Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di majalah Anggun, No. 6, Vol 1, November 2005
Dimuat di majalah Anggun, No. 6, Vol 1, November 2005
![]() |
Gbr: ratuhati.com |
Sudah waktunya kuperkenalkan Wulandari pada seluruh keluargaku. Mudah-mudahan mereka mau menerima perempuan cacat dan sebatang kara ini sebagai pendamping hidupku. Kalaupun tidak, aku terpaksa menikahinya tanpa restu mereka. Sebab antara aku dan Wulandari sudah tak bisa dipisahkan lagi. Apapun yang terjadi!
Namun satu jam sebelum kami berangkat, lagi-lagi Wulandari ragu. "
Saya ndak ingin menyusahkan mas terus-terusan seperti ini. Kehadiran saya pasti hanya mengecewakan mas saja,” lirih Wulandari, dengan wajah tertunduk lesu.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, seolah menunjukkan bahwa aku kecewa pada kata-katanya.
“Kamu harus ikut, Wulan. Saya sudah menelpon mereka. Mereka pasti senang menyambut kehadiran kita!” ucapku menyemangatinya.
“Saya mengerti mas. Mas Hakim adalah anak lelaki satu-satunya dalam keluarga mas yang belum menikah. Pasti mereka akan senang mendengar mas Hakim dan calon istrinya pulang. Cuma...”
“Cuma kenapa...?”
“Cuma... apakah mereka mau menerima saya... yang...”
“Sudahlah Wulan, kita berkemas sekarang. Kita akan segera berangkat ke Jakarta sore ini! Bersiap-siaplah!” potongku, sambil mendorong kursi rodanya memasuki rumah. Rekan-rekanku menyiapkan segala keperluan Wulandari, yang akan segera kupertemukan dengan keluargaku di Jakarta.
***
Aku dan Wulandari belum begitu lama akrab. Kami pernah sama-sama bekerja di sebuah perusahaan tekstil, di kota Solo. Aku menjabat sebagai kepala bagian produksi. Sedangkan Wulandari sebagai staf administrasi keuangan, sebelum akhirnya berhenti, karena keadaan pisiknya tidak memungkinkan.
Aku menyukai Wulandari karena perempuan ini berbeda dari perempuan kebanyakan di tempatku bekerja. Dan ia satu-satunya perempuan berjilbab di kantor. Begitu sulitnya mendapatkan cinta Wulandari, sehingga aku merasa bangga bisa memilikinya.
Sebelum kecelakaan bis itu terjadi, Wulandari menjadi primadona di perusahaan. Lie Jiaw Tek, rekan kerjaku bermata sipit, mengaku tertarik pula padanya. Apalagi laki-laki bujang lainnya seperti aku, berusaha habis-habisan untuk mendapatkan perhatiannya. Jelasnya, Wulandari menjadi wanita rebutan setiap laki-laki yang ada di tempat kerjaku.
Dan aku bersyukur menjadi satu-satunya lelaki yang mampu mencuri hatinya. Barangkali karena aku yang paling gigih, yang paling serius, bisa dibilang paling mati-matian, disebabkan karena desakan keluarga, agar aku secepatnya membawa perempuan pulang ke rumah untuk dijadikan istri!
Dua tahun lebih aku melakukan pendekatan. Kukorek segala informasi mengenai Wulandari, lewat orang-orang dekatnya. Akhirnya kuketahui bahwa Wulandari gadis yang minder. Hal itu beralasan, karena Wulandari tidak mempunyai orangtua. Disamping itu, ia mengontrak rumah sederhana bersama teman-teman satu perusahaan. Satu-satunya saudara yang ia miliki, adalah seorang paman yang tinggal di Surabaya. Itu pun kini sudah tak diketahui lagi alamatnya.
Sebelum bekerja di perusahaan tekstil itu, menurut cerita rekan-rekan dekatnya, Wulandari kuliah di sebuah perguruan tinggi sambil mengajar anak-anak TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) di sebuah Yayasan. Wulandari gadis yang gigih dan cerdas. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, Wulandari berhasil menyelesaikan kuliahnya, lalu diterima bekerja di perusahaan tempatku bekerja.
Tiga tahun Wulandari bekerja, dan berhasil menduduki posisi staf administrasi keuangan. Namun pada akhirnya Wulandari harus mengalami peristiwa menyedihkan. Ketika pulang bekerja, mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Ia dibawa ke rumah sakit, dan kedua kakinya harus diamputasi.
Setelah keluar dari rumah sakit, Wulandari tak lagi bekerja. Perusahaan tetap menggajinya, namun tentu saja tidak untuk sepanjang hidupnya. Di saat itulah aku tak henti-hentinya menghibur, membantu memulihkan semangatnya untuk terus menjalani hidup. Aku tetap menganggapnya sebagai Wulandari yang dulu, seperti ketika kecelakaan nahas itu belum menimpanya.
“Aku berjanji akan terus merawatmu, sepanjang hidupku!” kataku, pada suatu kesempatan saat aku mampir di rumah kontrakkannya. Wulandari menatapku dengan sorot mata tak percaya, hingga akhirnya bulir-bulir kristal mengalir deras dipipinya.
