Oleh Zaenal Radar T.
Sumber: Buku Dongeng Pangeran Yang Takut Disunat (Beranda, 2005)
Sumber: Buku Dongeng Pangeran Yang Takut Disunat (Beranda, 2005)
![]() |
Gbr: telaahislam.blogspot.com |
Di sebuah negeri ada seorang Raja yang lalim. Penduduk di negerinya
dilarang menyembah Tuhan.
“Barang
siapa ketahuan tengah solat, maka hukuman gantung sebagai ganjarannya!” ujar
Raja, di depan rakyat yang berkumpul di depan istana.
Rakyat
pun menjadi ketakutan. Terutama yang memang sudah terbiasa melakukan solat
berjamaah di masjid-masjid. Dan sejak larangan raja solat, masjid-masjid pun
berubah fungsi. Masjid tidak lagi dijadikan sebagai tempat solat, melainkan
dibiarkan kosong melompong.
Namun
begitu, masih ada yang melakukan solat secara sembunyi-sembunyi. Itu pun
dilakukan bagi rakyat yang tinggal jauh dari kerajaan, dan terlepas dari
pantauan para tentara kerajaan. Sebab bila ketahuan solat oleh pihak kerajaan,
maka hukuman gantung tak bisa dielakkan lagi.
Sudah
lebih dari sepuluh orang yang menjalani hukuman gantung. Mereka adalah rakyat
yang secara tak sengaja ketahuan tengah solat oleh mata-mata kerajaan. Mereka
adalah penduduk yang tinggal tak jauh
dari istana.
Setelah
hukuman itu dilaksanakan, seluruh penduduk semakin takut melakukan solat.
Mereka tak mau dihukum gantung di depan istana kerajaan, ditonton oleh penduduk
lainnya. Selain itu, para penduduk ikut bersembahyang menyembah raja di depan
istana.
“Ini
tak bisa dibiarkan!” gerutu salah seorang rakyat yang menyaksikan hukuman bagi
rakyat yang ketahuan tengah solat. Ia adalah seorang tukang cukur yang tinggal
di lingkungan kerajaan. Tukang cukur itu bernama Subhan, tukang cukur kesayangan
baginda raja.
“Kalau
begini caranya, aku akan berhenti jadi tukang cukur kerajaan!”
Keesokan
harinya Subhan si tukang cukur menghadap baginda raja. Ia bermaksud
mengundurkan diri sebagai tukang cukur kerajaan.
“Apa
yang menyebabkan kamu mengundurkan diri?!” tanya salah seorang menteri
kerajaan. Subhan tidak menjawab. Tukang cukur kerajaan yang rajin dan soleh
itu diam saja.
“Kalau
kamu sudah tak betah lagi ya tidak apa-apa,” ujar menteri yang lain.
“Tidak
bisa!!!” raja berteriak dengan lantang. “Kamu tidak boleh berhenti!” raja
marah.
“Maaf
baginda raja... biarkan saja ia berhenti. Bukankah masih banyak tukang cukur di
luar istana yang bisa menggantikannya. Kalau perlu, hamba akan mencarikan
berpuluh-puluh tukang cukur yang ada di negeri ini...” bisik salah seorang
menteri pada baginda raja.
Raja
menggeleng. “Aku tak mau dicukur oleh tukang cukur lain...!” hardik raja pada
sang menteri.
Setelah
itu seluruh pihak istana diperintah raja untuk membujuk si tukang cukur agar
tidak berhenti menjadi tukang cukur kerajaan. Namun tak ada yang berhasil.
“Mengapa
sih, baginda begitu sayang terhadap si tukang cukur itu...?” tanya salah
seorang panglima perang.
“Aku
tidak tahu! Padahal asal kamu tahu... si
tukang cukur itu tadi malam kulihat
solat...!” jawab ajudan panglima.
“Wah,
kalau begitu, kita adukan saja masalah ini pada baginda raja!”
Akhirnya
panglima menghadap baginda raja, menjelaskan soal si tukang cukur itu.
“Jadi
baginda, tukang cukur bernama Subhan itu adalah pemuda yang rajin solat. Kami
rasa baginda harus menghukumnya!”
