Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di tabloid Al-Hikmah, No. 31, Februari 2009/ Safar 1430 H
Dimuat di tabloid Al-Hikmah, No. 31, Februari 2009/ Safar 1430 H
![]() |
Gbr. lucugambar.com |
“Kamu bersedia
menjadi istri saya yang keempat?”
Nazwa mengangguk. “Mungkin semua ini sudah kehendak Allah,”
ucapnya, pelan namun pasti. Tetapi ketika hal itu dibicarakan pada keluarganya,
Nazwa ditentang habis-habisan.
“Jangankan istri keempat, jadi istri kedua pun ibu tidak
setuju! Apa enaknya jadi istri keempat?”
“Kamu masih muda, Nazwa. Kakak yakin
sekali, banyak pemuda yang suka padamu!”
“Kak Nazwa benar-benar sudah hilang ingatan! Masak
mau-maunya dijadikan istri yang keempat!”
Nazwa tak ambil pusing pada pendapat keluarganya. Rupanya ia tetap pada pendiriannya, menerima
lamaran Farhan. Karena tekad Nazwa sudah bulat, akhirnya keluarga merestuinya.
Setelah menikah, Nazwa berpisah dengan orangtua dan saudara-saudaranya.
Nazwa meminta suaminya membelikan rumah real
estate, dan sebuah kendaraan untuk keperluan transportasinya. Farham
seorang pengusaha sukses tentu saja sanggup menuruti keinginan istrinya itu.
Di rumahnya yang baru, bila Farhan sedang berada di rumah
istri-istrinya yang lain, Nazwa hanya ditemani oleh seorang perempuan setengah
baya yang membantunya merawat rumah dan mengerjakan segala keperluannya. Untuk
menghindari kebosanan, Nazwa minta izin pada suaminya, untuk diperbolehkan
bekerja lagi.
“Untuk apa kamu bekerja?” tanya suaminya.
“Nazwa merasa nggak enak tinggal di rumah terus.”
“Jadi bukan karena kamu merasa kekurangan kan?”
“Nggak, mas! Apa
yang mas berikan pada saya sudah lebih dari cukup. Saya bekerja hanya untuk
menyalurkan ilmu saya. Kalau nanti mendapatkan hasil, itu akan saya simpan
untuk keperluan anak-anak kita nanti.”
“Bagus kalau begitu! Kamu memang istri saya yang paling
saya sayangi...!”
“Apa bukan karena saya yang paling muda, tuh?”
“Bu-bu-bukan, Nazwa! Bukan begitu. Mas serius, lho. Kamu
tuh istri mas yang paling berpikiran maju! Mas bangga memiliki istri seperti
kamu!”
Setelah mendapat restu dari suaminya, Nazwa pun bekerja di
sebuah perusahaan. Tidak terlalu sulit bagi Nazwa, untuk mendapatkan pekerjaan
yang diinginkannya. Sebab selain pintar dan berpendidikan, Nazwa memiliki
banyak relasi. Menurut teman-temanya, hanya satu kekurangan Nazwa. Yakni, ia
mau-maunya menjadi istri keempat!
Ketika Nazwa berkumpul dengan teman-temannya bekas
kuliahnya dulu, Nazwa mendapat segudang pertanyaan, yang muncul akibat ia
menikah dengan seorang lelaki beristri tiga.
“Kamu ini termasuk perempuan aneh, ajaib, bin
mengherankan!”
“Perempuan langka!”
“Kok pada bilang begitu?”
“Denger ya, Nazwa. Kami mengakui kamu tuh perempuan paling
pinter diantara kita-kita. Selain itu, kamu juga yang paling bodoh! Mengapa aku
bilang begitu. Pertama, kamu tuh sarjana yang lulus dengan nilai tertinggi
diantara mahasiswi lain. Kedua, kamu cantik. Ketiga, kamu dari keluarga mampu.
Aku rasa kamu tidak terlalu sulit mendapatkan lelaki yang kamu inginkan!”
Nazwa diam. Temannya yang lain seolah tak ingin berhenti
menyerangnya. Namun sebelum
teman-temannya bicara lagi, Nazwa memotongnya, “Tunggu sebentar. Kalian denger
dulu penjelasan saya...”
“Semuanya sudah jelas, Nazwa! Kamu kawin dengan lelaki yang
telah beristri! Mending kalo satu atau dua. Ini tiga! Tiga, bo! Kalau aku sih, jangankan tiga.
Mendengar suamiku mau kawin lagi, aku sudah minta cerai!”
“Ya, kamu tuh bukan hanya resmi menjadi seorang istri. Kamu
menjadi korban laki-laki! Laki-laki itu kan dari dulu memang maunya begitu.
Nggak pernah mau ngalah. Mereka enak-enakan kawin dengan banyak perempuan,
sementara perempuan sendiri, apa pernah kawin dengan laki-laki lain ketika
masih terikat dengan seorang laki-laki yang berstatus suami? Sebenarnya boleh
nggak sih perempuan punya suami lebih dari satu?”
“Masya Allah! Kalian ini keterlaluan!”
“Yang keterlaluan itu kamu, Nazwa! Kamu pikir kita-kita
nggak ngerti agama?! Ini bukannya zaman nabi. Alqur-an memang menyatakan bahwa
laki-laki boleh menikah dengan perempuan lebih dari tiga. Tapi menurutku bukan
berarti menganjurkan. Dan bukan berarti pula harus dijadikan pedoman bagi
setiap laki-laki serakah yang melampiaskan nafsu birahinya pada banyak
perempuan!”
Nazwa geleng-geleng kepala.