“Demi Tuhan, aku berjanji, Wulan!”
Wulandari tak mampu berkata-kata. Ia terus sesenggukan, tak kuasa menahan tangisnya.
Tak lama setelah kecelakaan itu terjadi, aku pindah rumah. Aku mengontrak rumah tak jauh dari kontrakkannya. Semua orang di sekitarku merasa senang atas kehadiranku menjaga Wulandari. Setiap pulang bekerja, aku mengantar Wulandari mengajar mengaji. Wulandari mengajar anak-anak mengaji di sebuah masjid dekat kontrakkan. Rupanya tenaga Wulandari masih sangat dibutuhkan, meski tubuhnya sudah tidak sempurna lagi.
Setiap kali mengantarnya, aku yang selalu mendorong kursi rodanya, memapahnya menaiki anak tangga masjid, lantas menungguinya hingga selesai. Aku sudah menganggap Wulandari bukan saja sebagai seorang sahabat, namun lebih dari itu. Wulandari sudah kuanggap sebagai bagian dari keluargaku. Hingga tibalah saatnya, aku akan memperkenalkannya pada seluruh keluargaku di Jakarta. Akan kujadikan Wulandari sebagai istriku!
***
Dengan berbagai macam alasan, akhirnya aku berhasil membujuk Wulandari untuk kuperkenalkan kepada keluargaku di Jakarta. Seorang rekan kantorku mau mengantar, hingga tiba di rumahku. Sepanjang perjalanan pulang, kulihat Wulandari tampak gelisah. Dengan berbagai cara kukuatkan hatinya, agar ia tak lagi merasa rendah diri menghadapi calon mertua dan kakak-kakakku.
Setibanya di rumah, seluruh keluargaku menyambut. Jamuan makan dihidangkan, layaknya sebuah pesta kebesaran. Sebelumnya aku memang memberi khabar pada mereka, bahwa aku akan pulang dengan calon istriku. Boleh jadi mereka menyambutnya dengan suka cita. Putra satu-satunya dan anak terakhir dalam sebuah keluarga besar akan segera melepas masa lajangnya.
Namun sejujurnya kurasakan, bahwa aku sendiri sebenarnya masih belum sanggup menghadapi mereka. Pasti mereka tak akan menerima kenyataan ini, menerima calon istriku yang cacat kedua kakinya. Bagaimana mungkin mereka rela bila anak lelaki satu-satunya dalam keluarga mereka mendapatkan jodoh yang tidak sempurna?
Ketika mobil tiba di halaman rumah, aku sudah dapat mencium aroma pesta penyambutan yang luar biasa. Bapak dan Ibuku menunggu di beranda. Kakak-kakaku yang berjumlah delapan orang – yang semuanya perempuan, hadir seluruhnya. Para suami dan anak-anak mereka menyambut kedatanganku dan calon istriku. Mereka semua tampak gembira.
Namun saat sebuah kursi roda kukeluarkan dari bagasi, dan kupapah tubuh calon istriku, kebahagiaan itu seolah sirna. Bapak dan Ibuku memandang kearahku dengan tatapan mata menyelidik, seolah tak percaya akan apa yang dilihatnya. Begitu pula kakak-kakakku, seperti terhenyak menyaksikan perempuan cacat yang datang bersamaku.
“Pa, Bu, ini Wulandari, calon istriku...” ujarku pelan, pada Bapak dan Ibuku. Lalu kucium kedua tangan orangtua itu. Sebelum tiba giliran Wulandari mencium tangan mereka, bapakku berlari ke dalam rumah. Ibuku pun mengejar bapak, sambil memanggil-manggil agar ia kembali. Sebagian kakak-kakakku masuk ke dalam rumah, seolah tak peduli akan kehadiranku. Namun tiga kakakku yang tertua menyambut Wulandari dengan senyuman. Seperti tidak tengah berhadapan dengan seorang perempuan cacat.
“Selamat datang di rumah keluarga barumu. Kamu cantik sekali. Hakim sangat beruntung mendapatkan perempuan secantik kamu!” sambut kakak tertuaku, dengan teramat santun. Aku sedikit lega mendengarnya. Setelah itu, kedua kakakku yang lain memberikan jalan, lalu mendorong kursi roda Wulandari memasuki rumah. Sementara itu, kakak tertuaku menarik lenganku, berjalan ke arah halaman.
“Aku yang merekomendasikan kamu bekerja di Solo! Dan itu semua atas keinginanmu! Tapi, kenapa semua ini kau balas dengan... hal tidak menyenangkan seperti ini, Hakim?!” bentak kakakku, setelah berada di salah satu sudut halaman. Tak kusangka, kata-kata kakakku sangat berbeda ketika bicara dengan Wulandari tadi. Ia mendampratku habis-habisan!
