Oleh: Zaenal Radar T.
Sumber: Harian Umum Republika, 13 April 2008
Wajah Pak Penghulu langsung berubah pucat manakala kedua mempelai duduk
di hadapannya. Baru kali ini Pak Penghulu terlihat begitu gugup. Beliau ragu
untuk segera melakukan upacara yang sangat sakral dalam kehidupan sepasang
manusia: Pernikahan. Sebelum acara pernikahan dimulai, Pak Penghulu yang hidup
sendirian itu minta ijin ke belakang.
Menyadari akan perlakuan yang tidak mengenakkan itu, kedua calon mempelai yang masih tampak muda-muda
itu mengejar Pak Penghulu untuk minta dinikahkan secepatnya.
“Tolonglah, Pak Penghulu! Please! Tunggu apalagi? Kami sangat berharap bapak menikahkan kami
sekarang juga!” rayu salah satu calon mempelai.
“Benar Pak Penghulu! Rekan-rekan kami sudah menunggu! Pesta telah kami
siapkan! Kami akan terlambat bila Pak Penghulu tak segera menikahkan kami!” tambah calon mempelai yang lain.
Pak Penghulu tak menjawab. Ia hanya mondar-mandir, seolah tak mendengar
bujuk rayu itu.
“Tunggu sebentar. Perut saya mules!”
Pak Penghulu meninggalkan kedua calon mempelai, lalu masuk kamar kecil.
Di dalam kamar kecil itu beliau tidak berbuat apa-apa. Tidak buang air kecil
atau besar. Ia hanya berdiri sambil
menghela nafas yang terasa sesak. Seperti tengah menghadapi sebuah peristiwa
yang sungguh luar biasa beratnya. Meski
selama ini beliau terbiasa menikahkan berpasang-pasang pengantin, tetapi untuk
kedua calon mempelai kali ini ia teramat berat melakukannya.
Di daerahnya, memang tidak semua calon pengantin dinikahkan olehnya.
Sebab Pak Penghulu yang satu ini hanya menerima pasangan yang setuju menikah
dibawah tangan. Artinya, mempelai
laki-laki dan wanita yang dinikahkan tak mendapat surat nikah. Surat nikah
resmi yang dikeluarkan oleh Departemen Agama.
Pak Penghulu sudah sangat berpengalaman menikahkan orang. Baik
dipanggil ke rumah salah satu mempelai maupun di kediamannya. Empat puluh tahun
sudah Pak penghulu berkarir sebagai seorang penghulu. Jadi beliau sudah banyak
makan asam garam soal pernikahan.
Selama menikahkan orang, beliau mengaku belum pernah mengalami
kesulitan atau perkara soal sah tidak sahnya tentang hasil pernikahan yang
dilakukannya. Bahkan, Pak Penghulu pun bisa membuat surat kawin resmi dari
Departemen Agama, seperti yang didapatkan oleh pasangan yang menikah di Kantor
Urusan Agama.
“Bagaimana cara Pak Penghulu mendapatkan surat nikah dari Departemen
Agama?” tanya salah seorang mempelai pria yang menikah dibawah tangan pada Pak
Penghulu, suatu ketika.
“Ah, gampang! Siapkan saja uang secukupnya. Nanti bapak yang mengatur!”
“Bapak bisa?!”
“Sudahlah. Apa sih sekarang ini
yang tak bisa dibeli?!”
Bukan soal mampu mengurus soal surat-surat nikah saja yang bisa
dilakukan Pak Penghulu. Beliau juga bisa menikahkan mempelai berkewarganegaraan
asing. Bahkan, setelah itu mendapat surat nikah resmi! Benar-benar luar biasa Pak Penghulu yang satu
ini.
Namun malam ini, Pak Penghulu pusing tujuh keliling ketika menghadapi
kedua calon mempelai yang datang ke rumahnya. Tiba-tiba ia merasa dirundung
kegelisahan yang menjadi-jadi. Tidak seperti biasanya, Pak Penghulu dicekam
rasa takut luar biasa manakala hendak
menikahkan kedua mempelai seperti yang lazim beliau lakukan.
Saat Pak penghulu keluar dari kamar kecil, kembali kedua calon mempelai
mendesaknya untuk segera menikahkannya. Dibantu oleh dua orang saksi yang sejak
sore tadi menemani mereka.
“Come on, sir! Don’t kid us! Saya mohon Pak Penghulu tidak
merasa ragu untuk segera melakukan prosesi pernikahan kami!”
Pak Penghulu tidak menjawab.
Beliau hanya memandangi satu persatu wajah mempelai dengan raut wajah pucat pasi. Ia seolah minta
pengertian untuk tidak dipaksa-paksa.
“Kenapa Pak Penghulu? Bapak satu-satunya penghulu di daerah ini yang
kami kenal? Kenapa Pak Penghulu ragu menikahkan kami!?” desak salah satu
mempelai, dengan raut wajah berubah emosi.
