Mamat Metro

Mamat Metro

PENGHUNI RUMAH SEWA




Oleh : Zaenal Radar T.


Sumber:  Majalah Femina, No.27/XXXI, Juli 2003.




Setiap pagi, kami tak pernah bangun lewat dari jam lima. Setelah solat subuh berjamaah,  aku dan suamiku berbagi tugas.  Aku ke dapur, ruangan yang sebenarnya menyatu dengan tempat tidur –hanya diberi sekat triplek ukuran satu kali tiga meter; menyalakan kompor, merebus air untuk bikin kopi atau teh.  Sementara suamiku ke kamar mandi yang jaraknya 10 meteran, membawa ember cucian.  Di kamar mandi umum itu, kalau tidak pagi-pagi sekali, kita akan kesulitan meski sekedar menaruh badan.  Sebab kamar mandi berukuran 4x4 meter itu harus menampung sepuluh kamar sewa lain. Yang cuci, untuk mandi anak-anak, dan bersih-bersih perabot di tempat itu. Dan hanya ada dua kamar 1x1 meter,  khusus untuk mandi  dan buang hajat orang dewasa.
Selepas dari kamar mandi, suamiku menunggui air masak sambil menjaga si kecil kalau-kalau dia bangun. O, ya, kami sudah mendapat momongan yang baru berumur enam bulan setengah. Bila si kecil menangis, suamiku berlari-lari memanggilku, menyuruh agar aku memberinya susu. Aku memang lebih banyak memberi ASI daripada susu kalengan.  Selain hemat, kupikir ASI lebih baik dari susu apapun!
Seringkali suamiku tertidur ketika menunggui si kecil, sementara aku tengah mencuci di kamar mandi.  Sehingga seringkali si kecil menangis karena tak segera diberi susu.  Tak jarang akhirnya aku memarahi suamiku, menambah daftar keributan di pagi hari, seperti orang-orang sebelah kami yang tak pernah sepi bila pagi datang:  Aku memarahi suamiku. Si kecil menangis. Mbok Jum, tukang gado-gado yang tinggal di sebelah memarahi anak-anaknya yang belum bangun. Pak Rustam menggedor-gedor pintu, membangunkan istrinya yang masih molor. Atau Kang Sarwan, yang tinggal di sebelahnya lagi, ribut omongan dengan Yuk Juminten, soal ayam-ayamnya yang sering dilempar sapu karena selalu berak di beranda kamar.
Apalagi bila Pak Haji Sarkih datang pagi-pagi, menagih uang sewa.  Dan para penghuni rumah sewa belum bisa membayarnya, dengan beribu-ribu alasan. Maka sedikit banyak akan menambah  kebisingan!
Pak Haji Sarkih, pemilik rumah sewa (yang sebenarnya lebih pantas disebut sebagai kotak sabun), selalu menagih uang sewa di pagi hari. Alasan beliau, pagi-pagi penghuni rumah sewa lebih mudah ditemui. Karena siang sedikit saja, apalagi sore atau malam, para penghuni rumah sewa sulit sekali ditemui. Beliau bilang, para penghuni rumah sewa suka pura-pura sibuk atau menghilang entah ke mana.
Menurut kami, Pak Haji Sarkih orang yang sangat sabar dan pengertian. Ia selalu datang menagih uang sewa meski sering mendapat janji-janji kosong.  Dan ia juga seseorang yang punya rasa ‘toleransi’ tinggi.  Ia bilang, ketika aku dan suamiku membayar uang sewa di kediamannya, bahwa tak sedikit penghuni rumah sewa yang menunggak bayar sewa.  Namun begitu Pak Haji Sarkih tak tega mengusir mereka.

