Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat majalah Sabili, No. 12 Th. XI, 1 Jan 2004/ 09 Dzulkaidah 1424 H
Dimuat majalah Sabili, No. 12 Th. XI, 1 Jan 2004/ 09 Dzulkaidah 1424 H
![]() |
Gbr. 4shared.com |
Saya tak pernah bercita-cita menjadi seorang penggali kubur! Namun
sekarang saya sudah terlanjur menjadi penggali kubur, karena tiada keahlian
yang saya bisa selain menggali kubur. Barangkali Tuhan telah menggariskannya
demikian, meski sesungguhnya saya berkeinginan seperti Anjasmara, jadi artis
sinetron!
Banyak orang bilang saya mirip Anjasmara. Siapa sih
yang tak kenal Anjasmara? Kecuali orang
yang tak punya televisi macam si Markum, partner kerja saya. Dan saya pun mengakui bahwa saya mirip
Anjasmara karena istri saya pun bilang begitu.
Istri saya sering bilang kalau saya mirip sekali dengan bintang sinetron
terkenal itu. Cuma saja, nasibnya yang
beda. Tetapi toh istri saya tetap mencintai saya yang cuma penggali kubur. Malahan, saat ini istri saya yang kata
orang-orang cantik itu, baru saja melahirkan seorang anak laki-laki lucu.
Bila anak saya besar nanti, saya tak akan rela ia menjadi
penggali kubur seperti saya. Kecuali
bila ia memaksa, atau terpaksa seperti saya. Saya khawatir bila anak saya besar nanti akan merasa riskan bila teman-teman
sekolahnya bertanya, apa profesi ayahnya.
Bukan dokter, pegawai kantoran, atau direktur: melainkan Penggali Kubur!
Dan bagaimana nanti calon istrinya, bila tahu calon mertuanya cuma seorang
penggali kubur?
Oalah, ya Rabbi, saya kok jadi antipati begini? Bukankah saya tetap punya jodoh, cantik lagi,
meski cuma seorang penggali kubur?!
Barangkali karena saya hakul yakin bahwa segala sesuatu itu diatur
Tuhan? Seperti halnya jodoh saya, yang
tiba-tiba datang seperti bintang jatuh.
Saya tak
akan pernah melupakan masa-masa indah dulu sewaktu pertama kali kenal dengan
perempuan yang sekarang jadi istri saya.
Masa-masa indah? Haha, seorang
penggali kubur seperti saya ternyata punya masa-masa indah juga! Makanya, saya bersyukur pada Tuhan meski cuma
jadi seorang penggali kubur. Mungkin
bila saya tak menjadi penggali kubur, belum tentu punya masa-masa indah seperti
yang saya rasakan dengan perempuan secantik istri saya itu.
Pernah seorang penziarah kaget setengah mati ketika melihat
istri saya yang cantik itu di area pemakaman.
Penziarah itu pikir istri saya penziarah seperti dirinya. Belakangan ia baru tahu, perempuan cantik
yang dikaguminya itu istri seorang penggali kubur, alias saya sendiri! Laki-laki penziarah itu mengaku salut pada saya. Dia yang bergelar doktor sampai usianya 45
tahun, belum juga mendapatkan istri.
Mungkin dia pilih-pilih? Maunya yang cantik seperti istri saya? Uh, dia tak menyadari, meski doktor, dia tak
setampan Anjasmara! (Hehe, maaf ya Anjasmara, kata istri saya anda memang
tampan, kok…)
Mungkin orang tak akan menduga bila seorang penggali kubur
macam saya memiliki masa-masa indah! Dan
masa-masa indah itu hadir justru bukan
ketika saya duduk di bangku sekolah.
Waktu sekolah, ya Tuhan, meski cuma lulus SMA, amit-amit dah! Di sekolah dulu saya tersiksa banget. (Ketika
itu, sambil sekolah, saya menjadi penggali kubur, menggantikan ayah saya yang
keburu almarhum.) Kayaknya tak ada anak
yang mau jadi teman saya. Apalagi anak
perempuan. Mereka bilang, meski saya
mirip Anjasmara, saya cuma seorang penggali
kubur! Mungkin mereka menganggap
saya ini horor. Mereka takut duluan
sebelum berteman. Maklum, almarhum ayah saya kan penggali kubur juga! Ini bukan kebetulan lho? Cuma membenarkan pepatah,’buah jatuh tak jauh
dari pohonnya.’
