Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber: Erakini.Id (21 Mei 2025)
Sebelum rumah makan itu berdiri, setiap hari Parjo berada di pertigaan jalan, lokasi pertemuan jalan kampung dan gerbang belakang kompleks perumahan. Disanalah Parjo mencermati, memperhatikan, menghitung-hitung, ada berapa orang melintasi tempat itu dalam setiap harinya. Kadang Parjo datang pagi, kadang siang, di lain waktu sore. Pernah Parjo seharian di tempat itu. Parjo terus mengamati tempat tersebut. Rencananya Parjo akan menyewa tempat untuk dia jadikan sebagai rumah makan yang akan dia berinama Rumah Makan Samudera. Parjo terinspirasi warung makan Bahari di ujung kompleks yang selalu ramai.
Sama seperti di warung makan Bahari, menu makanan di
rumah makan Samudera menyajikan menu makanan ala Warung Tegal atawa biasa
disebut Warteg. Berdasarkan pengalaman Parjo sebagai juru masak yang pernah belasan
tahun bekerja di warteg, menu makanan yang akan disajikan di rumah makan Samudera
nantinya menyajikan orek tempe, tahu dan tempe goreng, telur balado, kentang
balado, mie goreng, ayam goreng, ayam kecap, oseng kerang, tumis usus, tumis
kikil, ati ampela, semur jengkol, telor ceplok, tumis sayuran, pokoknya menu
khas makanan ala warteg.
Seminggu kemudian Parjo sudah memutuskan jika tempat itu
menurutnya layak dia sewa untuk dijadikan rumah makan. Target pelanggan rumah
makan itu adalah orang-orang yang melintas, baik warga dari dalam kampung maupun
orang-orang kompleks perumahan dari gerbang belakang, ditambah perlintasan
orang lalu lalang dari kompleks sebelah yang hendak ke kantor, atau pelajar
yang pulang pergi sekolah maupun mahasiswa yang kuliah di kampus baru dekat
kantor kecamatan. Rasa-rasanya, lokasi yang dipilih Parjo bisa memenuhi target
penjualan rumah makannya.
Pada minggu pertama pembukaan, pengunjung rumah makan
Samudera memang belum terlihat banyak.
Tetapi pada minggu kedua dan selanjutnya pengunjung mulai ramai. Biasanya masak
nasi satu termos, berikutnya sudah bisa masak dua termos nasi. Dan di akhir
pekan, rumah makan Samudera bahkan kehabisan nasi karena meskipun sudah
menyiapkan tiga termos tetapi masih ada pembeli yang tidak kebagian. Usaha
Parjo memperkenalkan rumah makan melalui selebaran ataupun dari mulut ke mulut
tidak sia-sia.
Namun di bulan ketiga sejak berdirinya rumah makan
Samudera, Parjo dikejutkan oleh keberadaan rumah makan lain bernama rumah makan
Sederhana Bukit Barisan Sembilan. Rumah makan itu terletak di sebuah rumah toko
atau yang biasa disebut ruko, persis di seberang jalan rumah makan Samudera
miliknya. Parjo tentu saja marah. Di depan istri dan Wulan, putri semata
wayangnya, Parjo memuntahkan kemarahannya. “Aku ndak terima dan protes keras atas berdirinya rumah makan itu!”
teriak Parjo, “Enak saja mereka bikin rumah makan di depan rumah makan kita!”
“Jangan, Pak. Kita ndak
berhak melarang mereka,” istri Parjo berusaha menyabarkan.
“Aku ndak
peduli, Bu! Mereka pasti buka rumah makan di situ karena melihat rumah makan
kita ramai! Mereka pikir gampang cari tempat usaha rumah makan? Berbulan-bulan
aku survey, mencari tempat rumah makan kemana-mana sampai akhirnya ketemu di
sini. Nah sekarang, di saat usaha rumah makan kita mulai kelihatan hasilnya,
ada orang lain yang dengan seenaknya mendirikan rumah makan. Memangnya tidak
ada usaha lain ya, selain rumah makan seperti kita? Mereka kan bisa bikin usaha
lain, ndak harus rumah makan karena
kita sudah membuatnya. Bapak mau temui pemilik rumah makan itu!”
“Coba bapak tanyakan dulu Pak RT, sebelum bapak temui
pemilik rumah makan baru itu.”
“Loh, apa urusannya, Bu?”
“Biar bapak tahu apa alasan Pak RT mengizinkan mereka
bikin rumah makan baru itu di dekat rumah makan kita. Sebelum rumah makan
mereka berdiri, pastinya mereka izin dulu sama Pak RT, toh?”
