Mamat Metro

Mamat Metro

Ketupat Lebaran

*) Zaenal Radar T.

Sumber:  Majalah ANNIDA, No. 07/X 16 Januari 2001

Gbr: www.pengusahamuslim.com



Sudah hampir tiga tahun Bapak menganggur.  Sepertinya tak ada harapan lagi mendapat pekerjaan, sebab sampai detik ini belum ada tanda-tanda dari perusahaan yang telah dilamarnya, baik melalui pos, referensi teman, atau yang didatangi secara langsung, yang bersedia  memanggilnya.  Kepala Bapak jadi serasa mau pecah.
Sejak di-PHK tiga tahun yang lalu Bapak memang benar-benar menjadi penganggur tulen.  Padahal ia  harus menghidupi istri dan tiga orang anaknya yang masih kecil.  Sementara ia adalah orang yang tidak punya kemampuan.  Maksudnya ngobyek, berdagang, jadi calo, atau apalah seperti rekan-rekan sekantornya dulu yang juga kena PHK.
Tak heran kalau Bapak dan keluarga mendadak menjadi melarat.  Apalagi uang pesangon sudah ludes.  Makan pun seadanya.  Itu pun dari penghasilan Ibu yang bekerja di rumah Wak Haji Kodir, sebagai tukang cuci pakaian.
“Sebentar lagi Lebaran, kira-kira apa yang bisa kukerjakan?” pikir Bapak sambil matanya memandang kosong ke arah kebun yang ditumbuhi pohon kelapa.  “Lebaran? Uh, yang kutahu si Budi pasti minta dibelikan baju baru.  Lagian ia memang udah dua tahun nggak dibelikan baju baru.  Belum lagi adiknya, Bima.  Lalu si orok, Rusti.  Baju baru? Celana baru? Sepatu baru?  Wong buat beli beras aja nggak ada!” Bapak meracau sendiri dalam hati.
Sampai pukul setengah enam sore Bapak masih terlihat duduk-duduk di bale depan rumahnya.  Matanya masih tetap memandang lurus ke depan.  Dari speaker masjid alunan ayat-ayat suci Al-Quran menggema, menanti saat berbuka puasa.
“Sebentar lagi berbuka puasa, pak!” Budi meenegur Bapak.  Tapi Bapak tak menjawab.  Entah tak mendengar, atau hanya pura-pura.  Tatapan matanya tetap kosong, memandang daun-daun kelapa yang kuning muda melambai-lambai.
“Pak, sebentar lagi beduk!  Mau buka puasa pakai apa?!  Jangan-jangan Bapak nggak puasa lagi ya?!”  sekali lagi, Budi menegur Bapaknya.
“Tenang, Bud.  Sebentar lagi ibumu pulang.  Biasanya ibu bawa makanan, kan?  Sudah sana mandi!  Ingat, jangan buka puasa di masjid.  Malu.  Masak tiap hari buka puasa di masjid!”
Budi bergegas ke kamar mandi.  Setelah selesai, ia menunggu.  Sampai waktu berbuka puasa tinggal detik demi detik, Ibu yang diharapkan membawa makanan untuk berbuka, belum juga datang.  Budi melirik Bapak.  Ia sudah tertidur lemas di bale-bale.  Dengan cekatan tubuh Budi mengahambur ke luar, menuju masjid!
Budi tak peduli kalau Bapaknya tadi melarangnya berbuka di masjid.  Apa mau dikata, beduk maghrib telah berbunyi.  Lagipula, bukankah Budi sering membawa kue-kue dari masjid untuk Bapak  berbuka?
Ah, Bapak gengsinya gede, pikir Budi.  Lagaknya masih seperti dulu, ketika ia masih menjadi kepala mandor proyek.  Apa Bapak lupa kalau ia sekarang sudah nggak punya penghasilan?  Untung saja Ibu rela jadi tukang cuci.  Kalau nggak?  Gimana jadinya?

***

Ibu pulang tanpa membawa apapun di tangan.  Tidak seperti biasanya.  Bapak yang sejak tadi menunggu hanya bisa menelan ludah.  Segelas air putih yang membasahi tenggorokannya, belum cukup menghilangkan dahaga.  “Buka puasa kalau nggak kena yang manis-manis belum lega rasanya,” keluh Bapak dalam hati.  Boleh jadi, biasanya Ibu selalu membawa es sirup dan roti tawar untuknya.
Bapak sempat melirik bungkusan di meja.  Ia tahu bungkusan itu milik Budi.  Tak tahu kenapa, Budi tak berpesan apa-apa atas atas bungkusan itu.  Yang jelas, sejak ia melarangnya ke masjid anak itu tak bicara apa-apa.  Mungkin ia takut.  Akhirnya Bapak jadi geli sendiri.  Ia dekati bungkusan itu.  Hup!  Lalu dibukanya.  Tiga potong lapis legit, dan beberapa butir kurma.  Biasanya bungkusan itu pemberian masyarakat berada, untuk orang-orang yang berbuka puasa di masjid.  Yang jelas itu bukan makanan curian.  Itu halal.  Cuma, Bapak ragu untuk menyentuhnya.  Tapi karena perutnya tak bisa ditahan, sepotong kue lapis diambilnya juga.
Usai salat Maghrib Bapak melonjorkan kedua kakinya di tempat kesayangannya, bale-bale di depan rumah. Sudah dua potong kue lapis dihabiskannya.  Yang sepotong disisakannya untuk Bima.
Ia kembali berpikir tentang apa yang harus dikerjakannya menjelang Lebaran kali ini.  Di saat tengah berpikir, terjadi ribut-ribut di dalam.  Ternyata Budi mengomel sendiri.  Ia kehilangan kue lapisnya.  Bima yang tengah asyik menikmati sepotong kue itu diomeli habis-habisan.
“Dasar nggak punya perasaan!  Aku saja belum makan, eh malah diabisin!” teriak Budi.  Dasar Bima, ia cuek saja.  Di luar Bapak merasa tidak enak.
“Bapak yang makan kuenya,” ujarnya kemudian.  Seterusnya, tak ada lagi kata-kata.  Tak ada omelan, tak ada yang bicara.  Sepi, sunyi.  Cuma suara beduk di masjid yang terdengar.  Sebentar lagi salat tarawih.

