1Sumber: Majalah HAI No.37,
11-17 September 2006
Oleh: Zaenal Radar T.
“Rock is never die!!” Dindin berteriak
histeris di depan anak-anak muda kampungnya, sambil mengangkat tiga jari khas
anak metal. Sebagian anak-anak muda kampungnya menyambut dengan teriakan tak
kalah kerasnya, “Yeaaaah...!!!”
Di
kampungnya, belakangan ini Dindin memang terkenal pecinta rock sejati.
Penampilannya rocker abiz! Jeans hipster dengan potongan mengerucut di
ujung, Kepala diikat bando khas Axl
Roses, vokalis Guns N’ Roses yang khabarnya bakalan kembali unjuk gigi
lagi di blantika musik rock dunia. Dan nggak pernah ketinggalan, jaket kulit
dengan dalaman oblong gambar tengkorak, yang ia kenakan baik dalam cuaca dingin
di malam hari maupun saat panas akibat
terik matahari di siang bolong.
Selain mempermak dirinya sendiri, Dindin mempengaruhi anak-anak muda di
kampungnya agar bisa berpenampilan layaknya rocker sejati. Untuk itulah Dindin
bersusah payah meyakinkan para tetangga dekat maupun jauh, untuk bisa seperti
dirinya. Terutama anak-anak mudanya, yang ia anggap agak-agak gagap soal
penampilan ala rocker.
Malam itu Dindin ke rumah Salbini, anak muda tanggung yang putus
sekolah karena ortunya nggak mampu, buat konsultasi soal penampilan.
“Itu cincin lo kudu diganti, Bin! Elo harusnya pake cincin tengkorak
dong! Masak sih, lo pake cincin giok murahan gitu?” kritik Dindin pada Salbini.
Maka Salbini pun membuka cincin gioknya, yang ia dapat dari Gou Bun, sahabatnya
yang bermata sipit.
“Rambut lo jangan diiket gitu. Gondrongnya sih udah pas. Cuman,
bagusnya pake poni miring belah pinggir. Kayaknya bisa lebih keren!” usul
Dindin lagi, seraya membantu membentuk rambut panjang Salbini, yang rada-rada
kotor karena jarang kena shampoo.
“Naaah... keren, kan??!” Dindin
memuji Salbini seraya mengacungkan dua jempolnya. Tapi sebentar kemudan Dindin
mengernyitkan dahi. Dindin memperhatikan kaos yang dipakai Salbini. Salbini
mengikuti arah tatapan Dindin, lalu memandangi kaosnya sendiri.
“Kenapa Din? Masih ada yang kurang...?!” tanya Salbini, sambil menatap
kaosnya sesaat lalu memandang Salbini dengan ekspresi penuh heran.
“Bin... kaos lo tuh. Emang elo kagak punya kaos lagi apa, selain
kaos-kaos macem iklan sabun gitu??”
Salbini langsung memberengut mendengar sindiran Dindin kali ini. Ia
mengakui bila selama ini kaos yang selalu dipakainya memang kaos dengan gambar
dan tulisan iklan produk tertentu. Entah sabun colek, merk agar-agar, iklan
sabun mandi, atau logo merk kecap nomor satu. Jelas aja begitu, karena Salbini
mendapat kaos-kaos itu dengan gratis dari tempat kerjanya di toko kelontong
milik bokapnya Gou Bun, di pasar kaget ujung kampung.
“Abis gimana Din. Sayang kalo kaos-kaos kayak gini gue buang. Gue punya
lebih dari sekodi di rumah...” sungut Salbini, sambil memandangi kaos yang
dikenakannya, yang terdapat tulisan, “Soal jerawat itu urusan kami...”
“Salbini, denger ye... Rocker tuh koasnya item. Udah gitu gambar
tengkorak. Nih, kayak gene! Bukan iklan sabun mandi atau sabun colek kayak yang
sering elo pake!”
“Okey deeh... ntar gue beli!”
“Geto dong, Jack!! Itu namanya rocker sejati...! Heheh... Yuk, kita
cari temen-temen kampung kita lainnya. Kita kudu jadiin nih kampung...kampung
rocker!”
“Siiiip, Din!!”