Malamnya Parjo mendatangi rumah Pak RT untuk menyanyakan
perihal berdirinya rumah makan baru itu di hadapan rumah makannya.
“Rumah makan baru itu rumah makan Padang. Sedangkan rumah
makan lu itu rumah makan warung Tegal,”
seloroh Pak RT, setelah ditanyai Parjo.
“Tapi kan
sama-sama rumah makan, Pak RT.”
“Target pelanggannya beda, Mas Parjo. Harga juga beda.
Orang kan punya selera berbeda-beda, bukan? Ada yang suka masakan Padang, ada
yang suka masakan warteg.”
“Tapi kan sama-sama rumah makan?” Parjo tidak mau kalah.
“Percayalah Mas Parjo. Kata Pak Ustaz, rezeki kagak
bakalan ketukar. Rezeki udah ada yang
ngatur.”
***
Parjo pulang dan menceritakan hasil pertemuannya dengan
Pak RT pada anak dan istrinya. Ternyata istri dan anaknya mendukung keputusan
Pak RT yang beralasan jika warung makan sederhana di depan rumah makannya itu
berbeda dengan rumah makan milik mereka. Dan orang bebas untuk memilih rumah
makan sesuai selera masing-masing.
Siangnya, tanpa sepengetahuan anak dan istrinya, Parjo menyeberang
jalan, mendekati rumah makan baru itu. Parjo terkejut karena Pak RT ternyata
sedang berada di sana bersama lelaki paruh baya. Tanpa disangka-sangka, Pak RT memanggil
Parjo, memperkenalkan Parjo dengan pemilik rumah makan baru itu.
“Nah ini yang saya ceritakan tempo hari, namanya Mas
Parjo, pemilik rumah makan Samudera. Mas Parjo, perkenalkan ini Uda Yamin,
pemilik rumah makan Sederhana Bukit Barisan Sembilan yang sebentar lagi
dibuka.”
Pak RT tersenyum diantara Parjo dan Uda Yamin, yang rumah
makannya saling berhadapan, di tikungan yang mempertemukan gerbang belakang
kompleks perumahan dan permukiman kampung. Parjo dengan malas menyambut uluran
tangan Uda Yamin. Lalu Uda Yamin, orang yang tidak disukai Parjo, dengan
tenang, tanpa rasa bersalah sedikitpun meskipun dia sudah membuat ‘rumah makan
tandingan’ di depan rumah makan Mas Parjo, mengajak Parjo bicara.
Sempat ada permintaan maaf karena sebelum rumah makan
Sederhana miliknya berdiri dia tidak
meminta izin terlebih dulu pada Parjo. Sebelum Parjo berkata-kata, karena
melihat air muka Parjo yang tidak bersahabat, Pak RT menengahi, untuk kesekian
kalinya mengatakan bahwa rumah makan Sederhana Bukit Barisan Sembilan milik Uda
Yamin sangat berbeda dengan rumah makan Samudera milik Parjo. Baik dari segi
menu, rasa, maupun harga, berbeda satu sama lain.
Rumah makan Sederhana Bukit Barisan Sembilan menyajikan
menu masakan Padang, seperti rendang, gulai kakap, tunjang, ayam pop, dan menu
lain seperti layaknya menu makanan di rumah masakan padang pada umumnya.
Sedangkan rumah makan Samudera milik Parjo menyajikan menu masakan yang biasa
ditemukan di Warteg.
Seminggu sejak rumah makan sederhana Bukit Barisan Sembilan
dibuka, Parjo terus memantau dari dalam rumah makannya. Sampai-sampai anak dan
istri tidak dihiraukan. Para pembantu di rumah makannya juga tidak berani
mengusik Parjo. Seminggu setelahnya, Parjo dibuat belingsatan. Masalahnya, ada
beberapa pelanggan yang sudah dia kenali pindah makan ke warung makan Sederhana
Bukit Barisan Sembilan. Parjo marah
sekali, dan istrinya berusaha menenangkan.
“Pak, kita ndak
berhak melarang pelanggan kita mau makan di mana,”
“Tapi ini sudah keterlaluan, Bu! Kalau warung makan
sederhana itu tidak berada di situ, ndak
mungkin pelanggan kita makan di situ!”
“Terus bapak mau ngapain lagi? Kalau bapak protes, pasti
jawabannya akan sama. Kita ndak bisa
memaksa selera pelanggan. Kita berpikir positif saja, Pak. Mungkin pelanggan
kita bosan makan orek tempe, terus dia pingin makan rendang.”