“Oke, oke, saya ngerti. Tapi, tolong dong berikan saya
kesempatan untuk menjawabnya...”
Semua diam. Mereka menunggu apa yang akan diucapkan Nazwa.
“Sebelum saya jelaskan mengapa saya menerima mas Farhan
sebagai suami saya, saya mau tanya pada kalian.
Pertama pada kamu, Intan. Kamu bahagia nggak sama suamimu yang
sekarang?”
“Kok tanya gitu ke aku? Ya, aku bahagia...”
“Baik. Kamu mau tahu jawaban saya. Saya pun bahagia menikah
dengan mas Farhan. Bahagia sekali! Nah,
selanjutnya pada Dewinta. Wi, kamu bahagia nggak, sama suamimu?”
“Maaf, Nazwa. Aku lagi dalam proses menyampaikan gugatan
cerai untuk suamiku...”
“Mengapa?”
“Aku minta cerai karena suamiku punya simpanan.”
“Jadi kamu tidak bahagia, dong?”
Dewinta mengangguk.
“Nah sekarang kamu, Narsa. Nar, apakah kamu bahagia dengan
status kamu yang masih sendiri, diusia kamu yang sudah selazimnya berumah
tangga?”
“Aku? Sebenernya sih... aku
inginnya segera menikah. Tapi... aku mesti dapet yang cocok, dan nggak punya
istri tiga seperti suamimu!”
Semua tersenyum.
“Aku bukan tanya itu.
Yang kutanyakan adalah, apakah kamu sekarang ini bahagia?”
“Aku... terus terang aja, nggak.”
“Nah! Tahu nggak, aku ini bahagia sekali, mesti menjadi
istri yang keempat! Bahagiaaa sekali! Sekarang aku mau tanya Riana. Na, katanya
kan kamu udah menikah dengan seorang lelaki yang sudah kamu pacarin tujuh tahun
itu! Dan kamu yakin kalau suamimu itu tidak akan serong. Apakah selama ini kamu
bahagia?”
“Kayaknya setelah kawin aku nggak begitu seneng. Apalagi
semenjak suamiku menganggur. Kami sering kesulitan ekonomi.”
“Jadi kamu nggak bahagia?”
“Nggak.”
“Terakhir kamu Dien. Dien, apakah kamu bahagia setelah tiga
tahun menikah dengan mas Doni?”
“Aku... aku belum punya momongan... jadi aku merasa belum
bahagia. Mas Doni selalu menuntut aku punya anak. Padahal kami ndak tahu, apakah aku atau dia yang
sebenarnya mandul?”
“Jadi... kamu nggak bahagia??!”
Dien menggeleng pelan.
“Mau tahu nggak Dien, juga temen-temen lain. Aku bahagia sekali! Setelah dua bulan
menikah, setelah periksa ke dokter, katanya aku sudah mengandung dua minggu!”
“Masak sih, Nazwa??”
“Begitulah yang terjadi.”
“Ck, ck, ck. Aku jadi mulai iri, nih. Jadi, kamu semakin
bahagai, dong?”
“Tentu saja. Mas Farhan semakin sayang sama saya. Dan
kemarin tahu nggak, semua istri-istri
mas Farhan memberikan selamat pada saya. Hebat, kan?”
“Masak, sih?!”
“Mereka akan datang bila kehamilan saya berusia tujuh bulan
nanti.”
“Nggak takut ribut, ketemu dengan istri-istri tua?”
“Kenapa mesti ribut?!
Kami semua akur, kok. Itulah kelebihan mas Farhan dibanding laki-laki
lain. Mas Farhan sangat jujur. Itulah yang membuat saya tertarik padanya.
Seandainya ia menikah lagi dengan perempuan lain, pasti ia akan bilang pada
saya. Seandainya ia sedang tidak di rumah, pasti ia tengah berada di rumah
istrinya yang lain. Nah, kalian-kalian ini, yang sudah bersuami, apakah suami
kalian mau jujur bila suami kalian hendak menikah dengan perempuan lain? Apakah
suami kalian bilang-bilang, bila mereka jalan dengan perempuan teman kantornya?
Dimanakah suami kalian, bila tidak sedang di rumah atau di kantor...??!”
Semua teman-teman Nazwa yang sudah punya suami terbelalak.
“Wah, sudah sore nih. Saya harus cepat-cepat pulang. Tadi
mas Farhan menghubungi henpon saya, katanya malam ini dia mau pulang. Katanya
dia kangen banget sama saya.”
“Oke Nazwa, hati-hati yah.”
“Ya. Ngomong-ngomong, apakah nggak sebaiknya kalian ikut
mobilku saja? Aku nyetir sendirian.”
“Memang kenapa sih kamu nggak pake supir?”
“Saya lebih seneng nyetir sendiri. Yuk, ada yang mau ikut?”
“Terima kasih Nazwa. Kami naik taksi aja!”
Setelah mengucapkan salam, Nazwa meninggalkan
teman-temannya. Teman-temannya memandang Nazwa memasuki mobil, hingga sedan itu
melaju meninggalkan tempat parkir. Semuanya menghela nafas, seolah puas telah
bertukar pikiran dengan Nazwa.
“Ternyata, menjadi istri keempat bukan berarti kiamat!”
ujar salah satu teman Nazwa, sebelum meninggalkan tempat.
“Buktinya, teman kita Nazwa bahagia sekali.”
“Ya, ya. Saya mengerti sekarang. Jadi, saya nggak harus takut menjadi istri yang ke
sekian dari suami saya kelak,” sela Narsa, lajang kepala empat, membuat semua
teman-teman lainnya terbengong-bengong.***
*)Pamulang,
2008
0 comments:
Posting Komentar