Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber: majalah KaWanku No.42, 16-22 Oktober 2006
Sumber: majalah KaWanku No.42, 16-22 Oktober 2006
Gbr: www.jilbabinstan.net |
Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Allahu Akbar...
Laa ilaahaillahu Allahu Akbar...
Allahu Akbar Walilahilham...
Takbir
menyambut lebaran terdengar dari seluruh pelosok. Gemanya mulai terdengar saat
mendekati waktu malam. Menusuk-nusuk sampai jauh ke relung hati terdalam.
Merobek-robek rasa khusuk diakhir ramadhan. Menciptakan kedamaian. Melegakkan
bathin. Salut pada kebesaran Tuhan, atas segala karunia dan kemurahan. Tiada waktu sebahagia seperti saat berada di
malam lebaran...
Kendra merasakannya. Kendra bersyukur
bisa menjalani ibadah puasa sebulan lamanya, meskipun harus bolong tiga hari.
Kendra berjanji akan membayar hutang puasanya nanti, setelah lebaran. Memang
ada saja godaan puasa buat anak perempuan, sebab kalau datang bulan tidak
diwajibkan berpuasa.
Meskipun begitu Kendra tetap senang
menyambut malam lebaran. Hanya saja, kenapa lebaran kali ini Kendra harus
sendirian...? Ini cuma pilihan. Kendra memilih tinggal di rumahnya di Jakarta,
sementara semua keluarga pulang ke kampung halaman di ujung barat pulau
Jawa. Melakukan semacam ritual tahunan,
dimana setiap hari raya Idul Fitri berkumpul bersama seluruh keluarga besar.
Bersalaman dan saling bermaaf-maafan. Dengan Kakek, Nenek, Paman, Bibi,
keponakan, sepupu, dan lainnya.
Sejak awal ramadhan, Kendra sudah
bertekad akan merayakan lebaran sendirian di rumah. Meskipun Papa dan Mama
merayu-rayu untuk mengajak serta pulang kampung, Kendra bersikeras pada
pendiriannya. Kendra hanya ingin merasakan, bagaimana menikmati lebaran di
rumah sendiri. Kendra bosan dengan rutinitas tahunan, dimana setiap orang yang
tinggal di Jakarta harus mudik ke kampung halaman. Setiap kali menyalakan tipi
atau membaca koran, Kendra suka tertawa sendiri melihat orang-orang luar
Jakarta yang dianggapnya bodoh! Saling desak-desakan di terminal. Berjubelan di
stasiun kereta api!
Apa bedanya berlebaran di Jakarta atau
di kampung halaman? Kendra tak habis pikir, termasuk pada keluarganya sendiri,
yang senang sekali dengan mudik sebagai rutinitas tahunan. Jelas aja Kendra
menolak ajakan mereka, karena ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, kalau ia
ingin merasakan lebaran di rumah.
“Sekali-sekali Kendra mau ngerasain
lebaran di sini, Pap, Mam...” ucap Kendra waktu Papi dan Maminya merayu-rayu
pulang kampung, seminggu sebelum hari raya lebaran.
“Ken, nanti kamu sama siapa? Atau kamu
sama Om Malik saja deh, dia kan rencana mudik hari lebaran kedua. Gimana, Ken?”
tanya Mami, dengan tatapan khawatir.
“Mam, Kendra kan udah gede. Mami sama
Papi nggak usah kuatir deh!” kataku, meyakinkan.
“Ya udah kalo emang itu mau kamu. Tapi
inget lho Ken. Kamu akan sendirian. Mbok Juju sudah mudik sejak kemarin. Mang
Karsa juga besok mau pulang kampung. Nah, kalo
kamu tetep tinggal di rumah, berarti nggak akan ada yang nemenin kamu.
Nggak ada yang melayani kamu minta ini itu...”
“Nggak apa-apa deh Mam. Ken bisa bikin
sendiri, atau beli di resto yang deket-deket sini. Ken nggak bakalan susah deh.
Ini Jakarta Mam, yang segalanya serba gampang. Heheh...”
“Ya udah, terserah kamu Ken!” Mami
akhirnya kesal sendiri.
Kendra masih mengiat-ingat kejadian
itu, saat tengah sendirian. Tadi sore Om
Malik menelpon, menyuruh Kendra ke rumahnya. Tetapi Kendra menolak.
Rupanya Kendra mau bikin janji sama Arnet, siapa tahu do’i juga lagi kesepian
seperti dirinya. Ternyata telpon Arnet nggak diangkat-angkat. Henpon-nya juga
nggak aktif. Lalu Kendra menghubungi temen-temen lain, namun semua telpon seolah-olah diblokir.