Keduanya segera menemui teman-teman lainnya, yang sudah lebih dulu ngeh
akan hal-hal berbau rock daripada Salbini. Diantaranya adalah Sarmin, Jumanta,
Cecep Surecep, Rodin, Sauh, Midin, dan Kusnin. Salbini lebih dulu mengganti
kaos iklan sabun mandinya dengan kaos pinjaman
Dindin, kaos warna hitam dengan tulisan, “And Justice For All...”
Ternyata anak-anak kampung sudah
lebih dulu berkumpul dan mengenakan atribut rock. Dindin tersenyum bangga
melihat penampilan teman-teman kampungnya, yang menurutnya rocker abiz!
“Bener-bener kampung rocker...” bisik hati Dindin.
“Cep, foto Shah Rukh Khan di kamar lo udah elo copot, kan?” selidik
Dindin, sambil memandangi wajah Cecep, cowok yang tadinya menggandrungi
bintang-bintang Bollywood.
“Tenang, udah gue bersihin! Gue ganti
sama poster Peterpan...”
“Jeee!! Norak! Kok, Peterpan? Ganti Ceeep! Peterpan bukan grup rock!”
“Abis mau gimana? Itu juga nyolong poster adek gue? Ya udah, ntar gue
ganti pake poster grup Ratu... pan lumayan seger, tuh? Heheh...”
“Khhh... udeh dah, ntar gue yang beliin!”
Setelah itu Dindin mengajak teman-temannya jalan ke ujung gang. Belum
jauh melangkah, Dindin dikejutkan suara radio salah seorang warga. Ternyata
warga tersebut tengah mendengarkan lagu keroncong. Anak-anak menutup telinga
mereka, lalu memasuki rumah warga tersebut, yang tak lain dan tak bukan Pak
Sasongko Prawiro.
“Pak Sasongko! Kalo burung perkutut Pak Sasongko pingin aman, sekarang
juga matiin nih lagu!!”
“Lho?! Piye toh?!”
“Udeeeh, matiin tuh lagu!!”
Pak Sasongko tak bisa berbuat banyak. Ia menuruti keinginan anak-anak
kampungnya. Salbini merebut radio milik Pak Sasongko, dan memutar gelombang
radio lainnya. Maka terdengarlah lagu Blood Of Thunder yang dibawakan
grup Mastodon. Kontan anak-anak itu berjingkrak-jingkrak mengikuti irama lagu.
Pak Sasongko melongo.
Beberapa meter dari rumah Pak Sasongko, Dindin Cs dikejutkan oleh
alunan dangdut dari beranda depan rumah Bang Ismail. Dindin berhenti dan
memelototi Bang Ismail. “Iye, iye...gue ganti gelombangnye...!” Bang Ismail
yang lagi asyik masyuk mendengarkan lagu dangdut berjudul ‘SMS’ segera
mengganti tune radio dua band-nya dengan lagu Seurieus...”Rocker
Juga Manusia...”
***
Sudah lebih dari setengah tahun penampilan warga kampung Dindin,
terutama anak-anak muda tanggungnya, berubah ‘gelap’ ala rocker. Dindin
tentu aja hepi banget. Dengan begitu, Dindin merasa telah berhasil menyulap
kampungnya yang ia anggap tertinggal menjadi maju. Anak-anak dari kampung
sebelah, yang menggandrungi rock merasa iri melihat perubahan tersebut. Memang
sih, perubahan itu tidak diikuti oleh penampilan orang-orang tuanya. Tapi buat
Dindin, yang penting anak-anak mudanya dibikin kompak.
Namun begitu, meskipun semua anak-anak muda kompak ala rocker, Dindin
kecewa dengan anak muda yang kost di rumah Pak RT Jamal. Dindin kesal melihat
penampilan anak muda itu, yang dianggapnya nggak rocker acan-acan! Anak
muda itu bernama Marco, yang bekerja di sebuah bank nasional.
Dindin mengajak lima rekannya mendatangi Marco, mencoba menegurnya.
Saat Dindin dan teman-teman tiba di rumah kontrakkan Pak RT Jamal, mereka
langsung disambut Pak RT. Pak RT waktu itu tengah mendengarkan radio anak muda
yang memutar lagu berjudul Burn it Down, lagu milik grup Avenged
Sevenfold. Dindin tentu aja senang, meskipun ia tahu kalo sebelum kedatanganya
Pak RT memutar lagu-lagu berirama Degung Sunda. Dindin sebenarnya tahu kalo Pak
RT cuma pura-pura ingin menghormati selera anak-anak muda di wilayahnya.
