Cerpen: Zaenal Radar T.
Sumber: Majalah KaWanku No. 51/XXXIV, 13 – 19 Juni 2005
photo: pojoksatu.id |
"Ehm...!”
Aku berdehem. Aku berdehem untuk mencari
perhatiannya. Celaka dua belas. Dia masih tetep aja cuek. Aku berdehem aja dia
cuek, apalagi diem-dieman? Bisa makin diem aja...! Njegir kayak batu es!
Bener-bener cool banget tuh cowok!
“Ehm...!”
Sekali lagi aku berdehem. Bukan untuk
apa-apa. Cuma sekadar cari perhatian. Paling nggak dilirik-lah. Tapi, dia tetep
aja cuek dan sok serius dengan bacaannya. Aku jadi semakin sebal dengan
diriku. Apakah aku tidak menarik bagi
dirinya?
Sungguh, aku nggak tau gimana cara mencari
perhatiannya, menarik simpati agar dia mau bertegur sapa denganku. Paling
nggak, dia memberi sedikiiit aja konsentrasinya ke aku. Biar aku nggak merasa
dicuekkin. Disepelein. Kan nggak enak
dianggurin. Emang enak dianggurin, dicuekkin. Meski anggur itu enak,
di-anggur-in tuh jadi kayak sapi ompong! Beda banget dibanding di-apel-in! Hah,
diapelin!? Boro-boro diapelin, kasih perhatian dikit aja nggak!
“Ehm...!”
Bujuk buneng! Aku bener-bener jadi mati rasa! Padahal dehemku udah
digedein dikit volumenya. Dia masih tetep aja cuek bebek. Aku jadi sebel
sekaligus penasaran. Padahal di ruang
perpustakaan ini cuma ada aku dan dia. Aku duduk di tengah, sekitar tiga
langkah dari posisinya yang duduk di sudut.
Daripada capek hati, mending aku tinggalin
aja dia. Uh, tenggorokkanku jadi sakit. Lebih baiknya aku ke kantin aja, deh!
Pingin minum CocaCola. Siapa tau bisa bilang, “Hai! Hai! How are
you!”
***
Nggak kayak biasanya, kantin sepi sekali.
Aku cuman liat satu cowok yang duduk di bangku panjang sambil ngangkat sebelah
kakinya. Posisi ini mirip kayak orang sedang ngopi di warung pinggir jalan.
Tapi tuh cowok lagi nggak sedang ngopi. Dia duduk santai menikmati jus alpukat
yang udah tinggal setengahnya.
Aku nggak terlalu kenal dengan cowok ini.
Mungkin anak kelas satu. Terlalu sulit bagiku menghapal cowok-cowok yang ada di
sekolah ini. Selain karena aku belum terlalu lama berada di sekolah baruku ini,
mungkin juga karena aku cewek yang nggak punya rasa “PD” yang tinggi.
Barangkali Mama benar. Aku ini orangnya minder.
Oke, deh. Aku akan membuang jauh-jauh rasa
minderku ini. Kalo di perpustakaan tadi aku gagal mengakrabi cowok yang
menurutku lumayan keren, sekarang aku akan mencoba mencari perhatian cowok
keren lainnya yang lagi duduk santai di kursi kantin ini! Uh, begitu banyak
cowok keren di sekolah ini. Masak nggak ada satupun yang bisa nyangkut? Nyangkut? Hihi, kayak jemuran aja...
Rasanya nggak mungkin kalo langsung
kutanyakan namanya. Dengan maksud berkenalan. Hmm, nggak etis banget deh kalo
cewek nanya duluan. Ntar dikira sok
akrab. Sok kenal. Atau, bisa jadi aku dibilang cewek kegatelan! Heu, sori yah!
Aku harus berusaha membuat dia bertanya padaku lebih dulu! Gimana caranya?
“Ehm...!”
Aku berdehem, mudah-mudahan dia melirikku.
Kalau dia melirikku, aku akan langsung tersenyum padanya! Tapi... setelah aku
berdehem tadi, kok dia nggak menatap wajahku. Dia cuma menoleh ke samping kiri
dan kanan, lalu wajahnya melongok ke kolong meja, seolah mencari-cari sesuatu!
Brengsek! Woooi... Aku di sini!!!
Lebih baik aku pesan minum dulu pada bu
kantin. Menunggu si dia sadar kalau di kantin ada aku.
