Mamat Metro

Mamat Metro

Jakarta Indah Sekali Di Malam Hari

Cerpen: Zaenal Radar T.

 Sumber: Majalah Sabili, No. 02 TH. X  8 AGUSTUS 2002/ JUMADIL AWAL 1423 H


 
foto: ANTARA-Wahyu Putro



            Sore ini untuk kedua kalinya, aku ke Jakarta.  Dulu, sewaktu liburan akhir tahun SD, aku ikut tamasya ke Jakarta ini.  Waktu itu, kami ke Monas dan melihat-lihat isi musium Gajah.  Tapi, ketika itu siang hari.  Aku tak menyaksikan kota Jakarta yang katanya indah sekali di malam hari.

Dan malam ini, tak akan kusia-siakan untuk melihat lampu-lampu jalan serta gemerlapnya kota metropolitan dengan gedung-gedungnya yang tinggi, yang orang-orang kampungku bilang, sungguh cantik dilihat secara langsung tidak seperti ketika melihatnya lewat layar tivi Pak Markum, juragan  beras di kampungku.
Barangkali, sejak malam ini, aku akan setiap malam bisa menyaksikan kota Jakarta di malam hari.  Sebab aku akan tinggal di ibukota dalam waktu entah berapalama.  Bila mendapat pekerjaan, mungkin aku akan menetap lama di Jakarta.  Bila tidak dapat, terpaksa kembali ke kampung.
Tetapi, aku berharap mendapat pekerjaan di kota Jakarta ini.  Harus.  Kata teman-temanku yang sudah lebih dulu ke Jakarta bilang bahwa di Jakarta pekerjaan melimpah.  Tidak seperti di kampung, yang bila panen gagal sulitnya minta ampun.  Di Jakarta katanya ada banyak pilihan.  Jdi kuli angkut,  jadi kondektur, tukang parkir, pengamen, menunggu toko, semir sepatu, cuci mobil, dan masih banyak lagi.  Pokoknya yang penting halal.  Dan yang penting tidak jadi pengemis.  Biar miskin aku tak mau jadi pengemis.  Sebab menurutku, mengemis perbuatan yang hina.  (Kecuali bila kita sudah benar-benar tua, sebatang kara, dan tak bisa menggantungkan hidup sendiri).
Setibanya di Jakarta, dari stasiun Gambir aku langsung ke Masjid Istiqlal.  Untung aku diberi peta kota Jakarta buatan temanku yang kerja di pasar Senen.  Aku naik bus kota yang penumpangnya padat dengan wajah-wajah penuh kelelahan.  Apakah wajahku pun terlihat lelah?  Kurasa tidak.  Meski seharian tadi berhimpit-himpitan di kereta, justru aku merasa segar bugar.  Sebab hatiku berbunga-bunga, penuh semangat, dan hasrat melihat kembali kota Jakarta, terutama di malam hari yang katanya indah sekali.
Di Masjid Istiqlal, aku shalat Ashar dan Maghrib. Alhamdulillah, aku bisa langsung menemukan Istiqlal.  Aku istirahat sejenak meski tidak capai.  Mungkin sampai Isya.  Sandal jepit kumasukkan ke dalam tas gendol, bercampur dengan nasi timbel bikinanemakku.  Habis, aku takut kehilangan sandal bila kutaruh di beranda masjid besar ini.
Temanku yang duah lama di Jakarta, si tukang semir sepatu di pasar senen itu bilang bahwa di masjid suka ada pencuri.  Maka,  sesuai pesannya, kumasukkan saja sandal jepit ini ke dalam tas gendol, biar aman.  Padahal, di masjid ada tempat penitipan barang.  Tak apalah.  Aku sayang mengeluarkan lima ratus perak.  Mending uang itu buat beli tahu goreng.  (Meskipun menitipkan barang tidak harus bayar, aku malu bila menitip tidak bayar).
Di dalam masjid, setelah shalat Maghrib, kubuka tas gendolku.  Mencari-cari bungkusan nasi timbel bikinan emak di antara tumpukkan baju-baju, sandal jepit, dan selembar ijazah SMP yang sudah agak lecek.  Aku makan lahap sekali di balik tiang penyangga masjid yang besar dan tinggi.  Mungkin sampai Isya nanti aku akan berada di masjid besar ini.  Setelah itu, aku belum tahu.  Apakah tidur di masjid ini atau mencari alamat temanku di pasar Senen.  Yang jelas, nanti selepas Isya akan kusaksikan sendiri bagaimana wajah kota Jakarta di malam hari.