photo: youtube.com
***
Pagi ini kami kesiangan.  Aku dan suamiku solat subuh pukul setengah enam.   Untungnya ini hari minggu.  Namun begitu, aku mesti cepat-cepat menyiapkan segala sesuatu; bersih-bersih, menyiapkan kopi buat suami, agar aku bisa segera menuntaskan tulisan yang tak sempat kuselesaikan semalam. Kami bangun kesiangan sebab semalam tidur agak larut.  Bukan karena malam minggu.  Bukan. Tetapi karena kami sama-sama sibuk menyelasaikan tulisan. Suamiku menyiapkan bahan-bahan skripsinya, aku mengerjakan cerpen., satu hal yang kugeluti sejak aku remaja.
Dan mengapa pagi ini kami kesiangan, barangkali juga karena tak biasanya pagi ini para penghuni rumah sewa tidak berisik seperti pagi biasanya.  Bang Amsir, ojek motor yang tinggal di kamar paling ujung, tak terdengar menghidupkan motornya.  Biasanya lelaki itu menghidupkan motornya pada pukul setengah lima.  Menghidupkan motornya, memanaskan mesin, mengegasnya hingga suaranya meraung-raung.  Lalu dilanjutkan dengan makian kamar sebelah, Yuk Juminten, dan disusul omelan Kang Sarwan.  Si kecil pun sering terbangun oleh  raungan motornya.
Aku ingin memarahi Bang Amsir tapi tak pernah kesampaian karena didahului Yuk Juminten dan Kang sarwan!
Kenapa pagi ini begitu sepi? Ke mana para penghuni sebelah?  Mengapa Bang Amsir tak kudengar raungan motornya?  Kenapa Pak Rustam, satpam jaga malam yang selalu menggedor-gedor pintu kamar istrinya juga tak kudengar? Kenapa pula Kang Sarwan dan Yuk Juminten tak ada suaranya? Kenapa?  Apakah mereka pun kesiangan seperti kami?  Atau sengaja bangun siang? Tidak biasanya!
Keherananku bertambah ketika kamar mandi kulihat sepi, dan seluruh pintu kamar sewa tergembok!  Ke mana mereka?  Apakah Pak Haji Sarkih telah habis kesabarannya, sehingga mengusir mereka?  Tidak juga!  Sebab akhirnya aku berjumpa dengannya ketika selesai dari kamar mandi.
“Orang-orang pada ke mana, Pak Haji?” tanyaku padanya.
“Gawat, Non! Kemarin sore Bang Amsir kena musibah!  Motornya tubrukkan sama truk pasir!!  Motornya hancur!”
“Ya Tuhan….”
Lalu suamiku ke luar kamar.  Mungkin karena mendengar percakapanku dengan Pak Haji Sarkih.
Assalamu’alaikum, Pak Haji!  Bang Amsir kena musibah?”  suamiku mengucap salam dan langsung terlibat pembicaraan.
Waalaikum salam. Iya, Bang Amsir kecelakaan!”
“Sekarang Bang Amsir di rawat di mana?” selidiku.
“Di rumah sakit.  Katanya, Bang Amsir udah ngak ketolong lagi!  Saya ke sini mau kasih khabar.  Soalnya, semua penghuni sewa udah pada ngumpul  di rumah sakit sejak kemarin sore.  Jadi…”
Innalillahi wainnailaihi rojiuun….  Aku dan suamiku berucap duka hampir berbarengan.
Aku tidak menyangka bila Bang Amsir meninggal dunia secepat ini.  Baru kemarin pagi aku minta diantar ke dokter anak, karena si kecil tak enak badan.  Dan pagi itu ternyata pertemuan terakhirku dengannya. 
Aku baru menyadari kalau apa yang ia ucapkan padaku kemarin pagi adalah kata-kata terakhirnya.  Bang Amsir bilang, sebentar lagi orang-orang  yang tinggal di rumah sewa ini tak akan diganggu oleh raungan motornya.  Sebab ia akan pergi dari rumah sewa ini.  Ketika kutanyakan, ia akan pindah ke mana, Bang Amsir tidak menjawab.  Kata-kata bahwa ia akan pergi, barangkali sebagai tanda bahwa ia memang benar-benar pergi dari rumah sewa ini, bahkan pergi untuk selama-lamanya ke alam baka!
Aku menyesal sekali karena pagi itu aku sempat mengeluh tentang suara sepeda motornya yang mengganggu itu.  Dan juga atas penolakannya ketika aku hendak membayar ongkos ojeknya.  Ya, siapa yang menyangka kalau ia meninggal dunia hari itu juga?  Dan sebelumnya, tentang pengakuannya, ‘akan pergi dari rumah sewa ini’, kukira ia akan pindah ke rumah sewa lain.  Atau barangkali, akan pergi entah ke mana.
