Mamat Metro

Mamat Metro

Kisah Sedih Di Hari Lebaran

*) Zaenal Radar

Sumber: Majalah kaWanku, No. 19/XXXIV/ 1-7 November 2004

Gbr: fotogambar.info



“Kenapa ya, setiap bulan ramadhan datang Ibu selalu kelihatan bingung...?” Tatut bertanya-tanya sendiri dalam hati.

“Uh, mungkin karena ibu memikirkan baju baru adik-adikku? Dan keperluan lain untuk hari lebaran nanti? Sementara itu... pada bulan puasa pendapatan ibu berkurang...” Tatut masih bicara pada dirinya sendiri.



***



Tatut menetap di sebuah kompleks perumahan sederhana. Ia tinggal bersama seorang ibu dan tiga orang adik. Ayah Tatut sudah lama meninggal dunia. Adik-adik Tatut masih kecil-kecil. Yang terbesar bernama Tino, saat ini kelas satu SMP. Yang tengah bernama Rani, saat ini kelas enam SD. Dan yang paling kecil bernama Riri, kelas tiga SD.

Pekerjaan ibunya sehari-hari adalah membuka ketering kecil-kecilan. Ibu menawarkan kateringnya pada tetangga-tetangga. Pada bulan ramadhan, otomatis tak ada pesanan katering pada siang hari. Karena para tetangganya berpuasa.

Suatu sore Tatut mendatangi ibunya yang tengah menyiapkan katering untuk esok hari.

“Mulai lusa kita tidak lagi sesibuk hari ini. Karena sudah masuk bulan puasa.  Pesanan katering kita cuma untuk sore, saat waktu buka puasa.  Itu pun tidak banyak,” ucap ibu pada Tatut.

Tatut hanya bisa mengangguk. Ia melihat kesedihan di mata ibunya. Tatut masih teringat pada kejadian menjelang lebaran tahun lalu. Waktu itu ketiga adiknya yang masih belum mengerti, merengek-rengek minta dibelikan baju baru sebelum hari lebaran tiba. Terpaksa ibunya  menghutang pada Pak Dono, seorang tetangganya yang baik hati.

“Ibu bingung, apakah setiap lebaran kita harus menghutang?” tanya Ibu lagi, pada Tatut yang tengah melamun.

Tatut menghela nafas yang begitu sesak di dadanya. Tatut paham. Dengan berkurangnya pesanan katering, yang berarti mengurangi pendapatan, Tatut sangat mengerti akan beban yang dipikul ibunya. Tatut sendiri tak pernah menuntut macam-macam. Ia rela tidak dibelikan baju baru seperti kawan-kawannya. Ia mengalah pada ketiga adiknya.

“Ibu minta maaf sama kamu, Tut. Setiap lebaran ibu nggak pernah bisa membelikan kamu baju baru...” ibu semakin memperlihatkan kesedihan.

“Ibu... Ibu nggak usah mikirin Tatut. Tatut bukan anak kecil lagi, Bu. Justru Tatut yang malu sama Ibu. Tatut minta maaf, selama ini nggak bisa bantuin Ibu...”

“Tut, selama ini kamu sudah sangat membantu Ibu, nak. Ibu yang seharusnya  minta maaf sama kamu. Gadis seusia kamu seharusnya cuma mikirin pelajaran sekolah, tidak ikut-ikutan memikirkan nafkah keluarga...”

“Iya, bu. Coba kalau Bapak masih ada, ya bu...”

Mendengar Tatut menyinggung nama Bapak, Ibunya meneteskan airmata. Ibu sedih sekali bila ingat Bapak. Waktu Bapak masih ada, keadaan jauh lebih baik. Bapaknya Tatut adalah seorang sopir petinggi sebuah perusahaan besar. Meski tidak hidup berkecukupan, Tatut dan keluarganya tidak pernah kekurangan.

Kematian Bapak terjadi pada malam lebaran.  Saat orang-orang bertakbiran, keluarga Tatut berkabung. Bapak Tatut mengalami kecelakaan lalulintas dan meninggal dunia saat dibawa ke rumah sakit. Waktu itu penguburan dilakukan pada hari raya idul fitri.