O, ya. Mengenai
masa-masa indah itu. Benar-benar tak
pernah saya bayangkan sebelumnya. Dalam
mimpi pun tidak! Ceritanya waktu itu,
ayah si perempuan, yang sekarang ini jadi istri saya, meninggal dunia. Saat pemakaman, perempaun muda nan cantik
jelita itu mengantar jenazah ayahnya
sampai ke liang lahat. Saya
ketika itu mengurus penguburannya..
Saat saya berada di
dalam liang lahat, membantu menurunkan jenazah, perempuan itu berada dibibir
makam bersama saudara dan kerabatnya.
Waktu itu ia tampak sedih sekali sebagaimana seorang anak yang ditinggal
mati orangtuanya. Namun dalam keadaan
berduka itu, matanya terlihat begitu indah.
Saya tak kuasa berpaling dari sorot matanya yang begitu indah itu. Akhirnya
mata saya dan matanya saling bertumbukkan. Hingga saya ikut terlarut dalam kesedihan
yang ia rasakan. Namun demikian, ada
yang tertinggal dan terus menempel dalam dinding ingatan saya sampai proses
pemakan usai, adalah keindahan bola matanya yang begitu indah!
Waktu itu saya tak pernah berpikir macam-macam. Sedikitpun tak terlintas bahwa saya bisa
mendapatkan bola mata seindah itu. Hanya
kalau boleh jujur, sejak memandangnya pertama kali, saya benar-benar terpesona
dan sulit melupakan keindahan bola matanya!
Dan ternyata, pada akhirnya saya sering menikmati keindahan
bola matanya di areal pemakaman. Sebab
perempuan itu sering sekali menziarahi makam ayahnya. Setiap kali ia datang berziarah, saya tak
pernah melewatkan untuk sekadar berpapasan, mencari perhatiannya, atau kalau
bisa, beradu pandang!
Ya Tuhan, mungkin saya berlumur dosa karena terlalu
seringnya memandang makhluk ciptaan-Mu yang begitu memesona! Dan saya tidak tahu apa yang perempuan itu
pikirkan ketika bola matanya yang indah begitu menghujam penglihatan saya! Sejak pandangan pertama saat proses pemakaman
itu saya benar-benar dibuatnya mabuk kepayang.
Dan saya sendiri tak menayadari kalau ternyata perempuan itu pun
memiliki perasaan yang sama ketika akhirnya saya dan ia mengobrol tentang
perasaan masing-masing, setelah sering bertemu di pemakaman.
Demikianlah. Akhirnya saya menikmati masa, yang tadi saya
sebut sebagai masa-masa indah itu, setiap kali bersua si bolamata indah. Kami jadi sering bertemu dan berbagi rasa di pemakaman. Hanya
saja, ketika saya tak sedang mengerjakan order menggali kubur. Dan tentu, kami tidak seperti pemuda-pemudi
kebanyakan dalam hal berkisah kasih.
Apalagi tempatnya adalah pemakaman, yang sungguh tak ada kesan
romantis-romantisnya acan. Kecuali
tempat bercurahnya kesedihan.
Tetapi bagi saya, pemakaman sebuah tempat yang tiada
bedanya dengan tempat-tempat lain seperti mal misalnya. Di mal itu berbagai jenis manusia
‘bergentayangan’. Dari yang cantik sampai
jelek. Yang gemuk ada yang kurus
banyak. Dari yang kulitnya putih sampai
yang hitam legam. Begitu juga di
pemakaman. Bedanya, jika sudah ‘menetap’
di pemakaman, mereka semua jadi berubah pendiam. Tentu saja. Dan bedanya lagi, di pemakaman tidak ada Mc.
Donalds. Namun suatu hari perempuan
berbolamata indah yang akhirnya menjadi istri saya pernah membawa Mc. Donalds
ke pemakaman. Kami menikmatinya di
tengah-tengah kesibukan saya menggali kuburan.
