Mamat Metro

Mamat Metro

Papaku Sopir Taksi

        Cerpen  Zaenal Radar T.
u      Dimuat di tabloid LOE ! , Edisi 07/ Th 1/ 13 Februari 2006


Papaku seorang sopir taksi.  Aku dan papa tinggal berdua saja di sebuah rumah type sederhana kompleks perumahan pinggir Jakarta..  Sejak mama meninggal dunia, papa yang menggantikan tugas mama sekaligus menjadi tulang punggung keluarga.  Papa adalah seorang lelaki gigih, dan aku bangga padanya.  Apapun yang kuinginkan, selalu ia turuti.  Namun begitu, aku tak pernah menuntut macam-macam.  
photo: www.okezone.com
Aku sadar, penghasilan papa sebagai sopir taksi tidak terlalu besar untuk standar hidup di kota Jakarta ini. Papa mesti bayar cicilan rumah, rekening listrik, telpon, PAM, dan kebutuhan lain yang lebih penting. Tentu aku paham benar, bila aku harus menyingkirkan  kebutuhanku yang kurang penting.  Sehingga sejak kelas tiga SMP, aku membantu papa dengan cara menjadi penulis cerpen.  Lumayanlah, aku tak perlu merogoh kocek papa bila aku kepingin beli buku atau ke bioskop.  Apalagi bila harus ke salon, untuk sekadar creambath.
Untuk urusan berdandan, aku memang tidak seperti teman-teman dekatku.  Tetapi aku kadang ingin juga seperti mereka.  Punya banyak baju, gonta-ganti model rambut, atau apa saja, yang menjadi kebutuhan cewek SMU sepertiku.  Memang sih, semua teman-teman tak tahu kalau papaku seorang sopir taksi.  Aku sendiri merahasiakannya. Papa yang minta kalau aku tak perlu menceritakan pekerjaan papa sebenarnya.  Jadinya, menurut teman-teman, aku tidak bedanya dengan mereka, yang orangtuanya punya jabatan di  perusahaan. 
Dan sesungguhnya, teramat berat mengikuti gaya dan selera teman-temanku. Sehingga aku mesti menghindar bila merasa tak mampu mengikutinya.  Pesta ulang tahun,  belanja di mal, nongkrong di kafe, adalah sedikit hal dari banyak kebiasaan teman-teman yang harus kuhindari.  Bagiku berat diongkos.  Aku memilih tinggal di rumah, membaca buku atau menulis cerpen.  Bila suntuk, biasanya aku tidur atau menonton televisi.
Namun tak jarang, bila aku suntuk di kamar dan bosan mengerjakan apa pun, aku menghubungi papa.  Papa akhirnya mengajakku jalan-jalan keliling Jakarta.  Papa sendiri yang mengusulkan, kalau aku tak perlu sungkan menyuruhnya menemaniku, bila aku merasa kesepian di rumah.
“Papa akan mengantar kamu ke mana saja!” canda papa, suatu sore ketika aku berada di dalam taksinya.
“Bagaimana kalau kita keliling dunia!” kataku.
“Oke, wong taksi ini bisa terbang, kok! Kita mulai dari mana?!”
“Dari Blok M!”
“Tapi, kamu yakin nggak, kalo bumi ini bulat, dari Blok M nanti kita akan kembali di Blok M lagi?!”
“Justru itu, pa.  Tary khawatir, kita berangkat dari Blok M, nanti kembalinya di Madagaskar!”
“Huahaha!!!” kami tertawa bersama-sama.
Demikianlah aku dan papa.  Kami kadang tak terlihat sebagai papa dengan putrinya.  Mungkin banyak orang mengira, kalau aku seorang penumpang taksi dengan sopirnya.  Tidak lebih dari itu.
“Tujuannya ke mana, mbak?!” canda papa, di lain kesempatan, ketika aku minta diajak keliling-keliling Jakarta.
“Saya kepingin ke tempat terindah yang belum pernah dijamah orang!”
“Baik!”
“Bapak tahu?!”
“Tentu, dong!”
“Ke mana, coba?!”
“Kuburan!”
“Paap!!! Kok, kuburan siih?!” meski bercanda, aku  kesal juga sama jawaban papa waktu itu.
“Yang indah-indah itu cuma ada di Surga, sayang. Dan katanya, kita baru bisa melihat surga kalau sudah berada di kuburan. Orang yang tak pernah merasakan berada di dalam kuburan, tak bakal pernah merasakan surga!”
