Tangerang Selatan, 24 Maret 2018 ___PUTU WIJAYA
Berikut ini adalah tulisan Putu Wijaya, yang ditulis pada 08 November 2007. Saya menyimpan tulisan ini untuk dibaca-baca sendiri, memberikan semangat buat diri sendiri, agar tetap punya ghirah yang kuat dalam menulis. Berikut ini tulisan beliau, sastrawan Putu Wijaya yang gak ada matinye!
Berikut ini adalah tulisan Putu Wijaya, yang ditulis pada 08 November 2007. Saya menyimpan tulisan ini untuk dibaca-baca sendiri, memberikan semangat buat diri sendiri, agar tetap punya ghirah yang kuat dalam menulis. Berikut ini tulisan beliau, sastrawan Putu Wijaya yang gak ada matinye!
beranda.wordpress.com |
Ini tentang bagaimana saya menulis. Bukan tentang Bagaimana seseorang
sebaiknya, apalagi seharusnya menulis. Tidak mudah menulis bimbingan menulis
yang umum, karena itu segera akan menjadi kiat yang kedaluwarsa.
Perkembangan dalam banyak hal sudah begitu cepat dan dahsyat. Manusia
berubah dan sastra pun selalu menjadi baru. Bidang penulisan terus menemukan
kiat-kiat terkini, meskipun yang lama tidak dengan sendirinya musnah.
Memang ada yang umum dan mungkin akan masih berlaku. Misalnya teknik
menulis. Buku “Teknik Mengarang” yang ditulis oleh Muchtar Lubis sampai
sekarang tetap saya anggap sebagai pedoman menulis yang terbaik.
Pertama sarannya untuk membuang dua atau tiga alenia pertama (bahkan
mungkin lembar pertama) dari yang sudah kita tulis. Karena itu biasanya
bagian-bagian emosional yang tak terkendali.
Kemudian anjurannya untuk pembukaan tulisan yang langsung menggedor dengan
masalah. Di dalam buku itu diberi contoh bagaimana Anton Chekov, sudah menabur
pertanyaan dalam kalimat pertama. Pembaca jadi penasaran dan ingin tahu apa
yang terjadi. Dan Chekov memang seorang master dalam “plot” yang selalu
memberikan kejutan yang mempesona di akhir cerita.
Yang ketiga, Mochtar Lubis menyarankan untuk tidak berhenti menulis kalau
sedang buntu. Kalau itu dilakukan, besar kemungkinan penulis tidak akan pernah
kembali melanjutkan. Setiap hendak melanjutkan sudah langsung mumet melihat
jalan buntu yang menunggunya.
Berhenti sebaiknya dilakukan justru saat sedang lancar dan berapi-api. Di
samping membantu mengendapkan emosi, itu sercara psikologis akan menjaga
semangat untuk meneruskan bekerja.
Unsur cerita secara umum juga masih berlaku, walau kehadirannya sudah
teracak-acak. Bahkan ada yang sama sekali menjungkir-balik dan memperlakukan
berbeda. Dulu cerita memerlukan tokoh, riwayat, alur dan penuturan. Sekarang
cerita masih terpakai, tetapi diacak hancur dan tidak harus memakai unsur-unsur
tadi.
Pernah keindahan bahasa menjadi tujuan utama. Mengarang jadi kehebohan
memberi gincu, memoles dan memasang berbagai asesoris, sehingga yang mau
disampaikan jadi berdandan keren. Bahasa Indonesia dalam masa Pujangga Baru,
misalnya, seperti menari-nari melakukan gerak indah.
Tetapi kemudian digeser oleh Angkatan 45 yang ceplas-ceplos, kasar kadang
cenderung kurang-ajar (Surabaya oleh Idrus), tapi terasa lebih menggigit dan
konkrit. Kekenesan dan kegenitan pun ditinggal. Bahasa penulisan menjadi lebih
dinamis, padat dan berdarah. Bahasa Chairil Anwar, Pramudya Ananta Toer, Utuy
Tatang Sontany dan Mochtar Lubis membuat sastra Indonesia memasuki babak baru.