Sementara itu hari semakin beranjak malam. Lantunan gema takbir menyambut hari
raya Idul Fitri masih terus terdengar. Perut Kendra mulai keroncongan. Kendra
menelpon resto cepat saji, tapi nadanya sibuk terus. Akhirnya Kendra memutuskan
pergi ke resto yang tak jauh dari rumahnya.
Kendra naik motor bebek, satu-satunya
kendaraan yang masih tersisa di rumah. Papi dan Mami membawa mobil keluarga,
sedangkan mobil dinas Papi dititipkan di kantornya. Pikir Kendra, tak apalah
naik motor bebek. Kendra bisa menikmati malam takbiran yang lumayan meriah di
sepanjang jalan raya kota.
Setibanya di resto, ternyata semua
makanan sudah habis. Beberapa resto lainnya bahkan sudah tutup karena libur
lebaran. Kini perut Kendra sudah bukan lagi keroncongan., tapi mendadak
dangdut. Usus seperti digoyang ngebor, goyang patah-patah, sampai kepada goyang
gergaji! Lapar berat!!
Tapi apa mau dikata. Kendra tak
menemukan resto yang masih buka. Akhirnya ia putuskan membeli makanan kecil di
sebuah mini market yang masih buka. Kendra berharap biskuit dan susu kotak
mudah-mudahan bisa mengganjal perutnya.
Sambil mengunyah biskuit dan susu
kotak, Kendra berpikir bagaimana ia akan menghadapi lebaran esok hari. Kalau di
kampung halaman, biasanya Kendra dan Papi-Mami mengikuti shalat Idul Fitri
berjamaah di sebuah tanah lapang dekat rumah kakeknya. Setelah shalat,
berkeliling kampung saling bersalam-salaman dengan para tetangga serta sanak
saudara. Menu ketupat sayur dan rendang goreng menjadi menu andalan keluarga
besarnya. Itulah gambaran kejadian, kalau Kendra ikut pulang kampung. Nah,
kalau di rumahnya ini, apa yang harus Kendra lakukan? Kendra masih belum tahu.
***
Kendra terbangun saat terdengar gema
adzan subuh. Kendra malas-malasan saat harus mandi. Beberapa menit kemudian Om
Malik datang membawa sarapan pagi. Om Malik sempat menggerutu pada Kendra,
karena harus melayaninya. Om Malik mendapat perintah dari Mami Kendra, yang
khawatir kalau-kalau Kendra kebingungan mau sarapan dimana.
“Kamu nyusahin Om aja, Ken! Nih,
sarapan buat kamu! Nanti sore Om pulang ke Banten, karena pekerjaan Om udah
selesai. Terserah kamu mau ikut apa nggak! Ntar kamu shalat di masjid Agung
dekat sekolah kamu saja. Terus kalau kamu minat pulang kampung sama Om, kamu
telpon Om aja...”
Om Malik pun pergi, menyisakan
kegundahan di hati Kendra. Kendra sebal mendengar ocehan Om Malik yang ia
anggap cerewet itu. Tapi biar gimana, Kendra patut bersyukur memiliki Om yang
baik seperti Om Malik. Om Malik seorang jurnalis televisi yang suka kerja di
hari lebaran. Dan menurut jadwal, Om Malik sudah selesai meliput acara malam
takbiran di dekat tugu Monas. Setelah tugasnya selesai, ia berencana menyusul
pulang kampung.
Kendra tak mempedulikan Om Malik.
Selepas shalat Idul Fitri, Kendra keluar rumah, hendak main ke rumah Arno atau
Chelsea, teman sekelas yang tinggal satu kompleks dengannya. Tapi setelah
mengingat-ingat pesan keduanya seminggu lalu, Kendra baru nyadar kalau Arno dan
Chelsea berlebaran di rumah nenek mereka. Waduh!
Kendra masih berusaha membuat acara
sendiri. Beruntung Kendra gemar naik motor bebek, sehingga bisa mengisi waktu
buat keliling-keliling melihat-lihat suasana hari lebaran. Kendra berkeliling
kompleks dan bertemu dengan bapak-bapak satpam yang bertugas menjaga
lingkungan. Diantaranya Pak Ramses, satpam yang paling genit dan suka
senyam-senyum kalo ketemu Kendra. Ih, jijay banget tuh orang!
Selain Pak Ramses... (Ih, kok jadi
ngebahas Pak Ramses, seh!) Kendra menemukan rumah-rumah yang kosong karena
ditinggal mudik pemiliknya. Suasana kompleks perumahan tempatnya tinggal
benar-benar sepi seperti areal pekuburan.