Parjo terdiam dan dia menemukan ide brilian dari
percakapan dengan istrinya. Malam itu juga Parjo memanggil juruk masak
andalannya, Mang Yayan, lelaki Sunda
tulen yang pernah jadi juru masak rumah makan Padang sebelum akhirnya jadi
kepala dapur di Warteg Bahari bersama-sama dengan Parjo dahulu, sampai akhirnya
sekarang sama-sama berada di rumah makan Samudera.
“Mang, Mamang Yayan masih bisa bikin rendang, kan?”
Mang Yayan tidak langsung menjawab, hanya tersenyum
tipis. Mang Yayan memang dikenal pendiam, dia lebih banyak mendengarkan
daripada bicara. Dan kalau menyetujui sesuatu, dia jawab dengan senyuman. Tapi
jangan ditanya soal kegesitannya saat berada di dapur. Dia bekerja sangat
cekatan, dan hasil masakannya tidak bisa diragukan.
“Tolong Mang Yayan masak rendang tiga kilo saja dulu,”
“Maaf Mas, ini pesanan atau buat menu di rumah makan
Samudera?”
“Buat rumah makan Samudera, Mang. Bisa, kan?”
Mang Yayang kembali tersenyum sambil mengangguk. Parjo
bernapas lega, dan dia akan mempersiapkan plang papan nama berukuran besar di
depan rumah makannya, untuk memberi tahu kepada pelanggan, bahwa di rumah makan
Samudera tersedia menu baru: rendang.
Keesokan harinya, Mang Yayan benar-benar sudah menyiapkan
menu rendang di rumah makan Samudera, dan siang itu juga Parjo memasang plang
papan nama bertuliskan, “Sedia menu baru: Rendang”. Istri dan putrinya Parjo
heran dan menanyakannya kepada Parjo.
“Apa bedanya rumah makan Samudera sama rumah makan
Sederhana itu, Pak, kalau di sini juga ada menu rendang?”
“Maksud aku memang begitu, Bu.”
“Begitu bagaimana, Pak?” kali ini Wulan ikut bertanya.
“Biar pelanggan rumah makan Sederhana itu tertarik untuk
mencoba makan di rumah makan kita.”
“Tapi soal harga bagaimana?”
“Kita ambil untung tipis-tipis saja, yang penting bisa
menarik pelanggan.”
Istri dan putri Parjo terdiam dan menurut.
Seminggu kemudian, memang ada beberapa pelanggan rumah
makan Sederhana mampir di rumah makan Samudera. Tapi itu hanya terjadi beberapa
hari saja, karena di hari kemudian para pelanggan tumpah ruah di rumah makan
Sederhana. Parjo berusaha menyelidiki kenapa ini bisa terjadi. Setelah meminta
salah satu anak buahnya berpura-pura membeli, akhirnya didapat informasi bahwa
di rumah makan Sederhana ada menu paket. Menu paket itu berisi lauk ayam bakar
dengan ukuran kecil, berikut lalap daun singkong, sambal ijo dan bumbu kuah
khas masakan Padang, dan dipatok harga dua belas ribu per-bungkus.
“Hah? Sebungkus dua belas ribu?”
“Benar, Pak. Satu bungkus paket nasi dipatok dua belas
ribu.”
“Pantas saja pelanggan membludak, masak iya masakan
Padang cuma dua belas ribu?”
“Terus gimana, Pak? Ini nasi yang sudah saya beli dibuang
apa gimana?”
“Jangan! Jangan suka buang makanan, ndak baik. Sini kasih ke saya.”
Anak buah Parjo memberikan bungkus makanan yang tadi dia
beli di rumah makan Sederhana Bukit Barisan Sembilan, menu paket masakan Padang
yang harganya dua belas ribu rupiah.
Parjo membuka bungkusan itu, dan memperhatikan isi yang
ada di dalamnya. Nasi ukuran satu bungkus yang tidak sebanyak dan sepadat
ukuran nasi Padang pada umumnya (pesan dibungkus porsinya lebih banyak daripada
makan di tempat), lalu lalapan daun singkong, sambal ijo, dan paha ayam ukuran
kecil. Mungkin ini penyebab kenapa satu bungkus dijual lebih murah, karena
ukuran ayamnya yang kecil.
Parjo tidak mau kalah. Parjo ada ide baru, yang langsung
harus diterapkan di rumah makannya. Maka keesokan harinya di rumah makan
Samudera, disediakan paket hemat. Beli dua bungkus gratis satu bungkus. Makan
ditempat bisa nambah sepuasnya. Semua diumumkan kepada khalayak di depan rumah
makan dengan plang papan nama berukuran besar.