Mohtar Lubis adalah wartawan terkenal yang menulis dengan mempergunakan
kiat dan pengalamannya sebagai wartawan. Bahasa pers yang dulu dianggap bahasa
berita yang kering, menjadi lain ketika penulis “Jalan Tak Ada Ujung” ini
memberinya muatan.
Tak pernah dipersoalkan sebagai cela lagi, kalau ada pengarang yang menulis
fiksi dengan ketrampilan wartawan. Majalah TEMPO yang didirikan pada tahun
70-an bahkan kemudian menggabungkan bahasa sastra ke dalam pemberitaan,
sehingga bukan hanya bahasa sastra berkembang, bahasa pers juga berubah,
keduanya saling menghampiri.
Pernah tema besar menjadi primadona. Tulisan yang mengangkat tentang nasib
manusia, perang, revolusi dan sebagainya menjadi tiket untuk dianggap sebagai
karya bergengsi. Kita masih terus mengagumi War And Peace karya Tolstoy dan
Dokter Zhivago Boris Pasternak dan Hamlet Shakespearre.
Tetapi cerita kemalangan seorang nelayan kecil dalam The Old Man and The
Sea dari Hemingway pun dianggap luar biasa. Juga penantian Didi dan Gogo dalam
Waiting for Godot karya Beckett dianggap sebagai sebuah fenomena, setelah
pernah lama hanya ditoleh dengan sebelah mata karena seperti dagelan
Pada suatu siang (tahun 70-an) di kantor majalah TEMPO di bilangan Senen
Raya, saya pernah bertanya pada Goenawan Mohamad. Apakah tema besar besar itu
menentukan nilai sebuah karya. Artinya sebuah karya tulisan tidak akan pernah
besar kalau temanya tidak besar. Pemimpin Redaksi Tempo yang juga salah seorang
penyair dan eseis Indonesia kelas satu itu dengan tak ragu-ragu menjawab:
“Tidak.”
Saat itu saya sedang menulis novel “Telegram” dan naskah drama “Aduh”.
Keduanya tidak punya tema besar. Hanya tentang perasaan individu kecil yang
gagap dan kebingungan menghadapi komplekasi kehidupan yang semakin jumpalitan.
Rasa kerdil bahkan nyaris “bersalah” (karena tidak seperti Pramudya Ananta
Toer yang banyak bicara tentang revolusi) segera mendapat angin segar. Perlahan
saya yakini, karya sastra jadinya bukan hanya “tentang apa”, tapi “bagaimana
memaparkan apa itu”.
Menceritakan apa yang ada di sekitar, yang mudah diceritakan, karena kita
menguasainya, tidak lagi terasa tercela. Lebih dari itu menceritakan dengan
sepenuh keberadaan diri kita, dengan segala kelebihan dan terutama
kekurangannya, juga bukan sesuatu yang tercela.
Dalam Telegram saya numpang bertanya lewat tokoh utamanya. “Apakah yang
berhak bercerita itu hanya para pahlawan dengan tindakan-tindakan besarnya. Apa
orang yang bodoh dan tidak tahu, tidak boleh ikut bicara membagikan
pikiran-pikirannya?”
Dalam sebuah Telegram, tokoh utama mendapat telepon dari seseorang yang
tidak dikenalnya dalam bahasa Arab. Saya tertegun waktu itu. Apakah saya harus
menunda tulisan itu sampai saya dapat menuliskan dalam bahasa Arab apa yang
diucapkan oleh yang nelpon? Atau tak perlu menyembunyikan kekurangpengetahuan
saya, karena seorang penulis tak harus orang yang serba tahu.
Saya mengambil resiko, tidak perlu menunggu. Saya tulis ucapan bahasa Arab
itu dengan deretan huruf-huruf yang tidak bisa dibaca, karena bagi telinga
pelaku cerita, dia tidak menangkap makna tapi hanya bunyi.
Dari proses itu saya belajar, menulis adalah “mengambil resiko” . Tanpa
keberanian mengambil resiko hasilnya hanya akan menjadi rata-rata saja.
Memenuhi persyaratan, tetapi tidak orisinal apalagi unik. Dua hal itulah
kemudian yang selalu saya kejar dalam menulis.
