Cerita Pendek: Zaenal Radar T.
Sumber:
- Majalah MUSLIMAH, Edisi 35. Thn III,
Rabiul Akhir 1426 H, Juni 2005.
- Buku Kumpulan Cerita; “Bunda Aku Jaktuh Cinta” [Penerbit
MU:3 Books, 2005]
Akhirnya keinginanku kuliah di Jakarta terlaksana. Aku bangga pada Mak
dan Bapak di kampung, yang mau membiayaiku menuntut ilmu di Jakarta. Aku
berjanji akan menjalankan semua pesannya, mempergunakan kesempatan emas ini
sebaik-baiknya. Meski tidak sekolah di
perguruan tinggi negeri, aku sudah cukup bangga bisa belajar di sebuah institut
kesenian. Seperti yang selama ini kucita-citakan.
Aku kos pada seorang keluarga Betawi, yang katanya masih
punya hubungan darah dengan Bapak. Rumah kos-kosan itu tidak terlalu bagus,
tetapi sungguh nyaman ditempati. Rumah tipe sederhana itu dua lantai, dan aku
menempati lantai atas. Sehingga aku bisa melihat pemandangan di sekitar rumah
kos-kosan lainnya dari balkonnya.
Aku satu kamar dengan Boni, anak Tangerang yang juga
menuntut ilmu di Institut Kesenian yang sama. Hanya saja, Boni sudah lebih dari
tiga tahun tinggal di tempat kos-kosan itu, mengambil jurusan Fakultas Film dan
Televisi. Tahun ini ia mengambil cuti,
karena kehabisan biaya.
Tinggal di rumah kos-kosan itu, harus memenuhi beberapa
persyaratan yang dikeluarkan oleh Pak Haji Hasan, sang pemilik rumah yang biasa
dipanggil Babeh Haji. Dari banyak peraturan, yang paling keras adalah:
‘Anak-anak kos laki-laki tidak boleh masuk ke dalam kamar anak-anak kos
perempuan’, yang letaknya saling berhadap-hadapan dengan rumah kos laki-laki.
Sebaliknya, penghuni kamar perempuan tidak diperkenankan masuk ke dalam kamar
laki-laki. Kecuali ada hal-hal penting atau mendapat izin dari Babeh Haji.
“Babeh kagak mau tahu. Kalo sampe ada anak
lelaki masup ke rumah kos putri tanpa izin, babeh bakal
mengusirnya dari rumah ini!” begitu ucap Babeh Haji, dengan logat Betawi kental.
Kupikir ini peraturan yang tidak memberatkan. Bagiku, buat apa repot-repot
masuk ke kamar kos perempuan? Aku tak berminat sedikitpun!
***
Tapi, ternyata apa yang dikatakan babeh Haji sungguh
memberatkan! Itu baru kusadari belakangan ini, ketika suatu pagi kulihat sosok
seorang gadis berkerudung berkelebat di pintu kamar kos-kosan putri. Saat itu
aku berada di balkon kamar, yang letaknya menghadap ke rumah kos putri. Aku
tengah menikmati secangkir teh hangat, sehabis shalat subuh. Secara tak sengaja kutangkap wajah gadis
berkerudung itu, dan aduh Mak! Dia cantik sekali! Hasrat ingin mengenalnya tiba-tiba datang
membahana. Mendadak aku ingin sekali
main-main ke kamar kos-kosan putri!
Bukan untuk apa-apa, hanya ingin berkenalan atau sekadar mengobrol dengannya.
Mak dan Bapak di kampung toh tak mungkin tahu akan hal ini!
Ketika melihat wajah gadis itu,
kontan tanganku bergetar hingga secangkir teh dalam genggamanku jatuh ke
lantai. Prangg!!! Suara pecahan beling menyadarkan si gadis hingga wajahnya menatap ke
atas, ke arah suara. Aku gugup dan mengambil pecahan-pecahan gelas itu. Sambil
melirik ke arah si gadis berkerudung, yang tampak terkejut mendengar bunyi
gelas jatuh.
“Kenapa?”
Ehm, suaranya begitu renyah di telinga. Mengalahkan
gurihnya kerupuk udang yang dijual Mbak Mirah di warung nasi dekat kampus
baruku! Bujuk buneng,
tega-teganya ya, membandingkan suaranya dengan kerupuk?
“Nggak pa-pa, cuma gelas kok!”
“Oo...”
Akhirnya cuma itu yang kemudian diucapkan si gadis. Lalu ia tersenyum dan melanjutkan langkahnya.
Kuikuti ke mana arah kepergiannya, hingga tubuhnya tertelan sebuah tikungan.
