Cerpen ZAENAL RADAR T.
Harian REPUBLIKA, Ahad, 27 Januari 2019
Harian REPUBLIKA, Ahad, 27 Januari 2019
ilustrasi DA'AN YAHYA/ Republika |
Haji Markum, seorang tokoh terpandang di kampung kami,
bercerita kepada tetangganya, bahwa sebentar lagi kiamat akan datang.
Pembicaraan ini secara tak sengaja terdengar oleh satu dua warga lainnya,
sampai akhirnya seluruh kampung geger. Apa yang terjadi jika kiamat benar-benar
datang?
“Pada hari itu, yakni hari kiamat, manusia bagaikan
anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.”
Demikian yang
diceritakan Sobrak, saat salah seorang pemuda yang suka mabuk-mabukan bertanya,
mengutip bunyi ayat dari Surat Al-qariah. Hal itulah yang memuat warga semakin
ketakutan.
Apa yang dikatakan Haji Markum membuat kehidupan di
kampung kami berubah seratus delapan puluh derajat. Mushola yang tadinya sepi,
kini penuh sesak oleh jamaah. Beberapa warga yang biasa main kartu di warung
Mpok Yanah, tidak pernah terlihat lagi. Satu dua pemuda yang suka sabung ayam
juga tidak lagi melakukannya. Sebuah tempat perempuan malam mangkal sudah sepi
dari pengunjungnya, karena baik si perempuan malam-nya maupun si hidung belang lebih
sering berada di mushola. Warga dan anak-anak yang biasa mantengin Hp buat maen
game diminta meninggalkannya. Telivisi pun dimatikan! Warga enggan
membuang-buang waktu percuma. Mereka mengaji, beribadah sebanyak-banyaknya.
Berharap diakhir hidup Allah akan menolong mereka.
Menurut kabar, kiamat akan datang dua hari lagi, yakni
pada hari Jumat. Warga kampung kami semakin tekun beribadah. Tak ada lagi
terdengar suara warga menghidupkan radio atau televisi. Henpon yang biasanya
nempel di tangan disingkirkan. Semua khusuk mengaji atau melakukan ibadah, demi
menyiapkan diri masing-masing karena mereka percaya setelah kiamat manusia akan
dibangkitkan dan diminta pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan ketika
di dunia. Mulut terkunci, tangan dan anggota tubuh lainnya yang bicara.
***
Kabar akan
datangnya hari akhir semakin dipercaya, karena di ujung kampung, warga
menemukan ada pohon pisang bertandan dua. Pisang bertandan dua difoto lalu
dihsare di grup WA milik RW. Dipublish di medsos sehingga warga yang iseng
ngintip HP-nya makin ngeri.
“Ini menambah keyakinan saya bahwa kiamat akan segera
datang!”
“Bener banget, Pak! Apalagi lusa itu hari jumat. Bukankah
katanya hari kiamat itu terjadi pada hari jumat?”
“Astaghfirullah.. ya sudah, saya mau ke mushola dulu!”
“Kan waktu shalat masih lama?”
“Saya mau ngaji dulu. Assalamu’alaikum…!”
“Wa’’alaikumsalaaam…”
Di mushola, meskipun waktu masuk shalat zuhur masih
sekitar dua jam lagi, tetapi mushola sudah dipenuhi warga. Ada yang mengaji,
ada yang shalat sunnat, berzikir, atau ada juga yang tertidur karena kelelahan.
Dan saat waktu shalat masuk, mushola langsung luber. Biasanya jamaah penuh
kalau shalat tarawih di hari pertama bulan ramadhan, atau shalat jumat, tetapi
shalat jamaah beberapa hari ini jamaah mushola di kampung kami penuh sesak.
Haji Markum senang sekali melihat perubahan yang terjadi
pada umat di kampungnya. Beliau bersyukur, karena warga sudah menyadari arti
pentingnya shalat berjamaah. Karena shalat berjamaah itu pahalanya lebih tinggi
27 derajat daripada shalat sendirian.
“Tapi Pak Haji, semua ini dilakukan warga karena mereka
takut akan datangnya hari akhir!”
