Cerita Pendek: Zaenal Radar T.
Sumber: Majalah Annida, No.05/XIII. 1-15 Desember 2003 / 7-21 Syawal 1424 H
|
gbr: Si Momot |
Bila
kalian pernah ke Mal Pondok Indah, salah satu mal terindah di selatan Jakarta,
cobalah sekali-sakali kalian perhatikan segerombolan bocah-bocah kumal di
halaman parkirnya. Terutama ketika hujan
datang, saat para pengunjung mal membutuhkan payung-payung, maka aku, salah
satu dari bocah-bocah kumal itu, ada di sana.
Namaku
Siti. Umur, entah berapa. Aku tak pernah
tahu kapan aku dilahirkan. Tanggal, bulan atau tahunnya. Aku pun tak pernah tahu siapa ibuku. Aku hanya tahu bahwa aku bernama Siti karena
semua orang memanggilku Siti. Kecuali bapakku, yang telah terbiasa kasar
memanggilku : sableng!
“Eh,
sableng! Dapet berapa lu?! Sini duitnya!
Anak kecil jangan pegang duit banyak-banyak!”
“Hey,
sableng! Beli rokok, gih! Pake duit lu dulu, yah!”
Demikianlah
bapak. Bapakku bertubuh kurus kerempeng,
pendek, berambut gondrong dan berwajah cekung.
Bapakku punya tato kecil di lengan kanan bergambar seorang perempuan
jelek berkacak pinggang. Setiap hari
kerjanya melamun dan minum-minum. Bila
aku bertanya mengapa dia begitu, bapak hanya menjawab:
“Eh,
sableng! Lu tahu apa?! Sono lu, mending nyemir
sepatu! Rokok bapak udah tinggal
sebatang!”
Akhirnya
aku jadi malas bertanya padanya. Setiap
kali kutanya mengapa bapak begini atau begitu, bapak selalu mengalihkan
pembicaraan. Namun begitu, aku tahu
siapa bapakku. Aku tahu dari orang-orang
di sekelilingku. Mereka sering
membicarakan bapak. Kata orang-orang bapakku hebat. Preman.
Tak seorang pun berani padanya.
Entahlah. Aku sendiri heran. Bapak yang kurus pendek ditakuti orang. Padahal, bagi orang-orang macam Pak Sakri,
atau bang Husni satpam mal, yang badannya tiga kali lebih gede dari badan
bapak, bapakku didorong sekali juga langsung roboh! Tapi mereka tak berani. Termasuk bang Agus tukang pisang molen. Mas Sarwanto dan bang Pepen, tukang parkir
liar. Bang Domo, Donga, Koneng, dan lainnya,
tak ada yang berani pada bapakku.
Makanya,
meski galak, cerewet, suka mabuk-mabuk, dan sering minta duit padaku, aku jadi
bangga juga memiliki bapak seperti dia.
Sebab, karena bapak, pekerjaanku selalu aman-aman saja. Tak ada yang berani mengusikku. Apalagi aku ini bocah perempuan. Yang dianggap lemah oleh anak-anak
lelaki. Bila ada yang macam-macam,
kusebut saja nama bapak. Orang tersebut langsung ngeper! Takut.
***
Menjelang
beduk maghrib, aku duduk-duduk di teras Masjid Raya. Kalian tahu tidak, Masjid Raya. Itu lho, yang warna gentingnya
biru? Nama lengkapnya Masjid Raya Pondok
Indah. Bila kalian berdiri di halaman
Mal Pondok Indah, akan tampak kubahnya.
Sekiranya kalian ke Jakarta, main-mainlah ke sana. Mampir solat.
Siapa tahu ketemu aku?
Aku
suka menyemir sepatu orang-orang yang solat di sana. Habis, akhir-akhir ini sudah jarang sekali hujan. Jadi terpaksa aku tak mengojek payung
lagi. Tapi tak apa. Menyemir sepatu penghasilannya lumayan. Apalagi pelanggannya baik-baik. Kebanyakan sih laki-laki. Selama ini baru sekali orang perempuan
kusemir sepatunya. Dan tak pernah ada
lagi selain perempuan baik itu, yang
memberiku dua puluh ribu rupiah sekali semir!
Sayang, waktu itu, uangnya diserobot bapak. Kata dia, buat tambahan beli ‘si topi
miring’. Si Topi Miring? Aku kurang paham. Yang jelas, setelah itu bapak pulang
muntah-muntah.
O’ya,
selama menjadi penyemir sepatu di halaman Masjid Raya, aku merasa senang
sekali. Sebab seperti yang kubilang
tadi, pelanggannya baik-baik. Ya,
pelanggan. Mereka kusebut pelanggan karena selalu menyemir sepatu padaku setiap
kali solat. Meski tidak pernah tahu nama
mereka, aku kenal wajah-wajahnya.
Wajah-wajah bersih dan bercahaya... Apakah karena wajah mereka selalu
dibasahi air wudhu?