Boni yang baru saja bangun tidur tersenyum saja melihat tingkahku. Aku jadi
malu.
“Naksir, ya?”
“Naksir apa?!”
“Namanya Eliza. Kalo mau kenalan, ntar malam aja.
Dia biasa pulang malam hari. Sorenya kuliah, malamnya kerja. Kayaknya cocok
buat lu. Elu kan rada-rada alim, sedang dia pake kerudung. Cocok
banget, kan?”
Ah, tiba-tiba suara Boni seperti
suara seorang pujangga yang membacakan sebuah puisi berlirik indah. Boni yang
kukenal brengsek dan urakan, tiba-tiba mampu menyejukan hatiku dipagi buta
seperti ini.
“Tumben lu udah bangun, Bon?”
“Gue mau berangkat syuting! Jadwalnya pagi banget! Daripada
diuber-uber Babeh Haji, mending gue bela-belain!”
“Nunggak mulu, sih!”
Boni yang always berdandan kumel dan gondrong magang
di sebuah rumah produksi, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bayar kos. Ia
bilang kedua orangtuanya sudah ngambek tak mau lagi mengirimkan uang.
Lagipula, sejak semula kedua orangtuanya tidak menyetujui ia kuliah di Institut
Kesenian. Babehnya mau ia jadi polisi.
“Hehehe...”
Boni, pemuda urakan yang cepat akrab itu ketawa ketika
kubilang nunggak. Pemuda ganteng tapi kumel itu memang tak pernah marah. Sejak
kenal dengannya seminggu ini, aku tak pernah melihat ia kesal atau terlihat
suntuk. Kukira Boni tipe lelaki periang. Ada saja yang ia ucapkan yang
membuatku terpingkal-pingkal hingga
perutku terasa mual. Tapi terkadang celetukannya suka membuatku sebal.
“Ya sudah Bon, kamu siap-siap. Tapi jangan lupa ya,
kapan-kapan kenalin gue sama tuh cewek!”
“Wah, sori aja deh!”
“Kok?”
“Gue juga sebenernya belum kenal dia!”
“Kok tau namanya?”
“Gue tau dari Babeh Haji! Kalo elu minat kenalan, suruh Babeh
Haji jadi comblang! Huahahaha!”
Kurang asem si Boni!
Ternyata dia sendiri belum mengenal gadis cantik itu. Menanyakan prihal gadis itu pada babeh Haji
sama saja bunuh diri! Bisa-bisa, beliau akan melaporkan hal ini pada kedua
orangtuaku di kampung, yang katanya masih punya ikatan saudara dengannya (meski
saudara jauh). Tujuanku ke Jakarta ini kan menuntut ilmu, bukan cari perempuan.
Kalau mencari perempuan, kenapa susah-susah di Jakarta. Di kampungku banyak!
(Cuma... yang mau sama aku nggak ada. Huahahaha... Ufs, jadi ketularan
Boni, dah!)
***
Hari masih pagi sekali. Aku gelisah di atas balkon. Bola
mataku menatap ke bawah, pada pintu kamar kos-kosan putri. Aku berharap gadis
bernama Elliza (kalau Boni benar) itu keluar, dan akan kusapa dengan mesra.
Tadi malam aku tidak sempat melihatnya, karena malu berlama-lama di atas balkon
kamar. Apalagi si brengsek Boni pulang lebih cepat dari biasanya. Jadi terpaksa kubuat kesan, bahwa aku tak terlalu berharap melihat
gadis cantik itu.
Dan yang membuatku kesal, Boni tak sedikitpun
menyinggung-nyinggung gadis itu. Padahal
paginya dia sudah bilang, bahwa dia akan membantuku berkenalan dengan gadis
itu. Bila aku yang lebih dulu memulai, aku malu. Begitulah aku. Aku suka mau
tapi malu. Malu tapi mau. Meski hanya ingin sekadar berkenalan, aku malu.
Takutnya malu-maluin. Hehehe.
Aku semakin gelisah saja. Boni mungkin tahu bila aku tengah
resah. Kulihat ia tersenyum setiap melihat ke arahku. Biar saja ia mencemoohku.
Toh sebentar lagi dia keluar rumah untuk kembali ke lokasi syuting. Dia memang
pernah bilang, kalau pagi-pagi belakangan ini ia lagi sibuk-sibuknya
mengerjakan proyek kejar tayang sebuah sinetron kacangan.
“Tunggu aja, ntar juga dia keluar! Tapi jangan cuma dari pintu itu! Kadang Elliza dari pintu kamar lain!”