Saat Dindin menanyakan Marco, Pak RT langsung mempersilahkan anak-anak
mendatangi kamar kontrakan. Di depan pintu kamar kontrakkan, Salbini yang sore
itu memakai kaos hitam bertuliskan ‘Black Sabath’, mengetuk pintu. Beberapa
saat kemudian Marco keluar kamar. Marco yang berpenampilan sederhana; memakai
kaos putih lengan sebatas siku, celana bahan, rambut potongan ala pegawai
kantoran, mengenakan sandal jepit, tersenyum
pada Dindin Cs. Marco mempersilahkan Dindin dan keempat anak lainnya
masuk. Ketika Dindin Cs masuk kamar, RT
Jamal kembali memutar irama Degung Sunda.
Dindin Cs tercengang memasuki kamar Marco. Kamar itu lumayan besar,
berukuran 4 x 4 meter. Sebuah sound system sederhana dengan dua buah
salon berikut tape deck lengkap dengan power berikut amplifier.
Sementara itu dua buah gitar listrik bertengger di dinding. Komplit dengan effect
dan aksesoris gitar canggih lainnya. Seperangkat drum teronggok di sudut kamar.
Kamar Marco juga dilengkapi dengan peredam dengan berpendingin AC. Dindin Cs
takjub memandangi gitar milik Marco
“Lho, kok pada bengong liat gitar gue? Kalo mau nyobain ambil aja,”
ujar Marco, lalu mengambil gitar listrik dan memberikannya pada Dindin. Dindin
menerima gitar tersebut dengan tangan gemetaran, seraya menatap ke arah seluruh
teman-temannya. Dindin garuk-garuk kepala.
Apalagi teman-teman lainnya yang juga nggak becus main gitar,
kecuali Ipung, satu-satunya anak muda di kampungnya yang bisa main gitar. Itu
pun sebatas kunci-kunci dasar dengan koleksi lagu-lagu Iwan Fals. Dindin merasa
bersyukur bisa menyelamatkan diri dari rasa malu, karena masih ada Ipung yang
dia anggap jago main gitar, meski bukan gitar ala rocker. Ipung mengambil alih
gitar tersebut dan genjrang-genjreng sambil diiringi tepuk tangan yang lain.
Sebelum basa-basi dilanjutkan, setelah Ipung memainkan satu buah lagu
Iwan Fals berjudul “Sarjana Muda”, Marco mengambil alih permainan gitar. Diluar
dugaan, Marco mampu memperlihatkan teknik bermain gitar ala Slash, Van Hallen,
Kirk Hammet, termasuk gaya permainan gitarnya Ian Antono. Dindin Cs menelan
ludah mendengar raungan gitar yang dimainkan Marco. Sambil menatap cabikan demi
cabikan serta keahlian jemari berpindah-pindah grip, sesekali mereka
menatap Marco yang dianggap culun, bersih dan jauh dari kesan rocker.
“Heheh...gue pernah punya grup rock waktu kuliah di Surabaya. O,
ya, ngomong-ngomong tumben lo pada mau
mampir ke kamar gue? Ada perlu apa sih?” tanya Marco kemudian, pada Dindin Cs.
Dindin Cs berubah gugup. “Eee....eee...
anu, Mar...eee... gue pingin belajar gitar sama lo...” ujar Dindin akhirnya,
yang diikuti anggukan anak-anak lainnya.
“Nah, gitu dong! Gue demen nih! Jangan cuman penampilan aja rock, tapi
nggak punya skill!” kata-kata Marco ini
cukup menggembirakan buat Dindin Cs, sekaligus bikin nyelekit.
Konon, sejak itu penampilan Dindin Cs berubah drastis. Mereka malu
punya penampilan ala rocker tapi nggak bisa mainin alat musik. Dindin sendiri
berikrar nggak mau berpenampilan ala rocker sebelum gape main gitar
kayak Marco. Tapi entah sampai kapan
kesampean, sebab sudah belajar gitar hampir sebulan Dindin belum apal pindah
dari kunci C mayor ke C minor. Ampuuun, dah!!***
*)Pamulang, 28 Agustus 2006
0 comments:
Posting Komentar