Sumber: Harian REPUBLIKA, 03 September 2006
Oleh:
Zaenal Radar T.
Sumber: Harian REPUBLIKA , 03 September 2006
Kau tentu pernah bertemu dengan lelaki berkening
hitam. Hitam tidak secara keseluruhan, melainkan hanya pada bagian kening
tengah atas di antara dua alis, persis dibawah ujung rambut bagian depan.
Tepatnya, bagian kening yang digunakan untuk mencium sajadah setiap kali solat.
Apa yang kau pikirkan ketika melihat lelaki
berkening hitam seperti itu ? Tentu kau akan berkesimpulan, bahwa lelaki
tersebut adalah lelaki yang alim, lelaki yang rajin mencium sajadah, lelaki
yang tak pernah meninggalkan solat lima waktu, lelaki yang rajin bangun
malam-malam untuk tahajud dikala orang lain molor di tempat tidur.
Lelaki berkening hitam tidak hanya ditemukan di
masjid-masjid. Kau bisa menemukan di kampus, di kantor, pasar tradisional,
kantor pos, bahkan mungkin di mal-mal. Bisa jadi dia seorang dosen, kyai,
mahasiswa, pedagang, sopir angkutan kota, atau profesi lainnya.
Dan tahukah kau, malam ini, Markum, seorang
pelajar berotak pas-pasan sebuah SMA swasta di Jakarta, saat ini tengah
memikirkan keningnya yang tidak hitam. Markum bingung luar biasa. Bukan
apa-apa, belakangan ini dia tak pernah meninggalkan solat lima waktu. Dia selalu
mengerjakan solat sunat, baik sunat bakdiah maupun sunat qobliah. Bahkan,
setiap kali solat, Markum sengaja menekan-nekan bagian ujung keningnya supaya
bisa hitam. Namun, tetap saja tidak pernah menjadi hitam.
Kau tentu paham maksudnya. Markum ingin sekali
punya kening hitam, seperti kening lelaki berkening hitam yang ia temukan di
berbagai tempat. Keinginan punya kening hitam ini bermula ketika ia bertemu
dengan seorang gadis bernama Elliza. Elliza adalah gadis cantik berkerudung,
putri tunggal seorang guru agama di sekolahnya. Hanya saja, Elliza bersekolah
di ibtidaiyah.
Pertemuan Markum dengan Elliza terjadi secara
tidak sengaja. Waktu itu Markum mengantar Pak Habiburahman Saerozi, guru
pendidikan agama Islam lulusan Mesir yang tak lain wali kelasnya, pulang dari
mengajar. Pak Habib menyuruh Markum mampir sebentar untuk minum.
Markum, dengan senang menuruti kemauan Pak Habib
yang baik hati. Saat itulah Markum melihat Elliza, yang membawa minuman
untuknya. Pak Habib pun memperkenalkan Markum pada putrinya itu, dan juga
keponakan laki-lakinya, serta istrinya. Istri Pak Habib perempuan Mesir.
Berwajah Arab dengan hidungnya yang mancung. Wajah Elliza mirip sekali dengan
ibunya.
Saat bertemu itulah Markum merasa tertarik ingin
menjadikan Elliza seorang teman dekat. Tetapi tentu tidak mudah mewujudkan
keinginannya itu. Markum pun melakukan berbagai usaha. Di antaranya adalah,
menjadi cowok yang alim. Cowok yang tekun ibadah.
Kau tentu sulit membedakan, siapakah di antara
anak-anak lelaki yang rajin ibadah atau tidak? Dan Markum berkesimpulan, bahwa
lelaki yang bisa disebut alim adalah lelaki yang rajin solat. Lalu, bisakah
orang lain menentukan apakah seorang cowok seperti dirinya rajin solat atau
tidak. Hmmm… lihat saja keningnya!
Markum selalu membayangkan seandainya keningnya
bisa menjadi hitam, seperti seoarang lelaki yang rajin solat. Pak Habib, guru
agamanya yang sangat baik hati itu, keningnya hitam. Keponakan laki-laki Pak
Habib, keningnya juga agak hitam. Kenapa kening Markum tidak bisa hitam?
Selain berkening hitam, masih menurut Markum,
lelaki yang bisa dicirikan sebagai orang alim, adalah lelaki yang berjenggot.
