Mamat Metro

Mamat Metro

Ma'um

Cerita Pendek:: Zaenal Radar T.


Sumber:
*) Majalah SABILI, No. 17, TH. XI, 12 Maret 2004/20 Muharam 1425 H 
*) Buku Kumpulan Cerita; Airmata Laki-laki(FBA Press, 2004)



Gbr: Blog Khusus Doa

               Nama sebenarnya Markum.  Tetapi karena Markum sendiri selalu menyebut dirinya Ma’um, semua orang jadi ikut-ikutan memanggilnya Ma’um.  Ma’um atau Markum berumur sekitar empat belas tahun.  Tetapi tubuhnya tinggi besar, melebihi  teman-teman seusianya.  Cuma masalahnya, Ma’um tak jelas kalau bicara.  Serperti ketika menyebut namanya sendiri; Markum jadi Ma’um!

Meski begitu, ibunya sangat menyayanginya.  Barangkali karena ia anak satu-satunya.  Dan menurut ibunya, Ma’um hampir tak tertolong ketika dilahirkan dulu.  Ia lahir prematur. Masa kecilnya pun sering sakit-sakitan.  Bila akhirnya ia mampu bertahan seperti sekarang ini, kata ibunya, itu semua atas kuasa Allah rabul alamin!

Walaupun Ma’um tak pernah jelas bila bicara, orang-orang di sekitarnya maklum adanya. Paham atas apa yang diucapkannya.  Kecuali barangkali, bagi orang yang benar-benar belum pernah bicara padanya. Sewaktu di bangku sekolah, Ma’um tetap bisa berkomunikasi seperti teman-teman sebayanya.  Namun sayangnya, hingga naik kelas enam SD, Ma’um tak lancar membaca.  Bila akhirnya Ma’um bisa naik kelas, kata Pak gurunya, karena pihak sekolah memberikan ‘kelonggaran’ atau dispensasi.  Sebab, Ma’um pernah tiga tahun tidak naik kelas!

Dan setelah lulus SD, Ma’um tidak sekolah lagi.  Ma’um membantu Ayah dan Ibunya berjualan di toko kelontongnya.  Di tokonya, Ma’um setiap hari melayani pembeli.  Ia adalah anak yang rajin sekali.  Meski bicaranya tidak jelas, orang-orang yang berlangganan belanja di tokonya tak terlihat mengalami masalah komunikasi.  Sebab bila  mereka tidak mengerti dengan ucapan Ma’um, mereka menggunakan bahasa isyarat.  Terang saja, karena memang tidak semua pembeli mengerti apa yang diucapkan Ma’um.  Seperti ketika Ma’um menanyakan  ‘mau beli apa?”, yang keluar dari mulutnya adalah; ‘u-li-pa?’.  Menyebut tidak ada, yang diucapkan, ‘da-da!’,  Assalamu’alaikum,” jadi; ‘Am-kum!’, dan seterusnya.  Sering apa yang ia katakan selalu akhir dari suku kata.  Sehingga orang yang baru pertama kali bercakap dengannya mengernyitkan dahi untuk menangkap maksud ucapannya.

Tetapi meski begitu, Ma’um tak pernah merasa rendah diri atas kekurangan dirinya.  Ia bercakap pada semua orang yang dikenalnya.  Meski ada satu dua orang  kadang meledeknya, tidak pernah membuat Ma’um tersinggung atau marah.

***

Rumah dan toko Ma’um bersebelahan dengan masjid.  Ketika ada pengajian di masjid, Ma’um ikut berbaur dengan para jamaah.  Baik yang muda maupun tua.  Bahkan, yang membuat kami bangga, Ma’um adalah anak yang tekun beribadah.  Menurut  imam masjid, beliau tak pernah melihat Ma’um absen bila waktu solat tiba.  Ma’um selalu berada di tengah-tengah jamaah.

Seringkali setiap selesai solat, ketika kami bercakap-cakap dengan sesama jamaah, ia ikut ambil bagian. Utamanya setelah solat maghrib atau isya saat saya telah pulang dari kantor.  Saya, dan juga orang-orang yang biasa solat berjamaah di masjid, terlibat pembicaraan dengannya.  Bila ada satu dua jamaah yang tidak mengerti pada ucapan Ma’um, jamaah lain yang menterjemahkannya.

Alhamdulillah.  Kami tak pernah mengalami kesulitan berarti atas diri Ma’um.

Tetapi belakangan ini, ada yang membuat kami merasa riskan pada Ma’um.  Entah perasaan tak enak atau bagaimana, namun di lain sisi, timbul semacam kebanggaan sekaligus keprihatinan!

Baru-baru ini, Ma’um selalu minta diri menjadi iqamat! Sudah satu minggu ini ia sering menjadi iqamat bila solat berjamaah berlangsung.  Semua orang tentu tahu, bicara saja ia tidak jelas.  Apalagi iqamat?  Ma’um tak pernah benar-benar jelas mengucapkan bacaan iqamat seperti; ‘Allahu Akbar’. ‘Asyhaduanlaailaahailallah’, dan seterusnya.