Baginda
diam saja mendengar pengaduan itu. Tidak biasanya raja begitu. Biasanya raja
akan langsung memerintahkan hukuman gantung pada panglima, bila mendengar ada
yang berani melakukan solat. Apalagi orang itu tinggal di sekitar istana.
“Biarkan
saja. Suruh dia menghadapku!”
Suatu
malam Subhan si tukang cukur dipanggil menghadap raja. Seluruh penghuni
kerajaan tak diperbolehkan hadir pada saat raja bertemu dengan si tukang cukur
itu. Raja dan si tukang cukur bertemu di sebuah tempat yang disediakan untuk
raja mencukur rambutnya. Raja yang tak
pernah melepas mahkotanya itu pun bercakap-cakap dengan si tukang cukur.
“Aku
sudah lama tahu kalau kau tetap melakukan solat, meski kau tahu aku
melarangnya! Dan itu kubiarkan saja!” kata raja pada si tukang cukur.
“Lantas,
kenapa kau ingin berhenti?! Kalau kau rakyat biasa dan tidak jadi tukang
cukurku, kau sudah kuhukum seperti rakyat lainnya yang melanggar perintahku!”
tambah sang raja.
Si
tukang cukur diam, duduk tertunduk di hadapan raja. Sang raja berjalan
mondar-mandir, berjalan mengelilingi si tukang cukur yang tampak tak berdaya.
“Mengapa
hal itu kulakukan, karena aku sayang kepadamu. Kau adalah satu-satunya pegawai
kerajaan yang kuanggap setia menyimpan rahasia. Kau satu-satunya penghuni kerajaan
yang tahu akan kekuranganku selain permaisuri...”
“Maaf,
baginda,” kali ini si tukang cukur bicara. “Kalau sekiranya baginda hendak
menghukum hambamu yang lemah ini, silahkan. Hamba bersedia digantung seperti
rakyat lainnya. Sebab hamba tak bisa meninggalkan kewajiban yang telah
diajarkan oleh pembawa agama yang sangat luhur itu. Hamba tak bisa meninggalkan
solat lima waktu!” Si tukang cukur masih tetap tertunduk di depan sang raja.
Airmatanya menetes membasahi karpet. Raja terharu melihatnya.
“Baiklah
kalau begitu...” raja menghela nafas. “Kau boleh tetap hidup di kerajaan, boleh
tetap solat lima waktu, asalkan kau tetap bekerja di kerajaan ini. Bagaimana?!”
“Hamba
tetap ingin berhenti, baginda. Kecuali bila baginda raja membiarkan rakyat
mengisi masjid-masjid yang kosong dan menyembah Tuhan mereka...”
“Jadi...”
“Hamba
akan tetap menyimpan rahasia baginda. Hamba akan tetap menjadi tukang cukur
baginda!”
Mendengar
kesungguhan si tukang cukur, akhirnya raja menyerah. Raja yang terkenal lalim
itu menyerah pada syarat yang diajukan tukang cukurnya.
Setelah
kejadian itu raja mengumumkan pada seluruh rakyatnya, bahwa mereka bebas
menyembah Tuhan mereka. Dan si tukang cukur itu pun tetap berada di istana.
Tukang cukur itu pun kembali menetap di kerajaan.
Raja
membiarkan tukang cukur itu hidup karena tukang cukur itu pandai menyimpan
rahasia. Selama ini hanya si tukang cukur itulah yang tahu kalau raja tak lagi
punya rambut. Raja malu pada semua orang kalau dirinya botak, sehingga harus
menutupi kepalanya dengan mahkota. Selain itu, raja tak mungkin mempekerjakan
tukang cukur lain sebagai alasan untuk memangkas rambutnya, karena takut si
tukang cukur mentertawakannya. Dan kenapa ia melarang semua orang menyembah
Tuhan, karena raja benci pada Tuhan yang telah membuat kepalanya botak.
“Semua
manusia sama di mata Tuhan. Saya rasa sudah waktunya baginda raja berhenti
menyalahkan Tuhan!” nasihat si tukang cukur.
“Ya,
aku telah menyadarinya. Harusnya aku tak menyalahkan Tuhan atas kerontokkan
rambutku! Dan kau sudah semestinya berhenti berpura-pura menjadi tukang
cukurku”***
0 comments:
Posting Komentar