Tetapi janggut Markum tak tumbuh jenggot. Licin. Seperti kepala profesor yang
botak. Seandainya jenggotnya lebat, ditambah lagi keningnya menghitam, oh…
Markum pasti akan senang sekali. Sayang beribu-ribu sayang, semua itu hanya
mimpi.
Untuk mewujudkan keinginannya, Markum pun
berencana melakukan berbagai cara. Salah satunya, setiap malam, Markum akan
menempelkan jidatnya di lantai, dengan kedua kaki berada di posisi atas,
menempel di tembok. Namun untuk melakukannya tidak semudah yang dibayangkan.
Masalahnya, orang-orang rumah selalu iseng bertanya padanya, mengapa ia
melakukan hal itu.
”Bang Markum, Abang lagi ngapain?” tanya salah
satu adiknya, ketika Markum mulai menempelkan keningnya di lantai, dengan
posisi kedua kaki menempel di dinding.
Markum pun menjawab, bahwa ia sedang olahraga
senam.
”Senam apa?!!”
Senam apa? Markum jadi bingung. Tapi Markum tidak
hilang akal, ”Ini namanya senam keseimbangan!” jawabnya kemudian. Adiknya yang
bertanya mengangguk-angguk. Di kemudian hari, setiap kali Markum melakukan hal
yang sama, yakni ’senam keseimbangan’ itu, adiknya latah ikut-ikutan.
Setelah kurang lebih dua minggu melakukan kegiatan
seperti itu, tidak disangka-sangka, kening adiknya menjadi hitam! Boleh jadi,
kening itu sering menempel di lantai, menjadi tumpuan beban tubuhnya yang
berada di atas saat melakukan gerakan senam asal-asalan itu.
Meskipun begitu, tidak bagi Markum. Kening Markum
ya tetap begitu-begitu saja. Tidak hitam sama sekali seperti kening adiknya.
Mengetahui keningnya menjadi hitam, adiknya menjadi marah pada Markum.
”Bang, ini kening Markam kok jadi item?” protes
Markam, adiknya Markum.
”Salah kamu sendiri! Kenapa ikut-ikutan senam
itu?”
”Wah, gimana dong, Bang? Markam jadi malu nih…”
”Biarkan saja. Nanti juga hilang sendiri!”
Benar saja, setelah tidak lagi melakukan senam
itu, kening Markam tidak jadi hitam. Tapi aneh bagi Markum, meskipun masih
melanjutkan gerakan-gerakan senam itu keningnya masih juga belum hitam.
Suatu malam, saat tengah sendirian di kamarnya,
Markum pun menatap keningnya di cermin, sambil tangannya memegang pisau dapur.
Apakah yang hendak Markum lakukan??!
”Kenapa keningku masih tetap nggak bisa hitam?”
tanya Markum pada dirinya sendiri.
Markum meraba-raba ujung keningnya itu,
membayangkan seandainya bisa menjadi hitam. Lalu ia tatap pisau di tangan
kanannya, dan menempelkannya di kening. Rupanya, Markum berniat untuk melukai
keningnya dengan pisau, agar menjadi luka. Dengan begitu, kemungkinan kening
menjadi hitam bisa terwujud dari luka keningnya nanti. Demikian pikir Markum.
Belum sempat melukai keningnya, Ibunya membuka
pintu kamarnya yang tidak terkunci, membuat Markum terkejut.
”Markum! Kamu lagi ngapain?”
”Eee… eee….” Markum gugup. Ibunya menatap pisau
dapur di tangan Markum dengan tatapan menyelidik.
”Bu, Markum lagi mencukur jenggot…” ucap Markum
kemudian, sambil mengarahkan bagian pisau yang tajam ke dagunya. Ibunya
bertambah bingung.
”Cukur jenggot? Memangnya kamu punya jenggot?!”
”Baru mulai tumbuh, Bu.”
”Kalau kamu mau mencukur jenggot, kenapa nggak
pakai cukur jenggot Ayah?”
Markum terdiam, lalu menurunkan pisaunya.
”Tunggu sebentar ya, akan Ibu ambilkan.”
Ibu Markum keluar. Tak lama kemudian ibu Markum
sudah kembali sambil memberikan alat cukur pada Markum. Setelah itu ibu Markum
keluar lagi. Markum memegangi alat cukur jenggot itu, lalu menatap wajahnya di
cermin sambil menempelkan cukur jenggot ke dagunya. Apa yang akan ia cukur,
sementara dagunya tak tumbuh jenggot?