Kendra tidak hilang akal. Kendra menyusuri jalan raya kota,
melihat-lihat suasana lebaran di sana. Ternyata, sepanjang perjalanan,
kelengangan yang ia temukan. Sungguh berbeda dari hari biasanya yang macet! Ada
juga asyiknya berlebaran di Jakarta! Jalanan lancar. Oh, seandainya bisa tiap
hari seperti ini. Sayangnya... Kendra bingung mau ke mana? Semua sohibnya
mudik!!
***
Om Malik sudah pulang kampung duluan.
Kendra bingung setengah mati, padahal dia juga kepingin banget! Kendra kesal
sama Marcel, yang katanya mau menemaninya kalau lebaran. Ternyata Marcel malah
pulang ke Solo!!! Ugh!!
Telpon berdering. Kendra mendapat
telpon dari Mami yang lagi berkumpul sama keluarga besar di kampung. Mami
bilang kalo Mami udah menyuruh seseorang buat memantau Kendra. Mami sangat
khawatir sekali.
Setelah menutup telpon, bel rumah
Kendra berbunyi. Kendra segera membuka pintu. Seorang lelaki setengah baya
berpakaian satpam tersenyum hingga gigi-giginya yang kuning nampak. Dia adalah
Pak Ramses, Satpam kompleks permuhaan yang ramah itu.
“Maaf non Kendra, kata Maminya si non,
Pak Ramses disuruh nemenin Non. Itu juga kalo non perlu ditemani...” ucap Pak
Ramses.
“Maaf Pak Ramses. Nggak usah
repot-repot. Kendra nggak apa-apa kok sendiran. Makasih ya...”
Kendera segera menutup pintunya, dan
menggeram kesal.
“Tau-tau begini, mending gue pulang
kampung!” sungut Kendra, sambil berjalan kesal menuju kamarnya. Mau ngapain??
Ya apalagi kalau bukan tidur.
***
Karena kesal, Kendra nekad menyusul
pulang kampung sendirian pas lebaran ketiga. Sepanjang perjalanan pulang,
Kendra merutuki kebodohannya. Tahu-tahu begini, Kendra ikutan pulang kampung.
Kendra menumpang bus kota jurusan Serang, Banten. Kampung halamannya memang
tidak begitu jauh dari Jakarta. Tapi Kendra males pulang kampung!
Kendra tiba juga di kampung halamannya
dengan susah payah. Biasanya Kendra menumpang papi, nggak nge-bus kayak gini.
Setibanya di rumah nenek, semua keluarga besar Kendra yang masih tinggal di
rumah nenek terkejut.
“Kendra... Papi sama Mami kamu kan udah
pulang ke Jakarta tadi pagi...?”
Kendra tersenyum, tapi sebenarnya
senyum yang dipaksakan...
“Heheh, nggak apa-apa kok. Kendra kan
pingin lebaran sama Kakek dan nenek...”
“Duh, kirain urang lupa sama
kakek. Nih, kakek persen kamu... “ ucap kakek, sambil memberikan amplop buat
Kendra.
Saat sendirian, Kendra membuka
amplopnya, dan harap-harap cemas. Hmm... lumayan dapat cek, pikir Kendra.
Soalnya, kakek kan baru aja jual tanah hektaran. Kakek banyak duitnya, meski
kelihatannya biasa-biasa saja dan sederhana. Kendra tersenyum waktu membuka
amplop, mendapati lembaran sepuluh ribu rupiah!
“Uuuh,
bener kan? Kakek tuh emang pelit abis!!” Kendra marah-marah sendiri.
Kendra nggak tau kalo kakek mengintipnya dari balik pintu. Sewaktu kakek
membuka pintu, kendra tengah meremas-remas amplop itu. Kendra jadi nggak enak
hati.
Tapi kakek nampak tersenyum. Kakek
membawa sesuatu dari balik bajunya. Kakek memberikan sebuah benda yang selama
ini Kendra inginkan.
“Ini Ken, kakek beliin komputer kecil.
Ini yang paling mahal. Tiga puluh dua juta, lho...!” ucap kakeknya.
“Keeeek... ini namanya laptop!”
“Apalah namanya! Kamu seneng, kan?”
“Seneng dong! Uuuh, kakek baik banget
deh!”
“Kok, perasaan tadi ngomongnya nteu
kayak gini? Tadi... urang bilang kakek pelit, bukan?”
“KAKEK BAIK, TAUUUU! MMMMUAAAHHH...”
Kendra menciumi pipi kakeknya. Kendra
merasa inilah hari lebaran yang indah. Malamnya, Kendra mengetik di laptop
barunya. Kendra mau buat cerita tentang dirinya di hari lebaran. Siapa tahu
pengalamannya bisa dibaca banyak orang. Apa yah...judulnya? Hmmm, gimana
kalo... LEBARAN SENDIRIAN...?
Siiiip!
*)
Pamulang, 2006
0 comments:
Posting Komentar