“Ya enggak apa-apa. Seharusunya mereka bukan hanya takut
akan datangnya hari akhir, tetapi juga karena takwa mereka. Takwa dalam arti sebenar-benarnya,
yakni mengerjakan hal-hal yang diperintah oleh Allah SWT, dan meninggalkan
larangannya.”
“Pak Haji sendiri, apa Pak Haji enggak takut sama
datangnya hari akhir?”
“Kenapa musti takut…? Hari akhir itu akan datang, dan
kita tidak akan mampu mengelaknya!”
Warga yang bertanya semakin ketakutan, dan dia langsung
pamit. Mau ke mushola.
***
Sehari sebelum datangnya kabar akan datangnya kiamat,
yakni pada hari kamis malam jumat, banyak warga yang tidak tidur. Mereka giat
beribadah, baik di rumah maupun di mushola.
“Pada hari kiamat, matahari akan terbit dari sebelah
barat!” demikian kata salah satu pemuda, kepada warga yang sedang duduk-duduk
di teras mushola.
“Kita enggak akan bisa sembunyi!”
“Kalau mau selamat, kita bisa naik perahu besar, kayak di
film 2012. Naik perahu kayak umat nabi Nuh!”
“Itu, kan, di film… kiamat di film sama kiamat
sesunggunya itu beda. Masak sih hari kiamat naik perahu…?!”
“Ya sudah, jangan ribut. Hayo kita ngaji lagi…!”
Warga pun kembali mengaji lagi. Mereka melakukannya
dengan semangat dan penuh kekhusukan. Warga seisi kampung benar-benar telah
berubah menjadi alim. Tak ada lagi
terlihat orang main judi, sabung ayam, jogged-joged sama biduan di depan organ
tunggal, atau nongkrong di daerah remang-remang tempat bersemayam perempuan
malam.
Haji Markum yang mendapat laporan dari salah satu warga tentang
hal ini jelas saja bertambang senang. Haji Markum bersyukur karena warga
kampung mau berubah. Sobrak dan Amsir yang bertemu haji Markum sempat curiga, karena
Haji Markum tidak seperti warga kebanyakan. Beliau terlihat tenang-tenang saja,
tak tampak rasa was was pada raut wajahnya.
“Pak Haji kok kelihatan tenang ya, Sir?”
“Mungkin itu yang membedakan antara orang beriman seperti
beliau, sama warga yang selama ini jauh dari ibadah kayak kita-kita.”
“Tapi saya kok curiga. Jangan-jangan kedatangan kiamat
itu hanya isu Pak Haji Markum?”
“Maksud ente tuh apa. Sir? Pak Haji membohongi warga,
gitu?”
“Bisa jadi. Pak Haji berbohong akan kedatangan kiamat,
supaya warga jadi takut dan rajin beribadah.”
“Enggak mungkin Pak Haji melakukan hal itu, Sir! Haji
Markum itu orang baik. Sudah tiga kali naik haji. Masak sih bisa berbohong?”
“Mungkin saja, Brak! Kan bisa saja dia berbohong demi kebaikan…?”
“Terserah ente aja deh! Ane mau pulang dulu, mau ngaji! Kita
buktikan saja besok, kiamat apa enggak. Seandainya besok enggak kiamat, toh ane
sudah berbuat baik mau rajin beribadah. Tapi kalau ternyata kiamata benar-benar
jadi? Kita bisa apa? Kalau kita sudah siap dengan amal kita, pasti kita
selamat. Tapi kalau tidak, gimana…??? Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam. Sampe ketemu di mushola, saya juga mau
ngajiiiii!”
***
Menjelang subuh, warga yang berada di rumah atau
berkumpul di mushola masih sibuk melakukan ritual ibadah. Baik mengaji, shalat
sunah, atau berzikir. Shalat subuh di mushola penuh sesak, sehingga jamaah
sampai luber sampai ke luar mushola. Herannya, pada subuh kali ini Haji Markum pulang
lebih awal dari biasanya.
“Mungkin Haji Markum lagi ada acara?”
“Masak sih, mau kiamat kayak gini masih saja ada acara?”
“Biasanya Haji Markum zikir-nya lama, lho?!”
“Mungkin beliau
mau menunggu datangnya kiamat sendirian…?”
Semua terdiam. Lalu semua warga buru-buru mengaji atau berzikir.