Aku pun menyesal karena tidak tahu bila semua penghuni rumah sewa berada di rumah sakit menemani almarhum.  Sebab aku dan suamiku baru tiba di rumah setelah hari menjelang malam. Dan si kecil yang kutitipkan di rumah mertuaku tak diijinkan neneknya pulang.  Ibu mertuaku merengek agar cucunya menginap barang semalam di rumahnya.  Uh, seandainya beliau tahu keadaan kami yang sesungguhnya di rumah sewa ini!
***
Sebelum menjemput si kecil di rumah mertua, aku dan suamiku melayat ke rumah sakit.  Karena Pak Haji Sarkih bilang, mayat Bang Amsir belum diperbolehkan pulang.  Ada beberapa hal  yang mesti diselesaikan.
Bang Amsir adalah korban tabrak lari.  Sopir truk yang menabraknya melarikan diri.  Sementara itu, tak seorang pun  mau bertanggungjawab atas ongkos rumah sakit yang mengurus jenazahnya.  Apalagi, masih menurut Pak Haji Sarkih, semua penghuni rumah sewa tak tahu di mana keluarga Bang Amsir tinggal.  Karena selama ini, Bang Amsir hidup sendirian di rumah sewa ini.
Ketika aku dan suamiku tiba di rumah sakit, beberapa orang yang selama ini begitu dekat denganku menyambut kedatangan aku dan suamiku.  Para penghuni rumah sewa bersikap layaknya keluarga yang ditinggalkan. Aku dan suamiku jadi merasa tak enak karena kami sendiri, meski belum beberapa lama tinggal  di rumah sewa, merasa sebagai bagian dari keluarga mereka!
Sebelumnya aku tak menduga bila para penghuni rumah sewa yang sering kudengar adu mulut dengan almarhum, seperti Kang Sarwan atau Yuk Juminten, juga penghuni rumah sewa lainnya, ternyata memiliki rasa kebersamaan yang tinggi.  Di wajah mereka tergambar duka yang begitu mendalam atas  kepergian almarhum.
Apakah hal itu disebabkan karena mereka menyesal atas perlakuan mereka selama ini mendamprat Bang Amsir?  Atau, apakah karena Bang Amsir sendiri sebenarnya lelaki yang baik?
“Bang Amsir itu orang baik, Neng.  Kakang sering pinjem uang ke dia,” ujar Kang Dasrip, tukang becak yang bersebelahan dengan Yuk Juminten.
“Aku ndak pernah bayar ongkos ojeknya bila ia mengantarku ke pasar!” kata Yuk Juminten, disela isaknya, “Aku nyesel sering mengomelinya!” lanjutnya.
“Sudah, sudah, Bang Amsir memang orang baik.  Barangkali Tuhan menyayangi dia, sehingga dia dipanggil lebih cepat!” Pak Haji Sarkih menengahi.
“Lalu Pak Haji, bagaimana caranya membawa jenazah ini pulang?” tiba-tiba Pak Rustam ikut bicara.
“Kita mesti menebusnya!” lirih Pak Haji Sarkih.
“Menebusnya? Kan Bang Amsir tak sempat dirawat?” Bu Sum menyela.
“Ya, Bu. Tetapi meski tidak dirawat, rumah sakit tetap minta uang administrasi. Buat biaya ambulan.  Buat pengurus jenazah. Buat...., wah, saya juga kurang paham benar,” Pak Haji Sarkih menjelaskan.
“Berapa sih biayanya?” Yuk Juminten mengeluarkan dompetnya yang sudah kelihatan lusuh. “Nih, kebetulan aku punya simpenan, tujuh puluh lima ribu!”
“Eh, Yuk! Sampean kira cuma sampean yang punya duit? Kakang juga punya!” Kang Sarwan, dengan logat yang  dibuat medok, nampak sewot. “Nih, seratus ribu dari Kang Sarwan tea!”
“Saya menyumbang lima puluh ribu!” sambar Kang Dasrip.
“Saya cuma punya 10.000. Tapi ikhlas!” Pak Rustam menyodorkan uangnya.
Sementara itu aku dan suamiku hanya bisa  menatap.  Terus terang saja, kami sedang kosong sekali.  Suamiku belum mengambil gaji.  Tapi ia baru pinjam ke ibunya lima ratus ribu buat biaya skripsinya.  Aku sendiri belum mendapat honor tulisan, karena cerpen yang diminta sebuah redaktur majalah belum kuselesaikan!  Ya Tuhan, seandainya kami tak menyumbang.  Kami bukan cuma malu, tapi... dimanakah rasa peduli kami terhadap tetangga, yang telah kami anggap sebagai keluarga?
“Saya lima puluh ribu!” Bu Sum, tukang gado-gado itu, menyodorkan recehan dengan gerakan sungguh meyakinkan. Begitu bersemangat!  Barangkali menunjukkan rasa kebersamaan yang tinggi terhadap rekan-rekan lainnya.