Akhirnya aku diam saja.  Kupikir, papa jagonya urusan berdebat. 
Tetapi di lain waktu, ketika papa kembali menemaniku berkeliling-keliling kota, aku kembali mencandainya.
“Sudah lama narik taksi, pak?” sapaku, sambil senyam-senyum.
“Lumayan, mbak.  Mungkin seumuran mbak.”
“Memang umur bapak berapa?” candaku lagi.
“Seumur papa si mbak, deh!”
“Punya anak berapa?”
“Satu, seumuran mbak, cantiknya bukan main!”
Hehehe, kala itu aku nggak marah.  Meski bercanda, hati ini jadi berbunga-bunga.
Di lain waktu, ketika pulang sekolah, aku diantar Panji. O’ya, aku belum cerita tentang Panji. Panji ini anak kelas III IPA yang perhatian banget ke aku.  Senang juga sih dapet perhatian dari cowok sekeren Panji.  Tapi kadang aku jadi nerveous jalan sama Panji.  Masalahnya, aku tahu Panji itu anak gedongan!  Semua anak seisi sekolahan pun tahu kalau bokap si Panji ini seorang pengusaha sukses. Aku jadi merasa tak enak bila Panji mengantarku pulang.  Apalagi dengan koleksi sedan-sedannya yang bagus.
“Kamu boleh nganter saya pulang.  Tapi jalan kaki aja, gimana?” tantangku pada Panji, ketika Panji maksa-maksa hendak mengantarku pulang.
“Oke, saya setuju!”
“Kamu mau naik bus sama saya?!” aku nggak percaya.
“Mau!!”
Siang itu aku dan si ganteng Panji pulang berdua.  Baru kali ini mungkin Panji pulang naik bus kota.  Tapi, ketika kami tiba di halte bus, Panji tampak keheranan.  Bus kota yang padat membuat dahinya berkerut-kerut.
“Kamu tiap hari kayak gini, Ry?!” tanya Panji, ketika kami masih di halte bus.
“Saya sudah biasa, Ji!”
Panji geleng-geleng kepala. Dan pada saat bus berhenti, Panji menarik lenganku, nggak mau naik bus itu.
“Kita naik taksi aja!” kata Panji.
“Naik taksi?!”
“Ya!  Tuh, ada taksi.  Taksiii...!  Taksii...!” Panji menghentikan sebuah taksi yang tengah melintas.  Akhirnya kami naik taksi.
“Ke mana anak muda?!” tanya si sopir, sambil memegang kemudi.  Suara itu sangat kukenal.  Karena sudah biasa aku dan si pemilik taksi ini saling bercengkerama. Boleh jadi, soalnya sopir taksi itu papaku!
“Ke... kemana, Ry?!” tanya Panji padaku, mengulang pertanyaan si sopir taksi.
“Ke... ke... ke jalan Beringin, pak!” kataku, malu-malu.
“Jalan Beringin? Oke!!” sopir taksi itu tampak terlihat senang.
Sepanjang perjalanan itu aku merasa tak nyaman. Aku bicara seperlunya saja.  Sebab aku malu pada papa.  Sialnya, Panji terus saja menanyaiku!
“Papa kamu marah nggak, kalau kamu saya antar?” tanya Panji.
“Tergantung.”
“Waduh, saya jadi takut, nih!”
“Tenang... papaku orangnya baik.  Paling baik se-dunia!”
Kulihat di kaca spion tengah, papa tampak tersenyum.
“Bener, papa kamu nggak galak!”
“Emang papaku macan, apa?!’
“Hehehe...” Panji ketawa.
Ku lihat di spion, si sopir senyam-senyum lagi.
“Ngomong-ngomong, boleh tahu nggak, papa kamu kerja di mana?!”
Aku garuk-garuk kepala.  Kayak orang yang belum kena sampoo seminggu.
“Ee... papaku...” aku tak sanggup berbohong pada Panji.  Tapi ketika kulirik kaca spion, si sopir tampak tersenyum-senyum terus.
“Kayaknya si Non ini putrinya pak Sudrajat, ya?!” tiba-tiba si sopir buka suara.
“Ee..., saya kan tetangganya pak Sudrajat?!” lanjut si sopir taksi.
“Be... bener, pak!  Bapak...?” akhirnya aku pun pura-pura tak kenal pada papaku sendiri!
“Nama bapak Tommy.”
“Jadi pak Tommy ini tetangga sebelah Tary?!” sela Panji.