Keberanian mengambil resiko tidak datang begitu saja. Pendidikan orang tua
untuk menghormati desiplin membuat saya berwatak patuh. Tak berani melawan
aturan. Itu membuat saya jadi penakut dan pengecut. Tetapi pengalaman keras di
lapangan perlahan-lahan menyeret saya untuk belajar bersikap.
Pada tahun 60-an, saya menulis drama “Dalam Cahaya Bulan” di Yogya. Dalam
drama itu ada yang tidak logis. Pelaku utamanya memberikan pengakuan yang
menyalahi cerita. Pemain yang memainkan tokoh itu protes, mengatakan ucapan
tokoh itu salah. Saya hampir saja tergoda.untuk mengoreksinya.
Tapi kemudian saya bertahan, karena ucapan tokoh tidak harus semuanya
benar. Tokoh utama pun bisa saja tidak jujur. Dia hidup dan merdeka
mengutarakan pikirannya, tak hanya menjadi corong dari penulis.
Mempertimbangkan pembaca dalam menulis selalu mendua. Bisa menjadi
kelemahan, karena itu akan membatasi kebebasan. Tapi dalam keadaan tidak
terlalu bebas, kreativitas akan tertantang, lalu kita terpacu meloncat seperti
dalam lari gawang sehingga hasilnya bisa mengejutkan. Pada awalnya pembaca
menjadi beban, tetapi kemudian ketika beban itu sudah terbiasa, menjadi hikmah.
Saya percaya setiap penulis adalah sebuah dunia mandiri yang menempuh
jalannya sendiri. Ia memiliki banyak persamaan dengan orang lain, tetapi itu
tidak penting. Yang menentukan adalah perbedaan-perbedaannya.
Keunikannyalah yang akan menjadikan produknya menonjol di tengah karya
orang lain. Penulis bukan sebuah pabrik, meskipun produktif. Berbeda dengan
kerajinan yang berulang-ulang dibuat, produk tulisan selalu berbeda karena ia
menyangkut ekspressi..
Setiap penulis akan menyusun teorinya sendiri. Proses kreatif itu tidak
untuk ditiru apalagi diberhalakan, meskipun boleh saja dicoba oleh orang lain.
Pengalaman bekerja penulis lain, dapat jadi perimbangan yang mempercepat proses
pembelajaran menulis. Tetapi bisa juga jadi bumerang kalau kemudian diterima
sebagai sebuah idiologi.
Sastra punya potensi untuk menghibur, namun bukan hiburan. Novel, cerpen,
puisi, esei dan sebagainya adalah kesaksian, perenungan, pemikiran dan
pencarian-pencarian pribadi tetapi menjadi obyektif ketika berhasil menyangkut
kebenaran banyak orang. Akibatnya sastra tidak bedanya dengan bidang yang lain,
sastra adalah ilmu pengetahuan. Tak selamanya upaya pencarian sastra berhasil.
tetapi setiap kegagalan adalah sebuah janji.
Karenanya “menulis” bukan sesuatu yang mudah. Tidak seperti yang dikatakan
oleh Arswendo: Mengarang Itu Gampang, juga tidak sama dengan apa yang dikatakan
dosen penulisan di UI, Ismail Marahimin, bahwa “mengarang itu fun”.
Mengarang - bagi saya - adalah sebuah peristiwa yang khusuk, sunyi, pedih,
melelahkan, menyakitkan, membosankan. Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan,
menulis menjadi sebuah peristiwa yang “menegangkan” tetapi indah dan sakral.
Menulis selalu menjadi sebuah pengembaraan baru yang membuat saya
tertantang sehingga tak ada saat untuk tidak menyala. Meskipun saya tak pernah
melihat nyala itu, tetapi dari apa yang dilakukan para penulis sebelumnya,
jelas betapa jilatan pikiran mereka tetap mengibas ke masa-zaman yang akan
datang hingga membuat kehadiran berarti.
Buat saya, menulis adalah
menciptakan “teror mental”. Tetapi konsep itu akan saya tinggalkan
setiap saat kalau ada kebenaran lain yang membuktikannya salah.
*Zaenal Radart__dari berbagai sumber
0 comments:
Posting Komentar