Sebagai seorang penggali kubur, mungkin seperti pekerjaan
lainnya, ada suka dan dukanya. Dan yang
saya rasakan selama ini, saya begitu menikmati profesi saya. Bila menemui masalah atau kejanggalan dalam
bekerja, saya tak pernah ambil pusing
untuk memikirkannya. Seperti ketika
salah satu mayit yang tak bisa pas di liang lahat, saya menganggapnya sebagai
salah ukur saja. Tidak berprasangka
bahwa si mayit sewaktu hidup banyak dosanya, misalnya. Sebab menurut saya, dosa seseorang cuma Tuhan
yang tahu!
Banyak pula orang berprasangka, di pemakaman itu menyeramkan. Apalagi bila hari gelap. Bagi saya, maaf saja. Saya buka tidak percaya hantu atau
setan. Sejak kecil, lebih dari 10 tahun
bergelut dengan kuburan, saya tak pernah sekali saja berjumpa hantu atau setan
seperti yang dicirikan orang. Baik siang
maupun malam. Istri saya pun jadi
seperti saya, terbiasa untuk tidak takut pada cerita orang tentang hantu atau
setan. Saya bilang pada istri saya,
sesungguhnya manusia itu lebih menyeramkan daripada hantu atau setan!
Malahan almarhum ayah saya bilang,
manusia lebih kejam dan sadis daripada hantu atau setan, meski ayah saya
sendiri belum pernah cerita kalau ia pernah berjumpa hantu atau setan yang
dimaksud.
Suatu hari saya pernah menggali kubur untuk mayit seorang
maling ayam. Saat hendak dimakamkan, ternyata isi mayitnya
tidak separuh dari liang lahat yang saya sediakan untuk ukuran standar orang
dewasa. Jelas saja. Setelah saya
ketahui, almarhum maling ayam tersebut
tubuhnya hancur dicabik-cabik dan dibakar orang. Menurut saksi mata yang saya tanyai, sambil
tertawa mereka bilang, yang mencabik-cabik dan membakar maling ayam itu manusia
biasa, bukan hantu atau setan. Jadi memang benar kata ayah, manusia lebih
menakutkan daripada hantu atau setan!
***
Pagi tadi paman istri saya mendatangi saya. Ia adalah
seorang direktur perusahaan swasta. Sang
paman menawarkan pekerjaan pada saya.
Tapi saya pikir-pikir dulu. Sebab
bagian apa yang bisa saya kerjakan nantinya.
Saya takut mengecewakan mereka.
Meski sampai SMA, sejak kecil sampai lulus saya tak punya kemampuan
apa-apa selain menggali kuburan.
Paman saya agak memaksa menyuruh saya berhenti jadi
penggali kubur.
“Berapa sih, penghasilan seorang penggali kubur?” ujar sang paman. ”Bagaimana jika anak kamu
besar nanti, yang pasti butuh biaya besar!?” lanjut paman.
Mmm…, paman istri saya itu tidak tahu. Dia tak tahu siapa ayah saya. Almarhum ayah saya dulu, meski penggali
kubur, toh mampu menghidupi anak-anak dan istrinya!
Akhirnya paman istri saya tidak mau tahu. Pokoknya saya harus berhenti dan ikut dengannya,
bekerja di perusahaannya. Ia tak ingin
keponakannya hidup susah bersuamikan seorang
penggali kubur!
Setengah terpaksa, saya ikuti kemauan paman istri
saya. Saya tidak tahu mau ditaruh di
bagian apa. Yang jelas, saya terpaksa
meninggalkan pekerjaan yang selama bertahun-tahun saya geluti, menggali
kuburan.
Akhir cerita, saya yang kata orang-orang mirip Anjasmara,
tak lagi jadi penggali kubur. Melainkan
berprofesi sebagai karyawan biasa.
Ketika atasan dan teman-teman di kantor baru menanyakan saya, apa
pengalaman kerja saya, mereka tidak percaya: kalau saya bekas penggali
kubur.***
Pamulang Barat, Banten,
2002
0 comments:
Posting Komentar