“Saya dua puluh lima ribu saja!” seorang lelaki berbaju lusuh ikut menyumbang.
Alhamdulillah. Sudah terkumpul sekitar 300.000!  Tapi saudara-saudara, ketahuilah, biaya mengurus jenazah yang diminta pihak rumah sakit sebesar satu juta setengah!” kata Pak Haji sarkih, yang disambut dengan terperangah oleh orang-orang yang berkumpul di depan kamar jenazah.
“Satu juta setengah!??”
“Satu juta setengah??!”
Semua penghuni rumah sewa terbengong-bengong mendengar jumlah uang yang diminta pihak rumah sakit.
Tak beberapa lama kemudian suamiku menyodorkan amplop pada Pak Haji Sarkih, “Nih, saya  tambah lagi lima ratus ribu!”
Ya Tuhan, bukankah uang itu untuk....
***
Akhirnya jenazah Bang Amsir bisa dibawa pulang.  Pak  Haji Sarkih menambah kekurangan biaya rumah sakit.  Selain itu, pihak rumah sakit sanggup memberi keringanan biaya, dengan alasan si korban sebagai orang yang tidak mampu.
Jenazah Bang Amsir diurus oleh para penghuni rumah sewa.  Para pelayat berdatangan.  Aku dan suamiku ikut ambil bagian, menyambut para pelayat.  Banyak sekali pelayat-pelayat datang, barangkali orang-orang yang pernah dekat dengan almarhum.  Namun begitu, tak seorang pun mengaku sebagai familinya.  Salah seorang yang mengaku sebagai teman dekatnya, menceritakan bahwa almarhum lelaki sebatang kara.  Dan sebenarnya, masih menurut rekan dekatnya itu, almarhum Bang Amsir hendak menikah bulan depan.  Tetapi rencana itu gagal karena orangtua pihak perempuan tidak setuju putrinya menikah dengan lelaki yang tak jelas asal-usulnya.  Kasihan sekali Bang Amsir, lelaki yang menurut orang-orang  dekatnya  lelaki yang baik, harus mengalami perlakuan yang sungguh menyakitkan hati.
“Non bisa ngaji?” tiba-tiba Yuk Juminten mengagetkanku.  Aku tersenyum pada Yuk Juminten, “Maaf, Non. Yuk Juminten ndak bisa ngaji!”
“Ya sudah, nanti Yuk Juminten belajar sama saya,”
Bener nih, Non?”
“Ya.”
“Boleh sama yang lainnya, ndak?”
“Silakan kalau mau.”
“Saya juga kepingin belajar ngaji, Neng!” sela Kang Dasrip.  Rupanya Kang Dasrip menguping pembicaraan kami.
Lalu aku mengambil Al-Quran dan membaca surat Yaasin di depan jenazah Bang Amsir.  Para penghuni rumah sewa dan para pelayat mendengarkannya dengan khusuk.  Di sebelahku, Yuk Juminten dan Kang Sarwan duduk tertunduk.  Sepintas aku melirik mereka, kedua mata mereka berkaca-kaca.
Beberapa lama kemudian suamiku mengambil alih, membaca ayat-ayat Quran.  Dilanjutkan oleh Pak Haji Sarkih.  Begitulah, meski yang semestinya mendoakan si mayit adalah keluarga si mayit  sendiri, kami mengambil alih ‘tugas’ itu, karena kami merasa bahwa kami bagian dari keluarga almarhum!
Menjelang pukul empat sore, setelah dimandikan dan disolatkan, si mayit dimakamkan.  Sebagian penghuni rumah sewa mengantar ke pemakaman bersama beberapa pelayat.  Sebagian lagi melayani pelayat lain di rumah sewa. Aku dan suamiku mengantar sampai gerbang pemakaman.
Ketika aku dan suamiku hendak kembali ke rumah sewa, kami berpapasan dengan  kedua mertuaku yang tengah bersama si kecil! Ya Tuhan, seharusnya siang tadi si kecil sudah harus kujemput!
Sang Kakek mempersilahkan kami masuk ke dalam mercy tuanya.  Rupanya beliau hendak mengantar kami pulang!  Dengan hati-hati, suamiku berusaha keras mencegahnya.  Tetapi Bapak dan Ibu mertuaku tetap bersikeras mengantar kami pulang!  Mereka bilang, mereka ingin melihat-lihat tempat tinggal kami, yang selama ini kami rahasiakan keberadaannya.  Mereka ingin tahu, sampai sejauh mana kemandirian keluarga kecil kami.***                                              
                                                                                         *)Pamulang, Banten, 31 Juli 2002.





Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...