“Maaf, Bu. Tatut nggak bermaksud membuat Ibu sedih. Tatut sebenarnya ingin sekali membantu Ibu.. Tapi Tatut nggak tahu caranya...” Tatut mengusik lamunan Ibunya tentang almarhum Bapak.

“Iya, Tut... Yang penting kita harus terus berusaha dan bersabar...”



***



Ketika memasuki bulan suci ramadhan, pekerjaan Ibunya Tatut memang benar-benar berkurang.  Para tetangga yang biasa memesan katering pada siang hari berhenti berlangganan selama satu bulan. Sementara yang biasa memesan untuk berbuka puasa tidak banyak. Nampaknya keadaan jauh lebih buruk dari yang diperkirakan.

Adik-adiknya sudah mulai menuntut. Ada yang merengek minta dibelikan sepatu baru. Ada yang minta baju merek ini atau merek itu. Dan ada yang minta jalan-jalan ke Kebun Binatang atau ke tempat-tempat wisata lainnya di hari lebaran nanti. Semua itu dijawab Ibu dengan janji-janji.  Meski bingung memikirkan hari-hari lebaran nanti, Ibu tetap terlihat tegar dimata anak-anak.

Ada satu kejadian saat lebaran dua tahun lalu. Ketika itu Ibu dan Tatut membantu Pak Dono menangani usaha kue keranjang. Pak Dono memberikan imbalan cukup besar. Namun saat malam lebaran, salah satu adik Tatut, yakni Tino, kena petasan. Upah pemberian dari Pak Dono itu habis digunakan untuk biaya rumah sakit.

Sayangnya sekarang ini Pak Dono sudah tak lagi membuat usaha kue keranjang seperti lebaran yang sudah-sudah. Sehingga Ibu dan Tatut harus mencari jalan agar lebaran tahun ini bisa memenuhi kebutuhan keluarga.

Tatut merenungi nasib yang menimpa diri dan keluarganya. Sejauh ini Tatut sudah merasakan tekanan. Padahal lebaran semestinya disambut dengan kegembiraan.

Beberapa teman-teman sekolahnya merasa kasihan melihat Tatut yang sering melamun.

“Tut, kenapa sih, sering bengong gitu?” usik Via, teman sekelasnya.

“Eh, nggak!  Nggak pa-pa!”

“Nilai ujian kamu kan selalu bagus!  Kenapa sih, murung melulu!” lanjut Via.

“Iya, Tut. Apalagi si Ade tuh nanyain kamu terus! Tau nggak, dia kepingin buka puasa di rumah kamu!”  tambah Cinta, yang selalu memuji-muji kecantikan Tatut.

Tatut hanya tersenyum menanggapi ucapan teman-temannya. Apalagi soal cowok yang bernama Ade. Tatut menyadari, bukan cuma Ade si cowok tajir itu yang tertarik padanya. Tidak sedikit cowok-cowok di sekolahnya yang suka menggoda, dan seringkali ingin mampir ke rumahnya. Tapi Tatut selalu menghindar. Tatut takut ibunya marah.

Pernah suatu ketika Ibu melihat Tatut tengah berjalan bersisian dengan salah seorang cowok di sebuah jalan menuju rumahnya. Ketika itu Ibunya pulang dari mengantar katering pesanan. Ibu marah-marah pada Tatut. Ibu bilang, Tatut harus belajar yang rajin dan menjadi panutan adik-adiknya. Tatut tidak boleh dekat-dekat dengan yang namanya lelaki.

Tatut menuruti kata-kata Ibunya. Tatut tak pernah berani membantah kemauan perempuan yang selama ini menjadi perempuan kebanggaanya. Namun begitu, sebenarnya Tatut ingin sekali memiliki seorang teman cowok seperti sahabat-sahabatnya di sekolah.

“Eh, bengong lagi!” Via kembali mengusik lamunan Tatut.

Tatut hanya tersenyum sambil memberikan perhatian pada teman-temannya.

“Iya, iya...  kenapa sih? Aku lagi bingung nih...”