Satu dua anak muda keluar, dan mereka menanti datangnya fajar. Jamaah lain yang
melihatnya keheranan.
“Elo ngeliat apaan, Mursin?”
“Saya lagi ngeliat ke arah matahari, Bang. Katanya kalau
kiamat matahari datang dari sebelah barat…?”
“Waduh…?!! Ya coba, elo liat aja terus ke kulon, ke barat!!”
“Belum keliatan, bang!”
“Biasanya jem segini matahari udah nongol dari sebelah
wetan, atawa dari timur?”
“Enggak tahu, nih… jangan-jangan memang bener-bener
muncul dari sebelah barat… Astaghfirullaaahh… Ya Allah… Ya Rabbi… Allahu
Akbar…!!”
Semua ketakutan. Mereka terus memandangi langit sambil
menunggu kedatangan matahari dari sebelah barat.
Sampai waktu menunjukkan pukul enam pagi lewat, matahari
belum juga muncul, baik dari sebelah barat maupun timur.
“Jangan-jangan matahari enggak muncul…?”
“Bagaimana matahari mau muncul, kan ini lagi mendung
begini…?”
Semua terdiam lagi. Lalu kembali menunggu. Keadaan
semakin mencekam. Tak ada aktivitas pagi itu. Semua warga berlomba-lomba untuk
beribadah. Tetapi beberapa waktu kemudian, seorang warga berteriak-teriak,
bahwa kiamat sudah datang!”
“Kiamat datang, kenapa kita masih baik-baik saja!”
“Kiamat datang ke rumah Haji Markum!”
Semua tersentak. Semua bingung dan saling tatap. “Mana
mungkin hari akhir hanya datang ke rumah Haji Markum?”
“Ayo kita ke sana!!”
Lalu semua warga bergegas ke rumah Haji Markum. Haji
Markum kaget melihat warga berbondong-bondong ke rumahnya. Lelaki tua yang
duduk di dekatnya tampak tenang, namun tak bisa menyembunyikan keheranannya
melihat banyak sekali warga yang datang.
“Ada apa, ini…?” tanya Haji Markum kepada warga.
“Pak Haji gimana, sih? Kata Pak Haji hari ini kiamat
datang? Mana…?!! Kami sudah menunggunya dari kemarin lusa!”
Haji Markum pun berubah tersenyum, lalu dia memberikan
isyarat kepada lelaki di sebelahnya. Lelaki ini mungkin umurnya lebih tua dari
Haji Markum. Beliau mengenakan baju koko putih dan berpeci.
“Saudara-saudara sekalian… perkenalkan… ini Ki Amat!! Ki
Amat itu ustadz saya waktu di pesantren!”
Semua warga terbelalak.
“Oh… jadi yang datang itu Ki Amat…??!”
“Ya, Ki Amat! Nama panjangnya Ustadz Ahmad Fahroji. Tapi
kami memanggilnya dengan sebutan Ki Amat…”
Semua warga langsung lemas. Mereka mengira yang datang
itu kiamat alias hari akhir. Ternyata yang datang Ki Amat, Ustadznya Haji
Markum.
***
Siangnya, setelah Ki Amat pamit, Haji Markum mengajak
tetangganya ke mushola karena waktu zuhur akan segera tiba. Tetapi tetangganya
bilang, dia lagi sibuk berkebun. Haji Markum ke mushola sendirian, berharap
nanti akan shalat berjamaah bersama dengan warga lainnya seperti biasa.
Sepanjang jalan, Haji Markum dikejutkan dengan aktivitas warga yang sudah
berubah dari hari kemarin. Meskipun waktu shalat zuhur sebentar lagi datang,
tetapi masih banyak warga yang nongkrong di warung, main kartu di pos ronda, asyik
nonton teve atau main Hp, atau bahkan yang sedang menyabung ayam. Yang main Hp
langsung bikin status, “Kiamat ternyata Hoax”.
Setibanya di mushola, Haji Markum bertambah terkejut.
Karena mushola kosong. Haji Markum pun menabuh beduk sendiri, adzan sendiri,
lalu shalat sendiri.***
*)Tangerang
Selatan, 2019
0 comments:
Posting Komentar