“Begitulah.”
Tak lama kemudian taksi tiba di jalan Beringin. Pembicaraan pun terhenti.  Panji membayar argo taksi, dan di terima pak sopir dengan malu-malu.
“Terima kasih, selamat siang!” ucap pak sopir, sambil mengerlingkan kedua matanya padaku.
Siang itu udara cukup sejuk karena cuaca mendung.  Panji tampak senang berada di rumahku yang sederhana.  Setengah harian ia berada di rumahku.  Sebentar-sebentar pandangannya melihat ke sekeliling ruangan, pada buku-buku, buffet, atau foto-foto yang terpajang.  Ia lihat satu persatu dengan seksama, dan terus meluncur kata-kata pujian dari mulutnya.
“Wah, rumah kamu asyik ya, Ry!”
“Yah, beginilah.  Aku yang harus mengatur semuanya.  Habis, aku kan cuma tinggal sama papa.”
“Tapi Ry...” Panji berhenti sebentar, ketika lamat-lamat memperhatikan salah satu foto yang terpampang di dinding itu.
“Kayaknya... saya kenal dengan orang ini...?”
Aku lemas mendengar kata-kata Panji.  Dan tak sanggup lagi berkata-kata.  Sepertinya, aku memang harus jujur padanya!  Seperti kata hatiku, yang tak mau berbohong tentang apa yang dilakukan papaku.
“Dia papaku.  Sopir taksi yang tadi mengantar kita!” tukasku, begitu lancar.  Aku menunduk, menunggu apa reaksi Panji setelah mendengar pengakuanku.
Lalu Panji menatapku, mengerutkan dahinya. Mungkin pikirannya sibuk bertanya-tanya, tentang apa yang barusan kukatakan.
“Apa, Ry...?!”
“Maaf, Ji.  Tadi saya nggak jujur ke kamu!”
“Ee...” Panji seperti kebingungan mengucapkan kata-kata.  Namun begitu, ia menyunggingkan senyumnya. “Jadi... sopir taksi tadi papa kamu!?”
“Ya,” tukasku cepat, namun masih malu-malu.
Lantas suasana menjadi hening.
“Kok diem?!  Kenapa? Malu, ya!?”
“Panji!! Kamu kok ngomong kayak gitu?!”
“Habis, kamu kelihatan aneh!  Memangnya kalo papi kamu sopir taksi, saya jadi lain ke kamu?  Begitu?!” ucap Panji, mengeluarkan kata-kata yang tak pernah kuduga sebelumnya.
“Maaf, Ji.  Saya...”
“Udah deh, Ry!  Kamu malu ya, punya bokap sopir taksi?!”
“Nggak!  Nggak! Siapa bilang saya malu!?”
“Kirain!  Kalo kamu nggak malu, saya kepingin kita jalan-jalan sama papa kamu sore ini!  Bisa?!”
“Hah!?”
“Kalo kamu malu, ya nggak usah!”
“Saya nggak malu, Panji!  Oke deh, saya akan telpon papa sekarang!”
Sore itu juga aku telpon papa, melalui operator taksi seperti biasanya, dan menyuruhnya menjemputku di rumah. Kebetulan  papa sedang tak ada penumpang.  Tak lama, taksi papa meluncur di halaman rumah.
“Mau diantar ke mana, non!?” tanya papa, masih tampak pura-pura, seperti tadi siang.
“Kita ke Blok M, pak!” potong Panji.
“Oke, oke!” ucap papa, sambil membuka pintu penumpang.
Nggak lama kemudian, taksi pun meluncur menuju Blok M.  Di sepanjang perjalanan, papaku terus saja mengoceh.  Terang aja, papa kan belum tahu kalau Panji sudah mengetahui siapa sesungguhnya papa!
“Asyik ya non, sore-sore begini jalan-jalan!” ucap papa, masih dengan nada sok akrab.
Aku diam saja.
“Yang enak, kita makan di mana?!” tanya Panji, mengusik keterdiamanku.
“Nanti deh, kita cari makanan yang enak!”
“Saya tahu non, tempat makanan yang paling enak!” potong pak sopir.
“Ya, sudah.  Antar kami ke sana!” kata Panji, sambil tersenyum melirikku.  Aku pun tersenyum pada Panji.  Sebentar lagi papa pasti terkejut.  Hihi, baru kali ini aku bisa ngerjain papaku!***
*) Pamulang, 2003-2005
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...