***
Lebaran identik dengan ketupat, pikir Bapak.  Masya Allah, kenapa tidak bikin kulit ketupat lebaran saja!  Bapak melonjak-lonjak kegirangan.  Ia temukan ide itu.   Bikin kulit ketupat, lalu dijual ke tetangga-tetangga.  Keuntungannya bisa buat persiapan Lebaran.  Bisa buat beli baju si Budi, celana si Bima, atau sepatu si Rusti.  Tidak perlu pakai modal, sebab daun kelapa bisa diambil di kebun depan rumah.  Ah, jadi juga Lebaran, ungkap Bapak girang.  Wajahnya bersinar-sinar.
Keesokan harinya Bapak terlihat sibuk dengan idenya.  Daun kelapa yang masih muda, yang warnanya kuning kehijau-hijauan, diambilnya.  Lalu dipisahkan satu demi satu, hingga terpisah dari lidi.  Sebatang lidi bila dikumpulkan  akan menjadi sapu.  Semakin banyak daun yang dipisahkan, semakin banyak lidinya.  Lidi-lidi itu menghasilkan beberapa ikat sapu.
Membuat kulit ketupat bukan masalah bagi Bapak.  Sebab sejak kecil Bapak telah akrab dengan kulit ketupat.  Cuma kalau dulu tak pernah berpikir menjualnya.  Dua jenis kulit ketupat bisa dibuatnya.  Kulit ketupat biasa, atau ketupat pasar.
Bima, anak keduanya yang baru pulang mengaji di madrasah, ikut sibuk memisahkan daun-daun kelapa dari lidinya.  Sesekali terdengar jerit Rusti yang sedang dalam ayunan.
“Abangmu mana, Bim?” tanya Bapak.  “Tadi lagi main petasan di lapangan,” jawab Bima.  “Petasan?” Bapak kelihatan kesal mendengar Budi main petasan.
“Sudah, Bim. Kamu jaga si Rusti aja, gih!” perintah Bapak.  Bima segera manut.
Seharian penuh Bapak berkutat dengan kulit ketupatnya.  Hingga menjelang Maghrib pekerjaannya belum juga selesai.  Sampai ketika Ibu pulang  Bapak masih tampak asyik menganyam.  Lalu ia menghitung-hitung hasilnya, sudah terbuat lima ratus tujuh puluh lebih.  Hebat! Ibu yang melihatnyapun jadi berseri-seri.
Hari berikutnya Bapak menawarkan  kulit ketupat itu pada tetangga-tetangga.  Ibu ikut membantu.  Wak Haji Kodir menjadi pembeli terbanyak.  Dua ratus biji.  Dan, hari itu benar-benar hari keberuntungan Bapak.  Semua kulit ketupat habis terjual.
Sore wajah Bapak tampak cerah.  Dihitungnya lembaran-lembaran hasil keringatnya.  Lumayan, bisa buat tambahan Lebaran.  Kalau dijumlah dengan uang gajian Ibu, kayaknya sudah lebih dari cukup buat beli baju salinan Lebaran anak-anak.  Apalagi ditambah dengan tabungan Ibu dari hasil  bikin kue-kue kering.   Pokoknya, alhamdulillah!
***

Bapak tengah melonjorkan kaki di bale-bale ketika Bima teriak-teriak memanggilnya.  “Budi kena petasan!” teriaknya.
Budi? Kena petasan? Bapak mengulang-ulang berita itu dibenaknya, seolah tak percaya.
“Di mana dia sekarang?” tanyanya kemudian.
“Dibawa ke rumah sakit,” jawab Bima polos.
“Ke rumah sakit?”
Bapak terdiam sesaat.  Isi kepalanya mulai berputar-putar.  Uang di tangannya ikut bergetar.  Apalagi ketika Ibu pulang dengan mata sembab.  Rupanya ia lebih dulu tahu dari orang-orang di jalan.
“Sudah, sudah nggak usah ditangisi,” bujuk Bapak pada Ibu.  “Kamu dan Bima ke rumah sakit.  Biar Bapak dan Rusti nunggu di rumah,”  tambah Bapak seraya menyerahkan uang yang tadi dihitungnya.  “Nih, buat persiapan bayar ongkos rumah sakit,”  katanya, parau.
Ibu segera berangkat dengan Bima.  Bapak memandang mereka dari bale-bale.  Sampai pada jarak beberapa meter, Bima dan Ibunya telah hilang di telan tikungan jalan.  Mereka sudah lenyap dari pandangan.  Hanya lambaian daun-daun kelapa.  Bapak tersenyum saat bola matanya beradu pandang dengan daun-daun kelapa yang tinggal tuanya saja.
“Kalau saja besok daun-daun kelapa itu menjadi muda tentu aku tak sebingung ini…..” desah Bapak, lirih.***
                                                                                                                               Pamulang, 11/99
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...