“Bingung sih boleh aja, Non... Tapi jangan lama-lama. Cukup dua detik aja!” canda Via, sambil mencubit lengan Tatut.

“Hehehe...” akhirnya Tatut tertawa.

“Oke, sekarang kita-kita mau nanya, kenapa sih kamu bingung?  Biasanya orang mau lebaran itu kan seneng. Meskipun sebulan ini kita puasa, tapi pasti seneng karena diakhir puasa kita bisa merayakan kemenangan pada hari raya lebaran! Iya, kan?”

“Iya, kamu bener. Yang jadi masalah... saya nggak seperti kalian. Kalian kan nggak tau gimana keadaan ekonomi keluarga saya...”

“Lho, ibu kamu kan buka usaha katering. Kenapa jadi bingung?” Via melotot.

“Kan bulan puasa ini ordernya berkurang...”

“Berkurang?”

“Iya, Vi. Di bulan puasa siapa sih, yang pesen katering. Cuma segelintir orang aja. Paling buat buka puasa. Itu pun nggak banyak...”

“Eh, di bulan puasa kan orang bukan cuma makan saat berbuka. Ada juga makan sahur. Iya, kan?” sela Cinta, sambil mengelus rambut Tatut yang bagus.

Tatut menatap wajah Cinta dan Via secara bergantian.

“Lho, kok jadi sinis gitu, Tut?!”

Tatut manggut-manggut.

“Saya ada ide!” ucap Tatut akhirnya.

Setelah itu Tatut permisi pada Via dan Cinta, membuat keduanya yang gantian bengong.  Untungnya cuma dua detik. Setelah itu mereka mengejar Tatut.

“Tuttt... tunggu!!!”



***



Tatut mengusulkan pada Ibunya agar membuat katering untuk makan sahur. Nanti ia yang akan menawarkannya pada tetangga-tetangga. Selain itu, Tatut akan membantu menawarkan makanan kecil berupa kue-kue untuk berbuka puasa. Via dan Cinta akan membantu memasarkan. Modalnya bisa pinjam pada Pak Dono. Mereka sudah membicarakannya, dan sudah disetujui oleh tetangganya yang baik hati itu.

“Wah, ibu sangat senang sekali! Tapi, apa kalian bisa?”

“Bisa dong, bu! Membuka usaha apapun, yang paling penting itu promosi, Bu!” ucap Cinta sambil mengedip-ngedipkan mata genitnya.

“Eh, Ta. Tumben otak lu jalan...” ledek Via, membuat Ibu dan Tatut tertawa.

Pada bulan puasa hari kedua Tatut dibantu kedua sahabatnya membuat brosur untuk ditawarkan pada tetangga-tetangga dekatnya. Bahkan brosur itu disebarkan sampai jauh ke ujung kompleks. Brosur itu dibuat oleh Cinta sendiri, yang punya fasilitas komputer di rumahnya. Pada brosur itu diletakkan nomor HP milik Via, dan pemesan cukup menghubunginya dengan SMS.

Ternyata sambutan dari calon pelanggan luar biasa melimpah. Terutama dari anak-anak mahasiswa dan mahasiswi yang kos di belakang kompleks. Ibu agak kewalahan mengerjakan tugasnya, sehingga harus dibantu oleh beberapa orang. Untungnya adik-adik Tatut mau membantu, sehingga pekerjaan Ibu jadi lebih ringan.

“Nah, kalau mau baju baru, kalian harus rajin yah!” ucap Tatut pada adik-adiknya.



***



Selama bulan puasa berlangsung, pada akhirnya katering Ibu Tatut berjalan lebih baik dari biasanya. Apalagi ditambah pesanan kue-kue untuk berbuka puasa. Sepertinya lebaran tahun ini Ibu sudah tidak harus bingung lagi. Tak akan ada kisah sedih di hari lebaran!

Namun, tidak bagi Tatut. Pada hari terakhir sekolah, Via dan Cinta menemukan Tatut tengah melamun.

“Duarrr!!” Cinta mengagetkan Tatut dari belakang. Via tertawa terpingkal-pingkal. Tatut geleng-geleng kepala seraya menyembunyikan rasa malunya.