“Bu, cocacola satu!” lancar benar suaraku.
Sengaja kukeraskan, biar tuh cowok sadar ada cewek di kantin ini!
“Yang dingin apa nggak, non!”
“Yang di-di-dingin! Berapa?!”
“Seribu tujuh ratusss, non!”
“Eits, eits..!” aku mengeluarkan jurus-jurus
silat, mendengar bu kantin menyebut seribu tujuh ratus! Aku tau harga
sebenarnya seribu tiga ratus. Paling nggak, diluruskan jadi seribu lima ratus!
“Hehe, seribu lima ratus aja deh, non!”
“Ser-ser-seribu tujuh ratus juga nggak
pa-pa, bu. Sa-sa-saya cuman becanda...”
Aku melirik lagi. Berharap si cowok
memperhatikan keramahan aku pada bu kantin. Tetapi rasanya dia tetap pada
posisinya. Duduk dengan sebelah kakinya terangkat, dengan tatapan wajah lurus
ke luar kantin. Huah! Dia nggak peduli dengan keberadaanku!
Setelah membayar, aku duduk selang dua meja
dari si cowok sok cuek ini. Diam-diam aku terus meliriknya, mencoba memasuki
alam fikirannya. Apakah yang sedang dilamunkan cowok ini? Apakah ia tengah
merasa gundah karena habis diputusin? Atau mungkin tengah memikirkan bagaimana
mendekati seorang cewek pujaan hatinya? Entahlah. Aku tidak tau.
“Ehm...!”
Aku berdehem untuk yang kedua kalinya.
Kembali berharap agar si cowok melirikku. Tetapi yang terjadi justru
sebaliknya. Kulihat dia meremas-remas rambutnya. Menundukkan kepala, lalu
membenamkannya di atas meja. Aku tidak tau bagaimana caranya, agar dia kembali
duduk seperti semula. Kalau dengan posisi menunduk begitu, dia tak akan sempat
melirik ke arahku. Menemukan seorang cewek yang tengah duduk sendirian.
Mendapatkan seorang cewek yang ingin sekali disapa.
Setelah cukup lama mempehatikannya dan si
cowok tak jua mengangkat kepalanya, aku menyeruput minumanku. Srooottt...
Ahhh, maknyes rasanya! Cowok itu mengangkat kepalanya. Duduk dengan
posisi seperti semula. Namun tidak lagi mengangkat sebelah kakinya. Aku tidak
tau, apakah konsentrasinya terganggu karena mendengar suara srooott
tadi. Atau ia memang sengaja melakukan
itu atas keinginannya sendiri.
Kupikir, inilah kesempatan emas bagiku.
Barangkali cowok ini sudah mulai merasakan keberadaanku di dekatnya. Selangkah
lagi dia akan benar-benar dapat kutaklukkan. Aku berharap dia marah. Tak apalah
dia marah. Tak sedikit film-film bertema cinta yang kutonton, yang memulai
hubungan kasih dengan kemarahan. Seperti ungkapan “benci” yang bisa diartikan sebagai: “Benar-benar
cinta...”
“Ehm...!”
Tak sengaja dehemku keluar begitu saja.
Kulirik cowok itu menghela nafas panjang. Lalu pergi begitu saja meninggalkan
kantin! Meninggalkan seorang cewek yang tengah berusaha mati-matian menarik
perhatiannya!
Apakah aku harus tersinggung? Apakah aku harus marah? Marah pada siapa?
Apakah aku harus marah pada diriku sendiri?
Rasanya percuma aku marah-marah sendiri. Lebih baik kutinggalkan kantin
ini. Mungkin lebih baik kalau aku melihat anak-anak yang tengah menyaksikan
pertandingan bola basket antar kelas. Apakah aku harus nonton bola basket?! Aku
nggak suka basket! Aku ke kelas aja!
Setibanya di kelas, aku duduk di kursiku.
Aku duduk sendiri karena mungkin semua anak berada di lapangan basket! Beberapa
menit kemudian seorang siswa cowok masuk kelas dengan tubuh bersimbah keringat. Dia Markum, cowok jagoan basket di
kelasku. Bodinya kekar. Jangkung. Tampang oke. Bisa dibilang, cowok paling
guanteng di sekolah baruku ini!