“Kami tidak menuntut surat nikah resmi departemen agama! Kami menikah
dibawah tangan, seperti kebanyakan mempelai yang menikah dengan Pak Penghulu!”
tambah calon mempelai satunya dengan iba.
Pak Penghulu tetap tak menjawab. Ia benar-benar merasa ketakutan ketika
kembali saling berhadapan dengan kedua
mempelai ini, tidak seperti yang selama ini terjadi selama kurun waktu empat
puluh tahun berkarir sebagai seorang penghulu!
“Beri saya waktu untuk berfikir...” pinta Pak Penghulu akhirnya, sambil
melangkah ke beranda depan rumahnya.
***
Malam semakin larut. Kedua mempelai tampak resah. Pak Penghulu masih
menimbang-nimbang, apakah ia akan menikahkan kedua mempelai yang sudah
jauh-jauh datang ke rumahnya ini atau tidak?
Sementara itu, karena belum juga mendapat kepastian setelah berjam-jam
menunggu, kedua mempelai kembali mendatangi Pak Penghulu yang duduk termenung
di kursi beranda depan rumahnya.
“Berapa pun akan saya bayar Pak Penghulu! Asalkan Pak Penghulu mau menikahkan kami!” rengek
salah satu mempelai.
Masih tak ada jawaban. Pak Penghulu tetap diam membisu. Ia mulai
berfikir. Dosa apakah yang tengah ia tanggung ini? Selama ini ia memang
menikahkan orang dibawah tangan. Salahkah apa yang selama ini ia lakukan? Dulu,
dulu sekali, ia menikahkan orang karena berniat membantu. Ia pikir, daripada
berbuat zinah, orang lebih baik menikah. Begitu alasannya.
Di samping itu, mengapa orang-orang di daerahnya memilih dinikahkan
oleh Pak Pengulu, karena tidak semua orang mampu menikah di Departemen Agama.
Tak mampu membiayai. Lagipula, pasangan
yang memilih dinikahkannya tak pernah
memikirkan kekurangan atau kelebihan dinikahkan olehnya atau penghulu lain.
Tapi belakangan ini Pak Penghulu sudah jarang menikahkan orang. Sebab
orang lebih memilih menikah di kantor catatan sipil yang terletak di dekat
kelurahan ketimbang dinikahkan olehnya. Mungkin karena sekarang ini penduduk
yang menikah berharap punya surat nikah resmi. Sementara Pak Penghulu sudah
tidak bisa mengeluarkan surat nikah resmi lagi. Pak Penghulu tak mau menyogok
pihak depag yang biasa mengurus surat-surat nikah itu.
Disamping itu, setiap anak yang hendak masuk sekolah, disyaratkan pihak
sekolah agar kedua orangtuanya memiliki surat nikah guna mengurus akta
kelahiran. Jika tidak memenuhi syarat, akan sulit mengurus hal-hal lainnya yang
juga membutuhkan surat nikah sebagai bukti bahwa kedua orangtua mereka telah
resmi menikah.
Namun begitu, kedua mempelai yang saat ini berada di kediaman beliau
tak peduli. Mendesak segera dinikahkan, walau tanpa surat nikah.
“Mereka sudah memenuhi syarat
menikah, Pak Penghulu! Saksi ada! Mahar
ada! Apalagi?!” kali ini salah seorang
saksi yang membujuk Pak Penghulu untuk segera menikahkan dua calon mempelai
itu.
“Saya tidak bisa, nak...”
“Why not?! Kenapa?! Apakah karena selama ini Pak Penghulu sudah
jarang menikahkan orang lagi? Atau... ” salah satu mempelai hampir bersujud di
kaki Pak Penghulu, dan terlihat meneteskan airmata.
“Bukan, bukan itu masalahnya, nak..” potong Pak Penghulu, sambil
memegangi pundak salah satu calon mempelai yang hendak bersujud di kakinya itu.
“Apa dong, pak?! Kata orang-orang Bapak sudah empat puluh tahun menjadi
penghulu! Apa dong masalahnya, Pak?!”
“Masalahnya... selama ini bapak tak pernah menikahkan seorang mempelai
laki-laki dengan mempelai laki-laki...!”
“Kami ini pasangan gay, Pak! Bapak tidak baca koran, yah? Di Belanda saja sudah banyak gay yang
menikah, Pak!”
“Ya, sudah! Kalian ke Belanda saja! Jangan menikah di sini! Bapak tidak
bisa, nak!!”
“Pak! Pak Penghulu...!!”
Akhirnya Pak Penghulu masuk kamarnya dan mengunci diri! Pak Penghulu
tidak memperdulikan kedua mempelai yang sudah siap menikah itu. Pak Penghulu
tak sudi dibujuk rayu. Dua orang saksi
pun tak bisa berbuat apa-apa. Oleh sebab itulah akhirnya kedua mempelai ‘jeruk
makan jeruk’ itu pun menangis di depan kamar pak Penghulu, saling
berpelukan...***
*)Pamulang, 2008
0 comments:
Posting Komentar