Tetapi, diantara kami, termasuk imam masjid, tak kuasa melarang Ma’um bila ia ingin iqamat.  Saya dan para jamaah masjid lainnya  merasa tak tega menghadapi Ma’um bila ia ingin iqamat.  Setiap kali melihat jamaah selesai solat sunat sebelum solat wajib, Ma’um tergesa-gesa ke arah mike, lantas mengalunlah iqamatnya, melalui pengarah suara speaker masjid!  

Lah-ba! Lah-ba! Dah-ha-laaah!  Dah-mad-laaah...’.  (Maksud Ma’um: ‘Allahu Akbar! Allahu Akbar!  Asyhaduanlaa Ilaahailallaaah!  Asyhaduanlaa Muhammadarasulallaaah…’)

Ketika Ma’um membaca iqamat, beberapa jamaah cuma menunduk.  Saya sendiri kadang memergoki, bahwa diantara jamaah ada yang mengulum senyum.  Saya cukup maklum pada orang-orang yang tersenyum bila Ma’um jadi iqamat.  Sebab ketika baru pertama kali mendengar Ma’um iqamat, saya pun tak tahan menahan senyum!

Namun terus terang, di dalam   hati saya, tak pernah terbersit maksud mentertawakan kekurangan dirinya.  Bahkan saya bangga sekali pada Ma’um.  Di tengah kekurangannya, Ma’um seperti merasa menjadi orang yang tak pernah kekurangan apa-apa! Ma’um jadi seperti kami, yang mampu membaca iqamat dengan benar.

Tetapi yang kemudian terjadi, di kemudian hari Ma’um ingin menjadi muadzin!   Ma’um menjadi muadzin?!

Begitulah kenyataannya. Orang-orang  rumah saya, yang malas ke masjid, seperti Papa, Kakak dan Adik-adik saya, bertanya menyindir pada saya, “Apa nggak ada orang lain?”

Terus terang saja.  Saya jawab dengan sejujurnya, bahwa saat ini masjid di tempat kami tidak ada yang menunggui.  Masjid kami tak punya marbot sejak Pak Domo meninggal dunia.. Yang mengurus masjid adalah anak-anak remaja masjid, tetapi seringkali, setiap waktu solat datang, tak seorang pun yang melantunkan adzan saat waktu shalat tiba!  Barangkali Ma’um merasa terpanggil hatinya untuk adzan?

Maka saya jawab pertanyaan orang-orang rumah; “Coba kalian fikir dengan hati bersih. Manusia seperti Ma’um saja, yang tak pernah jelas bicara seperti kita, mau-maunya adzan.  Kenapa banyak orang-orang di sekitar masjid yang diberi kesempurnaan bicara justru tak pernah tergerak hatinya?”

Ya Rabbi, beberapa saat lamanya, semua orang rumah diam seribu bahasa!

“Tetapi… apa kita tidak malu mendengarnya? Apalagi speaker masjid itu bisa didengar semua orang! Dan yang pasti, kata–katanya  tak pernah jelas! Tidak semua orang paham akan apa yang dilantunkannya!”  Kakak saya  yang tertua  memberi komentar pada saya.  Saya terima.  Sebab, saya sendiri termasuk anggota remaja masjid.

Sejujurnya saya akui, saya sendiri tidak selalu punya waktu untuk jadi muadzin.  Entah lalai, atau sedang uzur karena tengah berada di luar rumah.  Mungkin begitu pula teman-teman remaja masjid lainnya.  Sementara Ma’um sendiri, meski memiliki kekurangan, selalu berusaha menyempatkan diri untuk adzan!

“Dengar, Kak,” kata saya, “Orang-orang yang mendengarnya mungkin mentertawakannya.  Tetapi Kakak mesti ingat, Tuhan Maha Mengerti.  Barangkali diantara orang-orang yang mendengarnya ada yang tidak paham, sedangkan Tuhan Maha Paham!  Sekarang, bila Kakak, Adik-adik atau Papa merasa keberatan, cobalah kalian menyempatkan diri untuk adzan di masjid seperti Ma’um, setiap datang waktu solat!”

Demikianlah. Akhirnya semua orang di rumah benar-benar diam. Dan di waktu selanjutnya, setiap kali waktu solat datang, terutama subuh, lantunan suara adzan milik Ma’um menggema dari speaker masjid.  Saya tidak pernah tahu apa tanggapan masyarakat sekitar masjid lainnya, terutama yang malas datang solat berjamaah, tentang hal ini.  Yang jelas, semua orang rumah, yakni papa dan kakak-kakak serta adik saya,  tak pernah lagi saya dengar memberi komentar tentang kekuarangan Ma’um pada saya. Barangkali mereka malu karena mereka sendiri tak pernah saya lihat shalat di masjid.***

*)Pamulang Barat, Banten, Januari 2004

 

 

Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...