Pekan berikutnya, ketika keningnya masih belum
bisa jadi hitam, Markum mendapat undangan dari Pak Habib. Pak Habib mengundang
Markum berkenaan perpisahan Pak Habib yang sudah tidak lagi mengajar di sekolah
Markum. Pak Habib pindah mengajar di sekolah lain.
Ini merupakan kesempatan emas buat Markum. Markum
merasa menjadi sangat terhormat. Markum tidak akan menyia-nyiakan kesempatan
emas ini. Sebelum berangkat ke rumah Pak Habib, Markum mempersiapkan dirinya
sebaik mungkin. Pikir Markum, di rumah Pak Habib nanti, Markum tidak hanya
bertemu dengan Pak Habib saja. Ada istrinya, sepupunya, dan tentu saja putrinya
yang cantik, Elliza!
Markum berpikir keras bagaimana ia bisa
mempersiapkan diri sebaik mungkin. Aha! Markum punya akal. Markum yakin usahanya
kali ini tidak akan gagal, yakni bagaimana membuat keningnya menjadi hitam.
Kening seorang laki-laki alim. Markum meraih spidol di meja belajarnya. Dengan
gerakan yang sangat hati-hati, Markum memoles keningnya dengan spidol itu.
Hitam!!
Kini kening Markum benar-benar hitam, layaknya
kening laki-laki yang rajin solat! Dengan bangga, Markum pun segera berangkat
ke rumah Pak Habib. Tak peduli orang-orang di rumah pada keheranan, Markum
dengan percaya diri siap menghadapi undangan Pak Habib dan keluarganya.
Di rumah Pak Habib, Markum disambut dengan ramah.
Menurut Markum, keluarga Pak Habib tidak bersikap aneh seperti orang-orang di
rumahnya, soal keningnya yang hitam. Markum duduk di dekat Pak Habib, di antara
sepupu Pak Habib, istrinya, dan Elliza. Mereka bercakap-cakap seputar kehidupan
dan kegiatan masing-masing.
“Keluarga Pak Habib sekarang sudah tahu, bila
keningku ini hitam,” ucap Markum dalam hati, ketika tengah bersama-sama
keluarga Pak Habib.
Betapa bangganya Markum, memperlihatkan keningnya
yang hitam di depan Pak Habib sekeluarga. Pasti Pak Habib dan keluarga sekarang
tahu, bahwa dirinya lelaki yang alim, karena berkening hitam.
Menjelang maghrib, sebelum makan malam, Pak Habib
mengajak semua orang untuk solat maghrib. Dengan semangat empat lima, Markum
bangkit dan segera mengambil air wudlu. Ini pertama kalinya bagi Markum, solat
berjamaah dengan keluarga Pak Habib.
Saat selesai mengambil wudlu, Markum merasakan
sesuatu yang aneh. Air di lantai kamar mandi menjadi hitam. Markum mendapati
telapak tangannya juga hitam. Markum menatap wajahnya di cermin kamar mandi,
dan keningnya yang tadi hitam perlahan luntur. Markum mengusap keningnya. Tidak
lagi hitam!
Markum pusing, karena saat itu ia tidak akan mampu
mengembalikan hitam di keningnya. Markum kebingungan. Bila kau menjadi Markum,
tentu kau juga akan bingung. Tapi aku yakin, kau tentu tak akan bertindak
sebodoh Markum.
Dan tahukah kau, siapakah Markum sesungguhnya?
Markum tak lain adalah aku!
Mengingat kejadian itu, aku suka tersenyum
sendiri. Aku tidak mau menceritakan bagaimana sikap Pak Habib dan keluarganya
waktu itu, setelah melihat aku tak lagi berkening hitam. Aku malu
menceritakannya.
Kau tak perlu risau, sekarang aku sadar. Aku tak
harus berkening hitam. Tetapi aku semakin rajin solat. Hanya Tuhan yang tahu.
Tanpa ada tanda-tanda pada diriku, atau terlihat oleh manusia lainnya, bahwa
aku lelaki yang sering mencium sajadah, baik siang maupun tengah malam.
*)Pamulang Barat, Banten, 22 Maret 2006.
0 comments:
Posting Komentar