“Ketauan yah, bengong lagi?! Kenapa? Kan usaha kita berjalan dengan lancar!” ujar Via.

“Iya, Tut! Jangan-jangan... karena....”

“Apaan, sih?!!” Tatut menyibakkan tangannya, lalu berlari menuju kelas.  Tetapi karena terburu-buru, ia menubruk seorang cowok di koridor.  Cowok itu ternyata Ade.  Sejenak Ade dan Tatut saling berpandangan.

“Wooy, bulan puasa!!!” teriak Cinta.

Wajah Tatut bersemu merah. Sedangkan Ade garuk-garuk kepala, lalu berjalan menuju Cinta dan Via.

“Eh, ngapain lu, gangguin temen gue!?” Via langsung ngomel di depan Ade.

“Ng-ng... Nggak, kok. Kan dia yang nabrak gue!”

“Iya, tapi kenapa sih lu aneh banget kalo di depan dia?”

“Ah, lu kok pada nggak bisa ngerti perasaan gue sih...!”

Keadaan hening sejenak.

“Tau nggak, sampe sekarang gue belom dapet jawaban dari dia... Padahal gue udah ngomong, kalo gue menerima dia apa adanya...”

“Ade, lu mesti tau diri ya. Lu tuh ya, belom pernah denger ceramah A’a Gym, ye!? Ini bulan puasa! Lo mesti ngerem, dong! Masak ngelamar orang di bulan suci?!” Via ceramah.

“Terus gimana, dong?!”

“Eh, De, jangan-jangan lu kagak puasa, ya?!” tebak Cinta.

“Puasa, dong! Enak aja, lu!”

“Puasa tapi kelakuan kayak orang kagak puasa...”

“Oke, oke... gue salah. Habis, gimana dong pendapat lu pada. Ntar Tatut keburu disamber cowok laen!!”

“Eh, anak konglo, gini aja. Gue saranin, elu ngomongnya ntar aja, habis lebaran.  Tapi kalo elo mau ngambil simpati sama calon mertua, lu datengnya pas hari raya. Sekalian lu bawa sirop delapan botol, biskuit lima kaleng, telor tiga kilo, terus... jangan lupa mersen buat adek-adeknya Tatut!”

“Gitu, yah...?”

“Kok gitu, ya? Yang emang begitu!!”

Ade yang terkenal tajir itu manggut-manggut.

***

Hari lebaran pun tiba. Lebaran kali ini benar-benar lebaran yang paling membahagiakan bagi Tatut dan keluarga. Gimana nggak. Ternyata modal dari Pak Dono bisa dikembalikan. Hasil usaha katering sangat lumayan. Adik-adiknya dibelikan baju baru. Tatut merasa senang sekali melihat keceraiaan Ibu dan adik-adiknya. Benar-benar tak ada lagi kisah sedih di hari lebaran seperti lebaran ditahun-tahun lalu.

Di hari kedua, Via dan Cinta berlebaran ke rumahnya. Saat mereka tengah asyik ngobrol bersama di beranda, sebuah sedan berhenti di depan rumah Tatut. Si pemilik sedan itu, yang ternyata Ade, turun lalu mengeluarkan banyak oleh-oleh dari dalam mobil. Via dan Cinta segera menyambutnya.  

“Eh, bawa apa lu, De...?”

“Ini... sirop delapan botol, biskuit lima kaleng, telor ayam tiga kilo...”

“HAHHH!?? ADE...??!!” Via dan Cinta tersentak bersamaan.

“Apaan sih, maksudnya?” Tatut kebingungan.

Tak lama kemudian ketiga adik Tatut sudah menyerbu sedan Ade. Mereka menggotong-gotong belanjaan. Via dan Cinta melakukan toas.  Itu artinya, anjuran mereka buat Ade yang sebenernya cuma main-main tempo hari itu jadi kenyataan. Via dan Cinta bahagia sekali bisa menyenangkan hati sahabatnya, Tatut, di hari lebaran yang memang sudah seharusnya disambut dengan kegembiraan.***

*)Pamulang, 2004
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...