya habis buat makan. Ternyata ia tidak bisa seperti kelapa: semakin tua semakin banyak santannya. Ia menjadi kelapa, tetapi kelapa busuk!
Lalu bagaimana dengan anak-anaknya? Maaf, ia tak sudi menerima uluran tangan anak-anaknya lagi! Ia tak mau terus menerus membebani hidup mereka. Ia merasa bahwa semua yang telah ia berikan pada anak-anaknya dulu adalah ikhlas lillahitaala. Tanpa pamrih. Ia tak ingin menjadi orangtua yang haus balas budi. Mereka sudah cukup direpotkan oleh biaya perawatan ibu mereka semasa hidupnya. Ia rasa, apa yang telah dilakukan anak-anaknya sudah lebih dari cukup. Dan sekarang ia ingin menanggung semuanya sendirian. Ia toh masih bisa hidup dengan uang pensiunannya, dan sedikit-sedikit mencicil hutang almarhum istrinya.
“Sudahlah, nak. Jangan terus-terusan mikirin bapak. Urus saja anak dan istri kalian. Bapak masih bisa mengatasinya sendiri,” ujarnya, pada anak-anaknya, suatu malam saat anak-anak dan cucu-cicit menjenguknya.
“Tapi bukankah bapak sedang sakit? Bapak harus menjaga kesehatan. Lebih baik bapak tinggal dengan kami. Terserah bapak, mau tinggal sama siapa,” kata salah satu anaknya.
Namun ia tetap memilih tinggal sendirian, di rumah tuanya yang berhalaman cukup luas. Setiap harinya, tubuhnya yang renta dan sakit-sakitan berladang di halaman rumahnya yang lumayan luas. Tumbuhan apa saja yang bisa menghasilkan uang ditanamnya! Lumayan juga penghasilannya, bisa buat tambah-tambahan membayar hutang almarhum istri tercintanya, dengan tenaga dan keringatnya sendiri! Anak-anaknya tak boleh tahu. Karena sejak semula memang begitu keinginannya!
Dan sekarang ia harus mulai menabung. Ia harus menjaga kesehatan. Harus tetap kuat. Harus lebih banyak meluangkan waktunya untuk ladang di halaman depan rumah. Jumlah tabungannya itu akan ia satukan dengan selisih uang pensiun. Semuanya untuk persediaan nanti, sewaktu-waktu saat kematian menjemputnya. Ia tak mau menyusahkan anak-anaknya. Ia ingin mati, tapi dengan biaya sendiri!
* * *
Ia terpaksa harus istirahat total. Sakitnya benar-benar semakin parah. Berbagai penyakit memang telah menggerogoti tubuhnya. Dari jantung, darah tinggi, juga kencing manis. Ia sudah lama menghidap komplikasi.
Dan kini penyakitnya bertambah satu, penyakit tua. Sudah pantas orang seperti ia mengalaminya. Ia nyaris 70 tahun. Barangkali ia termasuk orang awet. Teman-teman seangkatannya sudah lebih dulu mati. Ia sendiri sekarang sudah mulai pikun. Ia kadang heran, banyak penyakit tapi belum mati-mati juga. Bersyukur ia kepada Tuhan masih diberikan sisa umur panjang.
Namun sejujurnya, sebenarnya sudah sejak lama ia menginginkan mati! Dan ia ingin mati dengan biaya sendiri! Sayangnya, jumlah tabungannya kalau ia tidak salah hitung, baru satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah. Jumlah yang tak pantas untuk biaya mengurus kematiannya, andaikata sekarang ia mati!***
*)Pamulang, 2002
BIOGRAFI
PENULIS:
Zaenal Radar T.
Kelahiran, Tangerang, 7 Desember. Menulis cerpen,
novel dan skenario televisi. Karya-karyanya yang dibukukan: Bunda, Aku Jatuh Cinta
(MU:3, 2005), Jerawatan (Mizan, 2005), The Last Lajanger (Lajang Terakhir), ditulis
bersama Dono Indarto (GagasMedia, 2005), Air mata Laki-laki (FBA, 2004), Ketemu Camer (Mizan, 2004),
Kantin Love Story (Lingkar Pena, 2004), Markum Yang Cerdik (Mizan, 2004),
Kampiun Balap Karung (Beranda, 2004), Forgive Me, Please... (Kesaint Blanc,
2004), In Her Smile (Kesaint Blanc, 2003), Harga Kematian (Mizan, 2003). Karyanya
juga terdapat dalam antologi bersama; Kumpulan cerpen pendek Graffiti Imaji (YMS,
2002), Cinta, Ya Cinta (Mizan, 2002), From Batavia With Love (Syaamil, 2003),
Putri Surat Cinta (Lingkar Pena, 2005), Sahabat Pelangi (Lingkar Pena, 2005),
Proses Kreatif Penulis Hebat (Mizan, 2003), Ketika Penulis Jatuh Cinta (Lingkar
Pena, 2005). Artikel serta cerpen-cerpennya, berupa cerita anak-anak,
remaja dan sastra termuat di sejumlah media, diantaranya; majalah Aku Anak
Saleh, Alia, Amanah, ANEKA Yess!, Annida, Bobo, Bona Kreatif, Cinta, Citra,
fajar Banten, FANTASI Teen, Femina, Fikri, GADIS, Gaul, Hai, Horison, KaWanku,
Kompas, Lampung Post, Mahardika, Matra, Media Indonesia, Mombi, MQ, Muslimah,
Noor, Nova, Pos Kota, Puteri, Radar Tangerang, Republika, Sabili, Safina,
Sakinah, Suara Pembaruan, Syir’ah, Ummi, Warta Kota, dll.. Pada 2002, meraih Juara Pertama Lomba Cipta
Cerpen Remaja Tingkat Nasional Forum Lingkar Pena. Kini, disamping menjalankan
ritualnya; bersepeda santai, menjadi kontributor sejumlah media, dan menulis
skenario sebuah PH di Jakarta.
Assalamualaikum.
BalasHapusSalam kenal.
Cerpen yang keren. Tapi bila saat ini (2019), sulit mencari Asisten Bupati seperti itu. Rumah mereka beberapa buah, kebun dan investasi cukup buat anak cucu....