Ternyata asyik juga berada di dalam masjid Istiqlal ini.  Karpetnya yang halus dan tebal, uadarnya yang sejuk, membuatku mengantuk.  Uh, seandainya di kampungku ada masjid sebagus ini, betapa bangganya aku.  Masjid di kampungku?  Oalah, jangankan masjid, mushola saja tak terurus!  Cobakalau orang-orang di kampungku mencontoh orang Jakarta ini, yang masjidnya besar dan sejuk.Megah dan indah.  Jamaahnya pun lumayan banyak.  Dan yang shalat di sebelahku tadi, seorang pria muda tampan dan berdasi.  Ya Allah, seandainya aku seperti seseorang yang shalat di sampingku?
Yang shalat di masjid ini memang bermacam-macam orang.  Dari yang keren sampai yang biasa-biasa saja.  Tapi aku lebih tertarik memperhatikan pria berdasi itu.  Begitu sejuknya hati ini, memandang wajah dan senyumnya tadi, ketika kedua bola mata kami bertumbukkan.  Seperti wajah penuh kemenangan.  Malu juga aku.  Seandainya aku yang  miskin dan cuma lulusan SMP ini, tidak setekun ia.  Seharusnya aku lebih mendekatkan diri kepada-Nya, memohon agar Allah SWT melimpahkan rezeki untukku.  (Shalatku tidak bolong-bolong seperti saat ini). 
Yeah, aku  harus banyak berdoa.  Aku ingin sekolah lagi.  Melanjutkan ke SMU.  Seandainya panen Pak Markum tak gagal, tentu ayah dan ibu yang kerja kuli harian di sawahnya bisa dapat pinjaman buat daftar sekolahku.
Sudahlah.  Aku kan anak laki-laki.  Anak lelaki mesti kuat.  Jangan cengeng.  Ayahku bilang, kejarlah dunia, tapi jangan lupakan akhirat.  Sokjuga ayahku itu.  Coba kalau dari dulu lelaki yang akhir-akhir ini alim itu bertobat.  Mungkin kejadiannya tidak seperti sekarang ini.
Dulu, kata ibu, ayahku penjudi kelas berat.  Beliau kalah berjudi hingga menjual semua tanah dan sawah.  Untung saja masih ada sisa tanah yang saat ini masih ditempati sebagai rumah.  Rumah di atas tanah itulah satu-satunya harta milik keluargaku.  Karena itulah, akhirnya ayah dan ibu mengerjakan sawah orang lain.  Sementara dua kakak lelakiku merantau ke Kalimantan, entah jadi apa, karena hingga kini tak ada kabar beritanya.
Aku sendiri memilih merantau ke Jakarta ini, mengikuti jejak anak-anak kampungku karena katanya kota Jakarta terlihat indah sekali di malam hari.  Dan tentu saja,  tujuan utamaku adalah mengadu nasib.  Siapa tahu aku jadi seperti seseorang berdasi di sebelahku tadi.  Karena itu, kubawa serta ijazah SMP-ku ini.  Siapa tahu ada perusahaan yang sudi menerimaku.  Hihihi, aku jadi geli sendiri.  Apakah adaorang kerja berdasi cuma lulusan SMP?
Aku menyadari.  Aku harus melanjutkan ke SMU.  Tapi mesti kerja dulu.  Jadi apa saja, yang penting dapat uang.  Dan yang penting halal.  Uangnya ditabung buat mendaftar sekolah.  Bukankah sekolah butuh biaya?  Apalagi sekolah begitu mahal.  Makanya, aku harus menyiapkan diri untuk esok hari.  Berjuang sebisa mungkin untuk mendapatkan pekerjaan.
Tetapi malam ini aku ingin menikmati dulu suasana kota Jakarta yang apakah benar-benar indah sekali atau tidak.  Akan kulihat dengan mata kepalaku sendiri, membuktikan keindahan kota Jakarta di malam hari, seperti yang selama ini teman-temanku di kampung ceritakan.