Selang beberapa hari, istrinya Parjo protes. Padahal
pelanggan tumpah ruah, yang membuat pelanggan rumah makan Sederhana berkurang.
“Kalau begini terus kita bisa gulung tikar, Pak! Bukannya
untung, tapi malah buntung”
“Sudahlah, Bu. Yang penting kita bisa menggaet pelanggan
mereka.”
“Tapi untungnya dimana, Pak?”
“Untung tipis-tipis saja, Bu. Kita gaet pelanggan dulu.
Setelah itu baru kita bikin normal lagi.”
“Tapi jangan lama-lama, Pak.”
Selang satu bulan kemudian, Parjo dikejutkan oleh
membludaknya pelanggan di rumah makan Sederhana. Di depan rumah makan tertera
dengan jelas, sebuah papan dengan tulisan, “Makan Gratis setiap Jumat.”
Parjo tidak bisa berkata-kata. Dia mau melabrak Uda Yamin
si pemilik rumah makan itu, tapi lagi-lagi ditahan istrinya.
“Sudah lah Pak, masak sih kita melarang orang mau
beramal.”
“Ini bukan beramal, Bu. Ini namanya riya. Pamer!”
“Ya mau apa kek namanya, yang penting mereka mau bantu
orang lagi kesusahan.”
Parjo tidak mau kalah. Di hari berikutnya dia menggelar
pengajian dan mengundang anak-anak yatim. Rumah makannya menjadi ramai, apalagi
ada sumbangan nasi dan amplop sekadarnya untuk anak-anak yatim. Tapi setelah
itu, rumah makan Samudera tetap kalah ramai dengan rumah makan Sederhana. Satu
dua pelanggan di rumah makannya juga ada yang pindah ke sana.
Parjo tidak kuat lagi dan datang ke rumah makan Sederhana
sambil mengepalkan tangan. Alangkah kagetnya Parjo, karena di dalam rumah makan
ada Wulan putri semata wayangnya, bersama anak laki-laki yang ternyata putra satu-satunya
Uda Yamin. Uda Yamin dengan bangga memperkenalkan putranya Yendri pada Parjo,
dan Yendri mengatakan sudah kenal lama dengan Wulan. Mereka diam-diam
berpacaran jarak jauh. “Yendri ini putra ambo satu-satunya, seorang koki hebat
yang pernah jadi juru masak di beberapa restoran di Amerika. Menurut rencana, ambo
akan melamar Wulan sebagai istri anak ambo”.
Parjo lemas dan tidak bisa berkata-kata. Wulan meminta
maaf padanya, kalau selama ini dia tidak pernah bercerita soal calon suaminya. Parjo
mengajak Wulan pulang. Parjo penasaran dengan Wulan, dan menyakan apakah selama
ini calon suami kamu pernah bertanya-tanya soal rumah makan kita? Wulan
menjawab, bahwa selama ini dia saling bertukar cerita soal rumah makan orangtua
masing-masing.
“Termasuk soal rumah makan Samudera ada lauk gulai rendangnya?”
“Semua, Pak. Tidak Wulan tambah atau kurang-kurang.”
Parjo geleng-geleng kepala. Pasti si Uda Yamin tahu semua
rahasia rumah makan Samudera dari putranya. Parjo berjanji tidak akam
membiarkan Uda Yamin melamar putri semata wayang untuk putranya!
Malamnya Yendri datang, dan membawakan masakan orek tempe
spesial buatannya untuk Parjo. Dia
bilang sengaja membuat semua itu untuk calon mertua. Parjo menahan emosi,
meskipun saat itu dia ingin langsung menumpahkan kemarahannya. Sebelum
benar-benar marah, Parjo terpksa mencoba menu orek tempe buatan putra si musuh
besarnya, pemilik rumah makan Sederhana Bukit Barisan Sembilan. Setelah
mencoba, Parjo tersentak. Dia merasakan ada sesuartu yang spesial di dalam orek
tempe hasil masakan pacar putrinya. Sebuah rasa, sesuatu yang tidak bisa dia
lukiskan dengan kata-kata. Yang membuat Parjo jadi berubah pikiran.
Tiba-tiba rasa marahnya berkurang. Bagaimana mungkin putra seorang pemilik rumah makan Sederhana Bukit Barisan Sembilan begitu pandainya membuat menu orek tempe yang menjadi andalan rumah makan Samudera miliknya...***
0 comments:
Posting Komentar