Bang
Agus bilang begitu. Katanya, seseorang
yang selalu solat, wajahnya bersih dan bercahaya! Uh, coba bapakku solat, pasti wajahnya bersih
dan bercahaya. Kalau aku sih
sekali-sekali solat. Bang Agus yang
mengajarinya. Membelikan aku perlengkapan solat. Juga bagaimana bocah perempuan
memakai mukena. Tetapi aku pernah bertanya pada bapak, perihal mengapa bapak
tidak pernah kulihat solat seperti orang-orang di Masjid Raya.
“Pak,
kenapa sih, bapak gak pernah solat?”
“Buat
apa?!” bentak bapak.
“Biar
wajah bapak bersih dan bercahaya...”
Bapak
tidak menyahut lagi dan langsung pergi keluar rumah sambil membanting
pintu. Kapok aku ngomong sama bapakku!
Tetapi
biarlah. Toh akhir-akhir ini bapak sudah
kelihatan sedikit berubah. Sudah jarang
kelihatan mabuk-mabuk lagi. Kudengar
dari orang-orang, bapakku kerja menunggu rumah di sebuah rumah gedong Pondok
Indah. Jadi centeng.
Baru
tadi malam bapak bercerita. Tumben bapak
mau ngobrol sama aku. Apakah karena dia lagi banyak duit? Maklumlah, bapak memang suka aneh kalau lagi
pegang uang lebih. Selain mabuk-mabuk,
biasanya bapak suka mentraktirku makan di kaki lima Pasar Kebayoran. Herannya, dia tidak pernah bayar! Pedagang makanannya juga selalu menolak bila
bapak membayar! Aku sendiri bingung. Ada apanya sih bapakku ini?
Sering
juga aku dan bapak dikejar-kejar satpam mal.
Tetapi kami selalu lolos. Namun
suatu sore, tiga bulan lalu, kami digiring ke kantor polisi. Waktu itu kami pesan hamburger, makanan
keren yang sehari-harinya cuma bisa kulihat, dan selalu jadi pergunjingan
diantara teman-teman sebayaku, di restoran siap saji mal. Setelah pesan, bapak merogoh sesuatu dari
balik jaketnya. Sret sret sret! Pisau cukur diacungkan ke pelayan. Pelayan melongo. Wajahnya langsung pucat. Setelah itu aku dan ayah bebas menghambur ke
luar mal dengan santai sambil mengunyah hamburger. Hanya saja, pas di
depan pintu parikir, sepuluh satpam mal berdiri menghadang!
Seminggu
bapak dikurung terali besi. Aku sendiri
dibiarkan bebas. Terus terang, aku
merasa nyaman selama bapak di penjara.
Sebab tak ada yang menggangguku.
Yang minta dibelikan rokok. Atau
memijat-mijat kakinya yang jelek. Rasain
dia ditangkap. Punya uang kok
malak?
Alhamdulilah.
Sekarang bapak sudah berubah.
Seperti yang ia ceritakan semalam kepadaku. Kata bapak, sekarang ia bekerja sebagai
satpam di rumah seorang pengusaha. Bapak
tak menceritakan pengusaha apa majikannya itu.
Yang jelas, orangnya baik sekali.
Bapak dimasukkan oleh seorang koordinator satpam mal. Sehingga pengusaha
itu mau menerima bapak. Entah kenapa
orang seperti bapak bisa dipercaya begitu.
Barangkali seperti kata bang Ipen, bapak dipekerjakan di rumah itu biar
dia tak terus-terusan jadi pengacau!
Biar tidak bikin onar! Habis,
bila terjadi keributan di seputar mal
selalu ulah bapak!
Setelah
bapak bekerja jadi satpam gedongan, bapak jadi berubah 180 derajat! Ya, bang Ipen bilang 180 derajat. Artinya, berubah drastis! Tak pernah malak pedagang. Tak pernah kelihatan minum-minum. Dan tidak lagi berkelahi.
Kenapa bisa begitu?
Makanya, sewaktu bapak cerita itu, aku mendengarkannya dengan penuh
perhatian. Bapak bilang, majikannya yang
pengusaha itu luar biasa kaya! Mobil di
garasi rumahnya ada lima. Perusahaannya
berdiri di mana-mana. Bapak pernah
beberapa kali mengawal majikannya ke tempat-tempat usahanya.
Dan
yang membuat bapak takjub, majikannya ini rajin ibadahnya. Tak pernah meninggalkan solat bila waktu
solat tiba. Di mana pun! Di perjalanan. Di kantor.
Pokoknya dimanapun beliau berada, bila sudah masuk waktu solat,
majikannya pasti mengajaknya solat. Dan
bapak, meski malas, akhirnya menurut.
Tapi kata bapak, terus terang saja, bapak solatnya bila bersama
majikannya saja!