“Dimana kau letakkan kedua biji matamu, Hakim!? Sewaktu Bapak dan Ibu menjodohkan kamu dengan perempuan pilihannya, kamu malah lari ke Solo. Setelah tinggal dan bekerja di sana, bukannya gadis keraton yang kamu bawa! Tapi malah perempuan... ah, apa aku tak salah lihat, ya?!!”
Aku masih tetap diam. Aku tak pernah berani berdebat dengan kakakku yang satu ini. Dia kakak tertuaku, kakak yang menjadi panutanku selama ini. Sebelum bicara lebih jauh, seorang laki-laki setengah baya mendatangi kami. Ia mas Herman, suami kakakku.
“Ma, Hakim, ayo dong masuk? Kasihan sama tamunya...” ujar mas Herman, sambil memegangi lengan kakakku. “Sudahlah... nanti kita bicarakan bersama-sama...” tambahnya, seraya menggiring kami memasuki rumah.
***
Sudah hampir seminggu Wulandari tinggal di rumah keluargaku. Kuceritakan segala hal tentangnya, tanpa ada yang kututup-tutupi. Perihal kedatangannya yang tanpa diiringi oleh kedua orangtua dan saudaranya pun menjadi jelas. Gamblang. Seluruh anggota keluargaku menjadi tahu adanya. Hanya saja, tinggal Bapakku yang belum menerima, seperti berat memberikan keputusan menjadikan Wulandari sebagai menantunya.
“Sabarlah, Hakim. Sudah sepantasnya bila bapak belum mau menerima kenyataan ini. Tahu tidak, sebelum kamu tiba di rumah, kegembiraan bapak menyambut calon menantunya begitu meluap-luap. Ibu belum pernah melihat bapak seriang itu, semenjak kamu memutuskan tinggal di Solo,” ibuku berhenti sebentar, lalu melanjutkan, “Hakim, kamu anak lelaki satu-satunya di keluarga ini. Dulu, bapakmu pernah bilang, kalau tidak mendapat anak laki-laki, ibu harus terus melahirkan. Maka setelah kamu lahir, barulah bapak sepakat agar ibu tidak melahirkan lagi. Kamu anak kesayangan bapak. Setelah kamu dewasa, Bapak ingin sekali melihat calon menantu anak kesayangannya! Makanya bapak pernah memaksamu kawin, karena Bapak ingin sekali menggendong cucu dari anak lelaki semata wayangnya...”
Aku tak kuat lagi mendengar kata-kata ibu. Tiba-tiba aku menjadi sangat bersalah. Merasa menjadi anak yang durhaka pada orangtua. Betapa tidak. Empat tahun lalu aku minggat dari rumah karena hendak dijodohkan dengan perempuan pilihan mereka. Sekarang aku pulang, dan justru membawa calon istri yang tidak sempurna, seperti yang menjadi harapan keluarga.
“Maafkan Hakim, Bu... Hakim tidak bermaksud mengecewakan keluarga. Semua ini Hakim lakukan bukan hanya semata-mata Hakim kasihan dengan Wulandari. Tetapi karena rasa cinta Hakim terhadap kemuliaannya...”
“Ibu mengerti, Hakim. Semua yang kamu ceritakan tentang Wulandari pada Ibu, sudah ibu ceritakan pada bapakmu tadi malam. Sepertinya bapakmu sudah mau menerimanya. Ibu lihat sendiri, ketika beberapa keponakanmu menginap, mereka dengan tekun mau belajar mengaji dengan calon tantenya! Dan mereka saja yang masih anak-anak, tidak memperdulikan kekurangan calon istrimu itu... Ibu kira, bapakmu yang setiap sore melihat keakraban mereka itu pun mau mengerti...”
“Maksud Ibu...?!”
“Kita berdoa saja, semoga bapakmu mau menerima kehadiran Wulandari dalam keluarga kita dengan ikhlas...”
Aku tak sanggup lagi bicara. Kutatap wajah Ibuku, yang ternyata memang sudah semakin tua. Ia tersenyum, seolah memberikan sejumput harapan padaku.
“Sekarang bapak di mana, Bu?”
“Kalau pagi-pagi begini, biasanya bapak di beranda. Bicaralah pelan-pelan padanya. Biar bapakmu lebih mengerti lagi keadaanmu...”
Aku beranjak ke arah beranda rumah. Namun tak tahu kalimat apa yang nanti kuungkapkan padanya. Hal itu membuat langkahku ragu. Namun, ibuku terus menyemangatiku. Ibu mendorong-dorong tubuhku ke arah beranda.
Setibanya di beranda, betapa terkejutnya aku. Pun ibuku. Karena kami melihat bapak tengah mendorong kursi roda Wulandari di halaman rumah. Sesekali kami melihat mereka serius bercakap, lalu terlihat senyum dan keceriaan di wajah bapak! Mereka tampak akrab, seperti seorang bapak tengah menjaga putri cacat kesayangannya!
Melihat hal itu, aku dan Ibu saling berpelukan. Kami rasa bapak telah siap mengakui Wulandari sebagai bagian keluarga.***
*)Pamulang, 2005
0 comments:
Posting Komentar