Tiba-tiba aku mengkhayal, seandainya saja
Markum yang katanya cowok baik itu mau menjadi teman dekatku... Ah, kok
mengkhayal! Aku nggak mau jadi cewek pengkhayal! Aku harus sebisa mungkin
berusaha mendapatkan perhatianya. Tapi kok mulutku berat sekali, yah... Benar
kata Mama, mungkin aku harus mengambil kursus kepribadian pada Jhon Robert
Power!! Biar nggak minder begini. Menanyakan teman satu sekolah aja nggak berani.
“Ehm!!!”
Tiba-tiba aku mendengar suara dehem. Jelas
ini bukan suaraku! Aku mendengar dengan jelas bunyi “Ehm!!” dari mulut
seseorang yang berada di kelas ini. Tak ada seorangpun yang ada di ruangan ini
kecuali aku dan si ganteng Markum! Apakah aku tidak salah dengar? Apakah
telingaku sedang nggak normal?
Aku melirik Markum, tapi dia duduk cuek
sambil melap keringatnya. Eh, siapa sih yang tadi ber-dehem!? Jangan-jangan
emang cuman perasaanku aja?!
“Ehm!!”
Suara dehem lagi! Kali ini aku yakin, pasti
Markum yang dehem.
“Ehm...!”
Kubalas dehem itu.
“Ehm!!”
“Ehm...!”
Hihihi, aku dan Markum main dehem-deheman!
Kulihat wajahnya tersenyum ke arahku! Hmm, bener-bener manis! Sekarang aku
percaya deh sama omongan Sania, temen
sebangkuku, kalo Markum emang cowok paling manis di dunia!
“Ehm!! Emmm...! Ehm!!!”
Markum berdehem lagi.
“Ke-ke-ke... ke...na... ke-na-pa, Kum...?”
akhirnya keluar juga keberanianku.
“Eh, ini Lin, leher saya gatel banget!
Ehm!!”
Oo, aku kira dia berdehem untuk cari
perhatianku? Ternyata...
“Kamu kok gitu sih Lin, orang lagi menderita
sakit tenggorokon malah diledek?!”
“So-so-so...ri... a-a-aku... tadi...
ng...nnggg... nggak sengaja!”
“Hehe, gak papa, kok Lin. Saya nggak
marah! Ngomong-ngomong, kamu betah
sekolah di sini?!”
“Be-be-betah ju-ga, sih... Ta-ta-tapi...
a-a-aku belum bi-bisa ngi-ngilangin gu-gu-gugupku ini...”
“Nggak papa Lin! Nanti juga kamu nggak gugup
lagi, asal kamu mau berusaha menyembuhkan kegugupanmu ini. Sori ya, kalo selama
seminggu berada di sekolah ini temen-temen pada ngeledekin kamu...”
“Nngggg... ng... nggak pa-pa, Kum... A-a-aku
u-udah biasa, kok...”
“Oh’ya, ntar siang kamu ada acara nggak?!
Saya mau ke toko sport, mau nggak anter saya?!”
“HAH!? Nga-nga-nga-nganter... kamu???!”
“Iya, Lin! Mau kan?!”
“Mau..!”
“Ya udah, sampe ntar siang, yah. Sekarang
saya mau ke lapangan lagi. Kamu kok nggak nonton saya main basket, sih? Takut diledek temen-temen lagi, yah...?”
“nng... ngg...nggak kok, Kum...”
“Yuk sama saya! Nih, kamu bawa handuk saya.
Kalo sama saya, nggak bakalan ada anak yang berani ngeganggu kamu! Yuk...”
Akhirnya aku menuruti ajakan Markum ke
lapangan basket. Aku hampir shock berjalan bersisian dengan Markum. Benar kata
Sania, Markum bukan cuman ganteng. Tapi hatinya mulia! Rasanya dadaku
bergemuruh berjalan disampingnya. Apalagi saat satu-dua pasang mata cewek-cewek
memandang kaget ke arahku dan Markum! Barangkali mereka berfikir, aku yang
selama berada di sekolah ini diacuhkan anak-anak, kok bisa-bisanya berjalan
bersisian dengan cowok paling keren di sekolah ini! Apalagi pake acara
bawa-bawa handuknya segala!
Ehm! Aku jadi GR, deh!***
*)Pamulang, 4/2005
0 comments:
Posting Komentar