Terutama
bila di rumahnya yang gedong, yang luas dan keren itu, bapak ‘dipaksa’ untuk
ikut solat berjamaah bersama keluarganya.
Aih, aih, bapak jadi minder.
Bapak bilang, keluarga majikannya itu cakep-cakep. Majikannya memiliki dua putri yang
cantik-cantik dan seorang putra yang tampan.
Ketiganya masih kuliah di Jakarta.
Sementara itu, istri sang majikan masih kelihatan muda dan segar. Pembantu dan tukang kebunnya, meski tidak
secakep majikannya, wajah mereka bersih dan... bercahaya!
Hmm,
bapak masih ingat kata-kataku rupanya.
Bahwa orang yang solat wajahnya selalu bersih dan bercahaya. Ya, seperti orang-orang di rumah majikannya
itu, atau para jamaah Masjid Raya ini.
Aih,
kok aku jadi melamun begini? Tapi
biarlah. Sore ini katanya bapak
gajian. Meski tak dapat pelanggan semir
sepatu, setidaknya aku masih berharap
pada ‘kebaikan’ bapak. Bukankah sekarang
ini dia sudah berubah?
Tetapi, aku tak mau menggantungkan diri pada orang
lain! Termasuk pada bapakku
sekalipun! Aku harus dapat pelanggan
sore ini! Kalau ternyata belum juga ada
pelanggan yang datang padaku, mungkin karena sepatu mereka masih bersih-bersih. Atau barangkali, mereka menunggu adzan
berkumandang?
Daripada
bosan menunggu, lebih baik kulanjutkan saja cerita bapakku, ya...
Bapak
kaget bukan main waktu pertama kali majikannya mengajaknya solat. Pikir bapak, kok orang kaya macam majikannya
masih peduli sama yang namanya solat?
Apalagi beliau orang yang sibuk!
Dan yang membuat bapak tercengang, semua orang di rumah majikannya
solat! Sehingga bapak, yang waktu itu
sebagai ‘penghuni baru’, tidak bisa tidak harus ikut solat!
Akhirnya
bapak selalu menjadi bagian jamaah solat
keluarga majikannya itu. Apa susahnya,
cerita bapak. Tinggal ikuti saja gerakan
orang-orang di depannya. Imam mencium
sajadah, bapak ikut mencium sajadah.
Imam berdiri, bapak ikut berdiri!
Hahah, bapakku geli. Kata bapak,
waktu itu ia tak hapal bacaan solat!
“Tapi
sekarang bapak sudah bisa, Ti!” kata bapak disela-sela ceritanya.
“Mengapa
bapak tak pernah Siti liat solat di rumah?” selidikku waktu itu.
Bapak
tidak menjawab dan malah melanjutkan ceritanya.
Suatu
hari bapak ikut majikannya mengantar uang ke bank. Di tengah-tengah perjalanan pulang terjadi
kecelakaann: Seorang pengemis tua
diserempet sedan. Pelakunya kabur. Pengemis tua itu gawat sekali
keadaannya. Majikannya memerintahkan
sopir pribadinya menghentikan mobil.
Lalu mengajak bapak turun menolong pengemis tua yang terluka parah itu. Pengemis tua itu dilarikan ke rumah sakit
dengan mobil majikan bapak.
Bapak
heran pada majikannya. Kenapa mesti
repot-repot menolong orang yang tidak dikenal?
Karena perintah majikan, bapak menurut saja. Bersama majikannya, bapak memapah pengemis
tua yang terluka di dalam mobilnya. Namun dalam perjalanan ke rumah sakit,
pengemis tua itu menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan bapak dan
majikannya!
Bapak
bilang, waktu itu bapak takut sekali ketika melihat saat-saat terakhir pengemis
tua itu. Nafasnya tersengal-sengal. Putus-putus. Tubuhnya mengejang. Kedua matanya melotot seperti menahan sakit yang teramat sangat. Ngeri sekali bapak. Apalagi yang terjadi kemudian, lelaki tua itu
tergolek kaku tak berdaya!
Namun
majikannya tampak biasa-biasa saja.
Majikannya bilang pada bapak: “Kita semua akan seperti dia.”
Bapak
terkejut mendengarnya. Bapak
tersadar. Semua yang hidup bakal mati!
Aku
pun akhirnya tersadar karena tiba-tiba sepasang sepatu pelanggan sudah
tergeletak di depan mataku! Semua
lamunanku tentang cerita bapak lenyap sudah.
Rupanya
sudah terdengar adzan maghrib! Kuraih
sepatu pelanggan itu dan mulai menyemirnya, tanpa menoleh pada
langgananku. Hatiku bersorak sebab aku
dapat rezeki sore ini! Tetapi sebelum
tanganku bergerak, si pemilik sepatu mencegahku.
“Nanti
saja menyemirnya, sableng! Kita solat
dulu!”***
*) Pamulang - Pondok Indah, April 2002. 17.57
0 comments:
Posting Komentar