Oleh: Zaenal Radar T.
Ini cerita tentang nasib sebuah naskah...
Pada saat memulai belajar menulis skenario, saya belum memahami benar proses dari skenario menjadi sebuah tayangan. Urutan-urutan yang benar dan efektif adalah, membuat sinopsis lebih dulu, setelah sepakat dengan cerita tersebut, setelah mendapat masukan dari banyak pihak, setelah semua cocok, barulah dibuatkan treatment atawa sceneplot. Lebih bagus sceneplot dibaca dulu kemudian kalau ada yang kurang atau lebih direvisi. Setelah itu barulah ke tahap penulisan naskah skenario. Dengan begitu, seandainya ada revisi karena masih ada yang kurang sreg, tidak terlalu banyak bongkar pasang.
Yang saya lakukan sebaliknya. Saya membuat naskah skenario tiga belas episode, kemudian saya tawarkan ke rumah produksi. Naskah itu saya kasih judul, "MARKUM ANAK DESA". Saya bertujuan ingin merubah wajah pertelevisian kita dengan tayangan yang berbeda! Jangan yang itu-itu aja, yang isinya terlalu matre, cerita soal perebutan harta warisan atau cinta-cintaan yang gak jelas! Cie cieee... lagu lo, mentah banget tong! Songong!! Tapi namanya juga usaha.
Waktu itu menurut saya, yang paling cocok dengan naskah saya rumah produksi Demi Gisela Citra Sinema milik Dedy Mizwar, yang alamatnya di Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Hampir Bekasi gitu. deh. Perjalanan dari rumah saya ke PH itu sekitar empat hari tiga malam sebelas jam!! Seperti cerita para pemula pada umumnya, saya mengalami hal yang sama, sama indahnya. Hahahaaa... (loh, kenapa ketawa? Tak perlu diceritakan bagaimana kebanyakan pemula memulai usaha-usahanya, dalam hal apapun! Kecuali orang-orang mujur, dan sayangnya, bukan saya orangnya).
Naskah skenario, naskah nomik dan naskah novel asli |
Saya beruntung karena naskah saya diterima dengan baik, dan beberapa minggu kemudian saya mendatangi PH tersebut untuk menanyakan secara langsung nasibnya. Naskah skenario itu dikembalikan kepada saya dengan secarik kertas catatan. Saya senang sekali (sebenernya mual dan enek), yang memberi catatan adalah Wahyu HS, mengatakan bahwa ibarat memasak, naskah saya masih kurang bumbu dan perlu diracik lagi. Sepanjang perjalanan pulang dengan naik angkot lebih kurang lima kali pindah angkot, plus ojek, saya terus membaca catatan itu sambil berlinang airmata. Orang-orang di angkot yang melihat saya barangkali mengira saya sedang membaca surat dari pacar? Menduga saya menangis karena diputusin.
Atas kejadian ini saya jadi bete banget. Tapi, saya tidak kurang akal. Saat senja datang, dimana siluet yang keperakan menyepuh halaman rumah...saya duduk ditemani kopi dan sepiring singkong rebus. Saya terus memikirkan naskah sambil menggenggam "surat cinta" itu, sampai akhirnya saya enggak menemukan ide apapun, cuma menghabiskan piring singkong rebus dan menyeruput dua gelas kopi! Hahahaaa. Ingat kan, bagaimana Einstein memikirkan rumus-rumus temuannya berbulan bahkan bertahun-tahun lamanya, tetapi pada akhirnya dia mampu menuliskan rumus itu dalam hitungan hari saja? Ingat, kan? Ternyata cerita saya berbeda. Jadi Einstein gak usah kita bahas lagi, ya.
Tak hilang akal, saya pun merubah naskah skenario saya menjadi naskah komik. Ini kebetulan semata, sewaktu saya diundang oleh penerbit Mizan (waktu itu buku saya yang diterbitkan Mizan; Cinta Ya, Cinta (DAR! Mizan 2002), buku keroyokan, Harga Kematian (kumpulan cerpen, 2003), Ketemu Camer (kumcer islami 2004)__ jadi kalau Mizan ngadain acara saya diundang, dalam satu kesempatan saya melihat ada contoh naskah nomik (novel komik). Maka dengan girangnya, saya buatlah naskah komik itu. Singkat kata, naskah yang sudah saya rubah itu saya simpan dulu, terus saya konsultasi dengan penerbit! Penerbit oke dan berencana menerbitkannya. Tapi syaratnya, hak honor dibagi dua, buat penulis (saya sendiri) dan ilustrator. Saya mikir lagi, gak lama, cuman beberapa minggu aja, sambil ngopi dan singkong rebus, tentu saat senja menyepuh halaman rumah, dan akhirnya... keputusan saya... saya batalkan kerjasama itu. Tetapi tekat saya menjadikan naskah ini sebuah novel, tidak kunjung padam sodara-sodara!
Novel anak |
Diwaktu berikutnya, saya rubah lagi naskah saya menjadi sebuah novel. Revisi di sana sini, sampai akhirnya saya yakin bahwa naskah saya adalah naskah novel!! Harus novel. Kelihatannya maksa ya? Ya, begitulah. Kadang keterpaksaan itu harus ada. Gayung bersambut, dan novel saya berjudul "MARKUM ANAK DESA" yang sekiranya menjadi tayangan televisi atau komik berubah menjadi novel, dan judulnya diganti menjadi "MARKUM YANG CERDIK (DAR! MIZAN, 2004). Dua tahun kemudian, saya menulis lanjutannya, "MARKUM KE JAKARTA (DAR MIZAN! 2006)".
0 comments:
Posting Komentar