Masya Allah.  Sudah masuk waktu Isya.  Aku masih saja duduk bersantai-santai di karpet masjid yang empuk ini.  Di manakah orang-orang yang tadi shalat Maghrib bersamaku?  Di manakah lelaki berdasi itu sekarang?  Mungkin orang-orang itu  sudah tiba di rumah masing-masing.  Berkumpul bersama keluarga mereka setelah seharian bekerja.  Apakah mereka selalu menikmati pemandangan kota Jakarta yang katanya indah sekali di malam hari?  Dan setelah shalat Isya, aku akan keluar, melihat-lihat suasana kota Jakarta.  Perutku masih cukup kenyang setelah menghabiskan nasi timbel ba’da Maghrib tadi.   Kalau aku lapar, paling-paling aku pesan goreng-gorengan yang dijual di halaman masjid ini.  Atau kutahan saja sampai besok pagi.  Bukankah bocah sepertiku ini sudah biasa menahan lapar?  Uh, apalagi aku anak laki-laki!
Ada baiknya uang sisa tabunganku lima ribu rupiah ini kusimpan.  Besok kugunakan untuk mencari alamat temanku di pasar Senen.  Sekarang ini, aku kepingin melihat-lihat keluar dulu.  Tak perlulah naik bus kota seperti sore tadi.  Aku biasa berjalan kaki.  Tuh, Monas saja kelihatan dari halaman sebelah samping masjid!  Emasnya bersinar-sinar, tertimpa cahaya lampu, menantang untuk dimiliki.  Ngonong-ngomong, siapakah pemilik emas itu?  Pasti  dia kaya sekali!  Manusia terkaya di Jakarta ini!
Pak  guru SD-ku bilang, ketika kutanya Monas itu milik siapa, beliau menjawab bahwa Monas tidak ada yang punya.  Monas milik kita semua.  Khususnya milik penduduk Jakarta, dan umumnya milik orang Indonesia.  Aku kan anak Indonesia.  Berarti aku berhak memiliki emas di Monas itu, dong?  Tapi, sayangnya aku bukan penduduk Jakarta.
Tunggu saja.  Besko aku sudah menjadi penduduk Jakarta.  Bergelut dengan orang-orang kota, mencari uang demi cita-cita!
Aku harus berhasil.  Harus mendapatkan pekerjaan.  Mudah-mudahan besok temanku di pasar Senen bisa langsung memberiku pekerjaan.  Jadi apa pun aku mau.  Jadi tukang semir seperti dia, aku juga mau!  Apalagi jadi seperti seseorang berdasi itu!  Ih, mimpi kali ye…
Kalau aku berhasil mendapat pekerjaan, akan kutunjukkan pada ayah ibuku bahwa aku mampu menggapai cita-citaku dengan keringat sendiri.  Dan aku tak akan lupa membelikan mereka hadiah.
Tapi sebelum ini, lupakan saja hal itu.  Aku ingin jalan-jalan dulu sebentar, menyusuri kota Jakarta dengan berjalan kaki.  Tak sabar rasanya, ingin melihat wajah kota Jakarta di malam hari.  Uh, perutku kok tiba-tiba keroncongan.  Minta diisi lagi?  Padahal, sehabis Maghrib tadi aku baru makan nasi timbel buatan emak di beranda masjid.  Mampir sebentar dulu, ah.  Beli tahu atau pisang goreng.  Untung air di botol kecap yang disisipkan emak di tas gendolku masih sisa.  Benar juga kata emak, bepergian jauh musti bawa bekal.  Apalagi aku tak banyak uang.  Tapi urusan makan gorengan tak perlu kutunda.  Kalau Tuhan berkehendak, besok pun aku sudah mendapat rezeki-Nya.
Sambil menikmati pisang goreng, kutatap wajah Jakarta.  Gedung-gedungnya.  Hotel-hotelnya.  Kerlap-kerlip lampu kendaraan yang lalu lalang.  Emas di Monas yang sungguh menawan.  Dan  sekarang aku sudah berada di atas jembatan penyebrangan!  Hendak ke mana aku?  Uangku sisa tiga ribu perak!  Mau tidur di mana aku?  Apakah aku harus kembali ke Masjid?
Ya Tuhan,  aku pasti tak tahu jalan. kemana peta pemberian temanku itu?  Dan, di atas jembatan penyebrangan ini, apa yang tengah dilakukan dua bocah  dekil seusiaku itu? 
Barangkali, mereka sama sepertiku.  Tengah menikmati pemandangan kota Jakarta yang indah ini.  Hmm, Jakarta… Jakarta…***
Banten-Jakarta, 05/02

  


Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...