Hah!? Apa-apaan si
Boni! Kok, dia ngomong begitu?
“Maksud kamu apa, Bon?!”
“Ntar juga tahu sendiri!”
“Bon! Tunggu, Bon!”
Boni tak menghiraukanku, dan langsung menuruni anak tangga.
Tiba-tiba tubuhnya sudah tampak di depan kamar lantai bawah. Berjalan
tergesa-gesa keluar halaman rumah kos-kosan.
Tinggal aku sendiri, berdiri di atas balkon yang menghadap rumah
kos-kosan putri.
Pucuk dicinta ulam tiba! Gadis yang
kata Boni bernama Elliza itu keluar dari kamar kosnya.
“Ehm!”
Uh, genit juga aku! Mengapa harus berdehem begitu? Dia jadi menoleh ke atas balkon, menyerobok
wajahku!
“Selamat pagi...” kusapa dia.
“Assalamu’alaikum!”
“Eh... Wa... alaikum salam!”
Uh, goblok banget ya, aku! Kenapa jadi selamat pagi??!
Dasar blo’on! Blo’oooooon! Eh... Astaghfirullah! Astaghfirullah!
Astaghfirulah!
***
Sejak pagi itu, pagi-pagi berikutnya menjadi pagi yang
begitu indah. Aku tak pernah terlambat mengucapkan salam pada gadis kos-kosan
putri itu.
“Jadi sekarang udah mulai akrab, lu?” selidik
Boni, suatu sore saat tengah duduk-duduk di kamar.
“Alhamdulillah!”
“Baguslah...”
“Bagus gimana?”
“Ya, bagus kalo udah mulai akrab. Berarti...”
“Bagus gimana, Bon! Gue cuma akrab gitu-gitu aja...”
“Maksud lu?”
“Ya cuma mengucapkan salam, senyum, udah! Begitu
aja!”
“Begitu aja?!”
“Ya udah, begitu aja!”
“Nggak nanya namanya?”
“Kan gue udah tau, Bon!”
“Elu kan tau dari gue, bukan langsung dari dia! Wah,
blo’on banget sih lu! Pura-pura nggak tau dong, terus elu tanya, siapa namanya.
Kuliah di mana. Kenapa pagi-pagi banget berangkatnya...”
“Bener juga lu, Bon! Gue kok bloon banget, ya?”
“Baru sadar, lu...?”
“Hehehe, siaul lu Bon! Oke deh, besok pagi gue tanya.”
***
Hari masih pagi sekali.
Setelah shalat subuh, aku duduk-duduk di dalam kamar kos-kosan sambil
baca-baca naskah milik Boni. Tak lagi berdiri di atas balkon menunggu gadis itu
keluar pintu kos-kosan putri. Mulai pagi ini aku tak akan berdiri lagi di atas
balkon itu! Dan tak akan lagi bilang, “Assalamu’alaikum, Cantik...!” pada gadis
manis bernama Elliza itu.
Boni yang pagi ini ikut subuhan, kembali memeluk bantal
gulingnnya karena lagi tak ada jadwal kerja. Selain itu, siang nanti pemuda
brengsek ini berencana ke kampus untuk mengurus kuliahnya yang terlunta-lunta.
“Kok, nggak ke balkon lagi?” suara serak Boni
membuyarkan konsentrasiku.
“Ngapain?!”
“Kok, ngapain? Nggak ngucapin salam sama Elliza?”
Kurebut guling Boni, lalu memukul tubuhnya yang lagi
malas-malasan. Boni menghindar sambil cengengesan.
“Elu bilang, Babeh Haji itu masih saudara lu!” ucap Boni,
yang sejak bangun sudah cengar-cengir karena nguping obrolanku dengan Haji
Hasan tadi malam.
“Selama ini kan gue nggak pernah ke sini! Dan gue nggak
tau, kalo beliau punya anak gadis!!”
“Cantik lagi, ya!?”
”Diem, lu!!!”
“Huahaha!”
“Eh, malah ketawa...!”
“Hiks hiks hiks...
Istighfar, Dar...! Istighfar!!!”
Akhirnya kubiarkan Boni mentertawaiku. Selama ini aku
memang tidak tahu kalau gadis cantik bernama Elliza itu putri Babeh Haji! Aku
menghela nafas yang tiba-tiba begitu berat, lalu mengikuti saran Boni.
Istighfar dalam hati tiga kali. “Astaghfirullahaladziem... Astaghfirullahaladziem...
Astaghfirullahaladzieeeem....”***
*)Pamulang, Muharram 1425 H.
0 comments:
Posting Komentar